Kamis, 09 Oktober 2008

Pilihan


Ketika team dokter menyampaikan kepada saya bahwa harapan hidup Oom saya hanya sekitar 10 – 20 %, saya hanya bisa terdiam, berusaha mencerna setiap arti yang tak tersirat dibalik istilah-istilah kedokteran yang berseliweran di pendengaran saya.

Otak saya tidak mampu mencerna, hanya bisa melihat dengan pandangan kosong ke arah beliau yang tergeletak tak berdaya, dengan selang-selang berseliweran di sekujurnya dan satu mesin penyambung nyawanya.

Terbayang pertanyaan dokter, apakah akan diteruskan hingga maksimal, atau secara natural dibiarkan berjalan sendiri ke surga. Terbayang bahasa yang harus dipergunakan agar istri tercintanya bisa mencerna pelan-pelan dan mampu memberikan keputusan yang terbaik bagi suaminya.

Sebagai seorang keponakan, saya hanya bisa menyampaikan bahwa istri tercintanya lah yang lebih berhak. Dan vonis itu pun dialihkan kepadanya.

Tante saya hanya bisa terpaku, tergugu dalam diam, ketika vonis tersebut disampaikan kepadanya, sebelum kalimat-kalimat penolakannya terlontar, menyalahartikan setiap kata yang disampaikan oleh team dokter.

Pilihan untuk memilih, berharap atas kesempatan yang 10 – 20 % itu atau menyerahkannya kepada kebesaran Tuhan untuk mengambil-alih semuanya. Pilihan yang sama beratnya, pilihan yang bisa disalahartikan oleh semua orang namun hanya bisa dimengerti oleh Tuhan.

Saat itu, lima menit terasa berjam-jam ketika kami menunggu ia mengeluarkan keputusannya. Hanya 1 kalimatnya, “Dalam agama saya, saya tidak diperkenankan untuk berhenti berusaha, akan saya pertaruhkan semuanya untuk yang 10 % itu.”

Ruangan yang terasa dingin dan tak bernyawa, semakin terasa dingin dan hampa. Pilihan telah diambil dan semua hanya bisa menarik nafas panjang, berharap semuanya tidak akan berlangsung berkepanjangan.

Saya dan keluarga suami saya pernah dihadapkan pada pilihan seperti itu. Masih segar dalam ingatan saya betapa kami semua hanya bisa menangis dan memohon maaf kepada ayah mertua bahwa jalan itulah yang harus kami tempuh. Tangisan yang dikuatkan dalam asma Allah untuk melapangkan dada yang terasa berat.

Pilihan yang terasa berat tetapi terasa ringan ketika akhirnya perjalanan orang yang kami kasihi berakhir dengan ringan dan tanpa rintangan.

Tidak ada yang salah dengan pilihan-pilihan itu, tidak ada yang salah. Namun kami semua belajar bahwa ketika pilihan tersebut datang, mata batin harus mampu mengalahkan semuanya dan diarahkan kepada kerahiman Tuhan.

Setiap hari tak ada hari yang tidak dilalui dengan pembelajaran, dan kemarin saya belajar bahwa ketika tubuh menolak, ketika jiwa harus berangkat meninggalkan dunia ini, saat itulah pilihan terakhir diberikan kepada kita semua, mengamininya dengan kebesaran hati atas kemurahan Tuhan atau mempertanyakan semuanya.

Hidup memang harus dilalui dengan pilihan, tanpa henti, hanya berhenti ketika nadi berhenti berdenyut.

Tahun ini, saya kehilangan ketiga orang yang saya cintai berturut-turut, ayah mertua saya, ayah saya, dan terakhir kakak tercinta ibu saya.

Saya hanya bisa memaknainya dengan mata batin saya, betapa Tuhan sangat mencintai saya dengan memberikan saya pembelajaran tentang Kehidupan dan Kematian, tentang Kebesaran Hati, tentang Kepasrahan, tentang Cinta.

Minggu, 05 Oktober 2008

Ketika Cinta Berbicara

Tante dan Oom saya sudah menikah selama 54 tahun, tanpa memiliki anak. Entah kenapa mereka pun sepakat untuk tidak mengangkat anak. Saya tidak pernah bertanya dan juga tidak pernah mempertanyakan keputusan mereka. Bagi saya, itu adalah jalan yang mereka sudah tetapkan.

Hingga tibalah hari ini, ketika Tante saya bercerita mengenai perjalanan kehidupan pernikahannya di depan adik iparnya, adiknya dan saya, si keponakannya yang hanya datang ke rumah mereka di Surabaya jika ada tugas kantor.

Menyaksikan suami tercintanya, belahan jiwanya terbaring lemah tak berdaya, dengan bantuan mesin, serta kenyataan bahwa harapan hidupnya hanya sekitar 10 – 20 %, tiba-tiba keluarlah kenyataan yang dipendamnya selama 54 tahun.

Betapa selama kehidupannya yang 54 tahun itu, dia harus mengalah, memendam perasaan karena suami tercintanya tidak pernah mendengarkan apa yang dikatakannya, betapa suami tercintanya lebih mempercayai pendapat teman-teman tenisnya. Betapa selama itu dia diam dan sakit hati.

Tapi dia tetap bertahan karena dia sadar, dalam pernikahan tidak bisa dua-duanya menang, salah satu harus mengalah, ada yang harus berjalan di depan dan dia memilih untuk berjalan di belakang.

Menurutnya, dia telah berjanji di hadapan Tuhan, bahwa dia akan menjalani kehidupan pernikahan ini dalam susah dan senang, jadi kekurangan suami tercintanya menurut dia adalah bagian dari “kesusahan” yang harus ditanggungnya dalam pernikahan.

Kemudian mengalirlah dari mulutnya betapa suami tercintanya mempunyai banyak kelebihan, sehingga jika ditimbang kelebihannya tetap lebih berat dari kekurangannya.

Sambil tersenyum, dia bercerita mengenai masa-masa perkenalannya dengan suami tercinta, jaman ketika mereka mulai berkenalan, bagaimana suami tercintanya menyusulnya meninggalkan kuliahnya di Unair.

Senyum yang dengan pasrah mengatakan, “saya ingin dia bisa bicara dengan saya, sebelum dia pergi, sebentar saja, biar saya lega”.

Senyum dan mata yang bercerita tentang cinta yang luar biasa dalamnya, cinta yang penuh dengan rasa maaf, cinta yang penuh dengan pengertian, cinta yang tak tergantikan.

Pendapatnya mungkin terasa aneh di jaman modern ini, yang menjunjung tinggi persamaan harkat wanita dan pria, tetapi mungkin memang begitulah Tuhan menciptakan pria dan wanita dimana wanita adalah tulang rusuk pria.

Kesetaraan bukan berarti merendahkan martabat wanita melainkan harus menjadikan wanita itu bermartabat.

Dalam pernikahan ? Saya masih bertanya dan belum menemukan jawabannya. Mungkin nanti lewat perenungan berikutnya.

Saat ini saya hanya terpana melihat cinta yang luar biasa dan pengorbanan yang begitu dalam …

Sabtu, 04 Oktober 2008

Salam Tempel dan Anak-Anak


Lebaran di mata orang dewasa tidak pernah semeriah Lebaran di mata anak-anak. Bagi mereka, lebaran itu identik dengan baju baru, kue-kue kering kesukaan mereka, makanan yang berlimpah dan tentu saja si “salam tempel”.

Nah, untuk urusan salam tempel ini, Lebaran kali ini ada sesuatu yang menarik untuk disimak, karena peristiwa ini terjadi di depan mata saya sendiri, peristiwa celoteh anak-anak saya dan sepupu-sepupu mereka a.k.a keponakan saya.

Seperti biasa, sebelum melakukan ritual salam tempel, para ibu saling bertukar informasi mengenai besarnya uang yang akan dibagikan. Biasanya kelompok tersebut terbagi dua, kelompok sosialis dan non-sosialis. Kelompok sosialis menganut asas pemerataan, sedangkan kelompok non sosialis, tentu saja kebalikannya, pembagian uang dilihat dari tingkatan pendidikan mereka.

Khusus untuk tahun ini, karena situasi ekonomi yang kurang mendukung, kami pun sepakat harus menurunkan nilai salam tempel. Maksud hati sih untuk mengajarkan mereka bahwa adakalanya prihatin itu perlu.

Nah, ketika acara salam tempel berlangsung, mereka pun seperti biasa bersorak-sorak, ternyata yang namanya anak-anak dimanapun tetap sama, selalu saja ada hal yang tak terduga yang terjadi.

Adegan I, saat salam tempel :

“Lho, koq aku dapat yang sama dengan yang SMP, aku kan sudah bukan anak kecil lagi Oom, aku kan sudah SMA. Tambahin lagi dong Oom.”

“Lho, koq Bagus yang belum bisa dapat jalan dapatnya nggak beda jauh sama aku ?”

“Aku kan belum kerja, masih kuliah, koq kali ini aku nggak dapet sih ? Nggak mau ah, aku juga harus dapat.”

Adegan II, sesudah salam tempel terjadi, ketika para pedagang kecil itu menghitung uang hasil perolehan mereka.

“Wah, tahun lalu kita bisa dapat sampai 300 ribuan, koq tahun ini 100 ribu saja tidak sampai sih ?”

“Siapa yang belum datang ya ? Tapi kalau Tante A dan Oom B datang pun, jumlahnya tidak akan sampai sebesar tahun lalu.”

“Oh, rupanya si Oom C belum ngasih, padahal tahun lalu kita semua kebagian dari Oom C”

“Mau beli apaan dong ? Main ke Time Zone saja tidak cukup uangnya.” Terus yang satu menimpali “Apalagi buat beli Tamiya”.

“Memangnya tahun ini ada apa sih sampai mereka nggak bisa ngasih salam tempelnya banyak ?”

Adegan terakhir, saat kita semua pergi berjalan-jalan, dan para orang tua menginstruksikan mereka untuk menggunakan uang hasil salam tempel, jawaban mereka, “ah, uangnya tidak sebanyak dulu, tidak cukup untuk dipakai main atau beli barang. Kita semua minta dibayarin aja deh.”

Saya tidak tahu benar-tidaknya, tetapi ketika saya sedang berdua dengan si kecil, rupanya kejadian salam tempel tahun ini berbekas dalam dirinya. Katanya,”koq lucu ya Bunda, setiap tahun jumlah uang salam tempel ku naik, kenapa tahun ini turun ya ?”

Dan ketika saya menjelaskan mengenai situasi ekonomi yang terjadi tahun ini, seperti biasa dia hanya diam dan memainkan rambutnya. Saya pikir dia sedang mencerna, tetapi ternyata caranya mencerna, cara khas anak-anak, “Tapi kita tetap nonton film Laskar Pelangi ya ? dan hadiah ulang tahun ku juga ada kan ?”

Saya hanya bisa terdiam, sambil membatin, dasar anak-anak jaman sekarang, salam tempel yang cuma tradisi koq dijadikan perhitungan seperti jual-beli barang. Tahun lalu untung X rupiah, tahun ini rugi karena pendapatannya hanya Y rupiah.

Jadi teringat salah satu pertanyaan di Dunia Plurk, “Apakah salam tempel itu mengajarkan anak-anak mengenal dunia KKN ?” dan ada yang menjawab “Yang pasti mengajarkan anak-anak menjadi peminta-minta, seperti saya ini.”

Mungkin saya harus mengkaji lebih dalam aspirasi anak-anak saat mereka mendapatkan salam tempel, siapa tahu saya bisa memberikan masukan kepada Kak Seto bahwa pendapat yang mengatakan betapa pun jumlah uang yang diberikan pada saat salam tempel di hari Lebaran, anak-anak tetap akan menerimanya dengan senang hati, sudah tidak berlaku lagi.

Anak-anak …dimana saja selalu ada hal-hal yang tak terduga …




Rabu, 01 Oktober 2008

Catatan Kecil Lebaran


Lebaran tahun ini merupakan lebaran pertama bagi keluarga suami saya tanpa kehadiran kedua orang tuanya, setelah almarhum ayah mertua saya meninggalkan anak-anaknya, para menantu dan cucu-cucunya, 6 (enam) bulan yang lalu.

Enam bulan yang lalu, tepat di hari kedelapan setelah beliau berpulang, keluarga suami saya segera mengadakan rapat keluarga, untuk memutuskan peringatan hari ke-40, ke-100 dan yang terpenting tradisi keluarga ketika memasuki ramadhan dan lebaran.

Saat itu, berdasarkan rapat keluarga, disepakatilah bahwa setiap hari raya Lebaran maupun hari terakhir menjelang ramadhan, maka kami semua akan berkumpul di rumah induk, rumah milik almarhum mertua saya, mengingat rumah kami-kami tidaklah sebesar rumah almarhum mertua (maklum, kami semua masuk dalam kategori keluarga kecil).

Keputusan yang sangat tepat, mengingat setiap acara yang selalu melibatkan para kakak-beradik, selalu saja ada yang tertinggal atau lupa dikerjakan. Apalagi jika peristiwa itu peristiwa akbar seperti lebaran, selalu saja tidak pernah sempurna. Sehingga, jika peristiwa akbar itu dilakukan di rumah induk, setidaknya kami semua bisa memperkecil tingkat ketidaksempurnaan kami.

Semua bermula ketika para adik ipar saya belum menikah, lebaran dilewati dengan aman-tentram, maklum yang merayakan masih dalam jangkauan. Tetapi, ketika kakak-beradik tersebut sudah menikah semua dan generasi penerus mulai bermunculan, mulailah ketidaksempurnaan saat Lebaran terjadi. Bagaimana akan sempurna, total jumlah anak-menantu dan cucu sekitar 38 orang, kalau ditambah mertua menjadi 40 orang, dan itu belum termasuk tamu yang datang, maklum mertua kami termasuk dalam kategori kerabat yang dituakan.

Pertama, ketika tiba-tiba kami sadar bahwa setiap lebaran, jumlah piring dan gelas yang harus dicuci tidak selesai-selesai, sehingga kami harus meminta bantuan pembantu infal untuk membersihkan piring dan gelas yang berpuluh-puluh. Keputusan untuk menggunakan piring dan sendok plastik pun diambil di saat baju Lebaran berganti dengan daster dan celana pendek.

Lebaran berikutnya, ketika urusan piring dan sendok makan selesai, tiba-tiba kami semua tersadar, ada yang terlupa dipikirkan, yaitu jumlah gelas yang dari tahun lalu sudah menempati urutan yang sama dengan piring dan sendok. Dan seperti lebaran sebelumnya, kesepakatan pun dilakukan pada saat kostum lebaran berganti menjadi kostum rumah, yaitu Lebaran berikutnya gelas sudah harus berganti dengan gelas aqua.

Setelah masalah lebaran yang terjadi selama 2 (dua) tahun berturut-turut terselesaikan, masalah berikutnya adalah urusan “salam tempel” bagi para keponakan. Setiap kali pembagian THR dimulai, selalu saja ada huru-hara, maklum para tante dan oom kalau membagi tidak pernah bergiliran, selalu serentak. Jadi bisa dibayangkan bukan, hukum anak kecil lebih pintar dari orang tua kerap terjadi pada saat THR. Kalimat seperti, “Lho kamu kan tadi sudah”, “Kamu tadi kemana waktu tante bagi THR”, “Kamu memang sudah kelas berapa sekarang”, bukanlah sesuatu yang asing.

Akhirnya dicarikanlah jalan keluar bahwa untuk urusan pembagian THR akan dilakukan secara bergantian. Sebelum pembagian THR dilakukan para orang tua akan menghitung jumlah keponakan berdasarkan tingkatan sekolah.

Dampak dari keputusan tersebut, maka pemandangan sejumlah orang dewasa berkumpul dengan uang seribuan, lima ribuan, sambil berhitung dan menyebut nama, di kamar almarhum mertua, bukanlah pemandangan yang asing.

Tidak ada masalah yang tidak terselesaikan bukan ?

Contohnya ketika Lebaran dua tahun yang lalu, entah kenapa opor ayam sepanci mendadak basi. Bisa dibayangkan bagaimana paniknya kami semua. Bukan apa-apa, soalnya tanpa opor ayam, lauk yang tersisa menjadi tidak sebanding dengan tamu yang datang.

Entah ilham darimana, akhirnya kami memutuskan untuk menggoreng opor tersebut, sehingga judulnya berubah dari Opor Ayam menjadi Ayam Opor Goreng dan kami semua terselematkan dari rasa malu.

Catatan dari Lebaran tahun ini ?

Ternyata kami lupa menyewa pembantu infal untuk membersihkan rumah. Maklum jumlah anak-anak jauh lebih besar dari para orang tua.

Ternyata untuk pertamakalinya, kami menghindar bercerita tentang kebiasaan almarhum ayah mertua kami, seperti yang kerap kami lakukan ketika rasa rindu kami datang menyengat.

Ternyata rasa rindu kami kepada mereka tak juga selesai ….