Sabtu, 24 Januari 2009

Jerusalem ... Oh .... Jerusalem ....


“Saya ulangi apa yang saya katakan di depan Knesset lebih dari setahun lalu:’setiap kehidupan yang hilang dalam sebuah peperangan adalah kehidupan seorangmanusia, terlepas apakah itu kehidupan seorang Arab atau Israel.
Istri yang menjadi janda adalah seorang manusia, yang berhak hidup dalam sebuah keluarga yang bahagia, Arab atau Israel.’Anak-anak yang tidak berdosa, yang kehilangan perhatian dan pengasuhan orang tua, semua itu anak-anak kita, terlepas apakah mereka hidup di tanah Arab atau Israel, dan kita harus memperlihatkan tanggung jawab yang sangat besar untuk memberikan kebahagiaan kepada mereka di masa sekarang ini dan kecerahan di masa datang …”(Presiden Mesir Mohammad Anwar El-Sadat, 1978)

“Perdamaian adalah keindahan hidup. Ia laksana sinar mentari. Perdamaian adalah senyum seorang anak kecil, cinta seorang Ibu, kebahagiaan seorang Ayah, kebersamaan sebuah keluarga. Perdamaian adalah kemajuan manusia, kemenangan keadilan, kemenangan kebenaran. Perdamaian adalah semua itu, dan lebih dari semua itu …”(PM Israel Menachem Begin, di tahun yang sama 1978) > hal 286

Rasanya di antara para penulis di Indonesia, baru Trias Kuncahyono sajalah yang menulis tentang Jerusalem lengkap dengan sejarahnya, dan kenetralannya dalam melihat persoalan yang terjadi di sana.

Jerusalem, kota yang terbagi dalam 3 agama samawi, Kristen, Islam dan Yudaisme, yang diperebutkan bangsa-bangsa sejak agama itu sendiri masih mencari bentuknya.

“…Sejarah Jerusalem sudah menceritakan bahwa silih berganti negara-negara dan bangsa-bangsa memperebutkan kota itu, Assiria, Mesir, Babilonia, Yunani, Romawi,Byzantium, Persia, Arab, kaum Perang Salib, Mameluk, Turki, Inggris dan Yordania ….” > hal 286

Dalam buku ini saya menyadari betapa Jerusalem bukanlah milik satu agama saja, melainkan milik 3 agama samawi, mengingat takdir yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kota tersebut.

“…walau ketiganya berbeda dalam konsep fundamental tentang Tuhan dalam iman dan ritual ibadahnya, disatukan oleh kecintaan mereka terhadap Jerusalem...”

“…Bagi orang Yahudi, Jerusalem adalah satu-satunya kota suci di dunia. Inilah kota yang dipilih Tuhan sebagai “tempat kediaman nama-Ku”,tulis Kitab Tawarikh.Bagi umat Kristen, Jerusalem adaah kota suci yang sangat penting karena di kota itulah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan bangkit untuk menebus dosa umat manusia sesrta naik ke surga; untuk memulihkan lagi hubungan antara manusia dan Tuhan. …Sementara bagi umat Muslim, Jerusalem adalah kota tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malamnya dari Mekkah ke Jerusalem, Isra Mi’raj ke Sidrat Al Muntaha…” hal 222 – 223

Terlebih dengan konflik yang terjadi akhir-akhir ini, dimana orang di Indonesia melihatnya dari sudut agama, bukan dari sudut sejarah masa silam, bukan dari sudut politik, bukan dari sudut egoisme para pelaku sejarah tersebut. Buku ini mampu mencerahkan mata hati setiap orang yang melihat konflik Israel dan Palestina ini adalah konflik agama.

Tryas Kuncahyono mampu melihat Jerusalem dengan konflik-konflik yang terjadi di dalamnya tanpa berpihak, mampu mempertanyakan pertanyaan yang diam di benak masing-masing orang dan menjelaskannya dengan latar belakang historis yang putih.

Membaca buku ini mampu membuat mata hati saya melihat dari sudut pandang yang berbeda, tidak seperti ketika sudut pandang saya dipengaruhi oleh berita-berita di media cetak ataupun “tak show” televisi.

Membaca buku ini membuat saya tidak lagi mempertanyakan komentar-komentar yang seringkali menyudutkan bahkan menyulut pertentangan agama, melainkan mengasihani mereka karena ketidaktahuannya.

Rabu, 07 Januari 2009

Ketika Israel dan Palestina Berperang


Minggu-minggu ini terakhir ini nyaris semua saluran TV baik nasional maupun internasional, menyiarkan penyerangan Israel ke Jalur Gaza, disamping tentu saja media cetak lokal, nasional maupun internasional.

Bahkan jika dibandingkan antara CNN dan Al-Jazeera serta TV kita, mereka berdua sangat intens menyajikan berita penyerangan tersebut, baik melalui liputan langsung maupun pandangan dari kedua belah pihak atas penyerangan tersebut.

Melihat berita yang disiarkan CNN dan Al-Jazeera, benar-benar membuat hati ini menjadi miris, hingga akhirnya saya pun tidak ingin melihat tayangan siaran mengenai penyerangan tersebut. Betapa tidak miris, jika melihat bayi dan anak-anak tergeletak tak berdaya di rumah sakit yang sudah tidak layak lagi menjadi rumah sakit, tenaga medis yang terbatas, melihat indahnya cahaya roket di malam hari yang ditembakkan namun menjadi bengis ketika mencapai daratan dan membayangkan akibat yang diderita penduduk sipil yang menerima muntahan roket tersebut.

Dan saya pun teringat salah satu penggalan bab dari buku Jerusalem, Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, oleh Trias Kuncoro, yang diterbitkan oleh Kompas – Gramedia. Trias menceritakan dengan sangat rinci mengenai sejarah Jerusalem di bab berjudul Tanah Kanaan, Perjalanan Perdamaian dan Tragedi Kota Damai.

Sejarah yang terjadi di abad yang silam, penderitaan yang dialami Palestina dan Israel, bukanlah konflik keagamaan, melainkan konflik sejarah dan politik yang bercampur-aduk.

Sayangnya, ketika sampai di negara tercinta, konflik Jalur Gaza tidaklah murni dilihat sebagai konflik sejarah masa silam ataupun konflik politik, melainkan merasuk ke dalam konflik agama.

Sehingga, saya lupa tepatnya kapan, ketika dalam suatu interview di saluran TV nasional, si nara sumber sampai berkomentar bahwa lebih tepat bagi Indonesia memberikan bantuan dana kemanusiaan bukan mengirimkan relawan untuk berperang di sana.

Saya sendiri pun mengalami hal yang sama dengan rekan sekerja, ketika kami membahas bantuan kemanusiaan. Tiba-tiba ada yang berkomentar bahwa sebaiknya prinsip kehati-hatian diterapkan dalam memberikan respons terhadap bantuan tersebut, jangan sampai kita terlibat gara-gara SARA.

SARA ?

Wah, rupanya apa yang dikomentarkan nara sumber pada saat interview interview atas penyerangan Israel, benar adanya.

Saya beruntung membeli buku Tryas Kuncoro, sehingga saya bisa memberikan penjelasan kepada rekan-rekan sekerja, walaupun dari raut muka mereka tampaknya tetap enggan menerima penjelasan saya.

Tapi bagaimana dengan yang tidak, yang walaupun tahu, tetapi karena prinsip egoisme agama, tetap memandang itu sebagai konflik keagamaan ? atau yang tidak pernah paham sejarah Jerusalem ?

Kewajiban siapakah yang memberikan pencerahan itu ? Tentunya itu adalah kewajiban para kuli tinta untuk melengkapi berita mereka dengan “feature” mengenai sejarah Jerusalem, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman atau salah kaprah yang terus menerus.