Sabtu, 21 Februari 2009

Pintu Kebahagiaan - Gede Prama



Pintu ketiga untuk menuju keindahan dan kebahagiaan berawal dari :
Semakin gelap hidup Anda,
Semakin terang cahaya Anda di dalam.
Perhatikanlah bintang di malam hari, tampak bercahaya, jika langitnya gelap.
Sedangkan lilin di sebuah ruangan akan bercahaya bagus, jika ruangannya gelap.
Artinya, semakin Anda berhadapan dengan masalah dan cobaan dalam hidup, semakin bercahaya Anda dari dalam.
.. Gede Prama ..


Menurut Gede Prama ada 5 pintu untuk menuju keindahan dan kebahagiaan. Pintu Pertama adalah “Berhenti Membandingkan”. Pintu kedua adalah “Memberi”, Pintu Ketiga adalah “Berawal dari Kegelapan”, Pintu Keempat adalah “Surga bukanlah Tempat melainkan adalah Rangkaian Sikap” dan Pintu Kelima adalah “Tahu Diri Kita”.

Dari kelima Pintu untuk menuju keindahan dan kebahagiaan, pintu ketigalah yang membuat saya terhenyak dan merenungi makna Berawal dari kegelapan semakin bercahayalah kita.


Benarkah saya akan menjadi lebih bercahaya ? Bukannya kulit wajah kita pada saat didera penderitaan menjadi kusam, sorot mata pun tidak memiliki jiwa ?

Pintu Ketiga bagi saya adalah Keikhlasan untuk menerima yang diberikan Tuhan kepada kita, ikhlas untuk menerima hal-hal yang tidak berkenan dengan harapan kita.

Ikhlas ketika kesusahan datang sangatlah tidak mudah. Lebih mudah mengikhlaskan kebahagiaan, kesenangan daripada kesusahan. Siapa yang ingin diterpa susah terus menerus ? Rasanya tidak ada satu orang pun di dunia ini yang ingin diterpa kesusahan, ketidakbahagiaan dalam kehidupannya.

Saya pun menghitung kesusahan-kesusahan yang saya alami, rasanya hampir semua diawali dengan pemberontakan, dengan bertanya kenapa saya diberikan kesusahan seperti ini, kenapa saya diberikan nasib seperti ini, kenapa harus saya, kenapa tidak orang lain saja. Pemberontakan yang saya tahu tidak ada gunanya karena tidak akan meringankan beban hati saya. Walaupun pemberontakan tersebut diakhiri dengan keikhlasan dan rasa Syukur bahwa saya dipilih oleh Tuhan untuk mengalami hal-hal seperti itu.

Tetapi, benarkah dengan demikian saya menjadi bercahaya ?

Jawabannya saya temukan pagi ini lewat sepucuk pesan yang dikirimkan oleh salah satu anak buah saya. Pesan yang membuat mata saya berkaca-kaca karena saya merasa tidak pernah melakukan hal yang istimewa baginya.

Ternyata apa yang disampaikan oleh Gede Prama benar-benar terbukti. Bahwa ketika kesulitan atau pun penderitaan menimpa kita, tanpa kita sadari pada saat itulah kita belajar banyak hal yang mungkin tidak kita peroleh jika kita tidak berada di titik penderitaan tersebut.
Pelajaran yang tanpa saya sadari membuat diri saya bercahaya di mata anak buah saya.

Pintu-pintu lainnya telah lama saya yakini, terlebih pintu keempat, dimana Surga bukanlah tempat melainkan suatu rangkaian kehidupan dan sikap. Neraka dan Surga bukan ketika kita meninggalkan dunia ini. Neraka dan Surga ada di sini, di bumi, ketika kita hidup menjalani kehidupan ini.

Penderitaan akan menjadi Neraka jika kita tidak menerimanya dengan Ikhlas, Penderitaan akan menjadi Surga ketika kita bisa melewati jurang tersebut dengan penuh rasa syukur.

Tidak mudah untuk menerima penderitaan dengan ikhlas, saya pun hingga saat ini masih sering berdebat dengan setan dan malaikat di dalam hati saya. Saya bahkan tidak bisa menghitung siapakah yang memenangkan perdebatan itu, apakah setan lebih banyak dari malaikat atau sebaliknya. Yang saya tahu pasti hanyalah permintaan saya ketika malam menjelang, agar diberi kebesaran hati untuk menerima dengan ikhlas setiap nafas kehidupan yang diberikan kepada saya.

Rabu, 11 Februari 2009

Kacamata Duniawi dan Pertemanan


Beberapa waktu lalu saya mendengar percakapan seorang rekan saya tentang bagaimana dia menilai layak-tidaknya seseorang itu menjadi temannya hanya karena mobilnya yang keluaran mutakhir dan luasnya tempat tinggalnya.

Di kesempatan lain, seorang rekan saya bahkan menceritakan kepada saya betapa hebatnya si A, hanya karena dia mengenal para petinggi dan orang-orang di posisi puncak di industri X.

Di kesempatan yang lainnya lagi, seorang rekan saya bahkan mencemooh teman saya hanya karena ketidakmampuan teman saya untuk berperilaku sesuai standar kemapanan mereka yang berada di area kemapanan.

Tanpa kita sadari, sering kali kita menilai seseorang dari kebendaannya, dari materi yang dimilikinya, dari caranya bertutur-kata, dari caranya berperilaku, tanpa berusaha melihat dari kaca mata yang berbeda.

Bagi saya, layak-tidaknya orang tersebut masuk dalam kategori “pertemanan” tidaklah dilihat dari mobil yang keluaran mutakhir atau luas tempat tinggalnya atau dari pengetahuannya tentang para petinggi di suatu industri atau tingkah lakunya yang agak eksentrik. Pertemanan terlalu rigid jika berangkat dari hal-hal seperti itu.

Bagi saya, layak-tidaknya seseorang menjadi teman dalam arti sebenarnya berangkat dari kesamaan pandangan, kesamaan visi, kemampuan bertukar-pandangan, luas-tidaknya pengetahuan seseorang bukan dari letak dan luas rumahnya atau pertemanannya dengan para petinggi atau dari mobil yang keluaran terakhir.

Teman dalam arti sebenarnya terlalu berharga jika dinilai dari jabatan, harta benda yang dimilikinya atau kedekatannya dengan para petinggi.

Saya tidak ingin munafik, saya pun kerap salah menilai seseorang dari atribut duniawi yang dimilikinya, kesalahan yang akhirnya disadari ketika pembicaraan semakin intens, ketika visi berada di jalur yang sama.

Betapa penyesalan yang berangkat dari kesalahan seperti itu, membuat diri ini mengutuki diri sendiri, karena terlalu dangkal dalam menilai seseorang.

Saya jadi teringat pertemanan saya dengan seseorang yang mendapat julukan “bad attitude”, betapa rekan-rekan saya yang lain sering menertawakan teman saya itu, hanya karena cara berpakaiannya, karena caranya melontarkan sesuatu, karena penampilannya yang jauh dari kesan “berada”, padahal semua yang dikenakannya masuk dalam kategori “branded”.

Saya pun pada mulanya memandang dengan kaca mata yang sama seperti rekan-rekan saya lainnya, hingga saya menemukan bahwa dibalik ketidak-sempurnaannya itu, tersimpan hati yang penuh empati kepada penderitaan seseorang, tersimpan kearifan dalam melihat suatu permasalahan, tersimpan pengetahuan yang sangat luas dan kejujurannya dalam berpendapat.

Pertemanan yang hingga kini selalu saya kenang. Pertemanan yang sarat dengan pembicaraan dan diskusi-diskusi yang tidak mungkin saya temukan di tempat lain. Pertemanan yang tidak selamanya berjalan mulus karena ketidaksamaan pendapat. Pertemanan yang akhirnya teruji oleh waktu.

Jadi, ketika rekan saya berkomentar betapa hebatnya si A, karena dia mengenal para orang-orang hebat dan para petinggi, saya hanya mengangguk dan diam.

Sabtu, 07 Februari 2009

Ketika Makam pun Tergusur ...


Beberapa hari yang lalu ada satu buah pesan masuk di ponsel saya, pengirimnya adik saya, bunyinya “Gw lihat di TV, katanya ada 3.500 kuburan di Menteng Pulo mau digusur. Oma sama Bokap gimana ?”

Berhubung akhir-akhir ini sedang musim hujan dan walaupun jarak kuburan tersebut cukup dekat dari kantor, rasanya saya malas sekali untuk pergi ke kantor pemakaman umum di Menteng Pulo. Bukan apa-apa, macetnya itu lho yang tidak tertahankan.

Saya pun tenang-tenang saja, sampai 2 hari yang lalu, sepupu saya mengirimkan pesan ke ponsel saya, dengan jenis pertanyaan yang sama. Tiba-tiba saya jadi teringat penggalan kisah di bukunya Budiman Hakim, “Sex After Dugem, Catatan Seorang Copy Writer”, ketika ia bercerita tentang pengalaman dirinya ketika makam almarhum ayahnya digusur dari Karet ke Tanah Kusir. Bagaimana perasaannya ketika penggalian makam almarhum ayahnya dilakukan dan masalah yang timbul sesudah makamnya dipindahkan ke tempat yang ditentukan oleh pemerintah.

Budiman Hakim saja, yang almarhum ayahnya sudah meninggal selama 8 tahun, masih merasa sedih. Bagaimana saya yang 1 tahun pun belum.

Budiman Hakim miris hatinya melihat tulang-belulang almarhum ayahnya;

Saya ? Membayangkannya saja pun saya tidak sanggup, apalagi saya harus memindahkan makam 2 orang yang sangat dekat di hati saya, nenek tercinta saya, yang memanjakan saya seperti seorang putri raja dan ayah saya, yang kepergiannya pun hingga kini masih saya tangisi.

Belum melangkah ke kantor pemakaman umum pun untuk menanyakan kebenaran berita itu lutut saya sudah lunglai; entah bagaimana nanti.

Saat ini saya hanya sanggup mengirimkan pesan balasan ke sepupu saya, “Kalau Oma dan Bokap harus digusur, saya bawa saja ke Menado, dikubur di makam keluarga di Tondano saja.”

Memang jaraknya jauh sekali, tetapi minimal saudara-saudara saya ada di sana. Mungkin juga tidak ada yang berkunjung, tetapi setidaknya kemungkinan digusur tidak ada, karena pemerintah tidak memiliki hak atas tanah itu. Di samping itu keinginan ayah saya untuk dimakamkan di Menado tercapai dan nenek tercinta saya bisa kembali ke tanah kelahirannya, berdampingan dengan kakek saya.

Setidaknya, jika anak dan cucu saya pulang ke kampung halaman ibunya, mereka masih bisa melihat makam nenek moyangnya.

Bagaimana kalau saya meninggal nanti. Rasanya saya berpikir logis saja, daripada menyusahkan mereka, harus mencari lahan untuk kemudian digusur lagi, menyaksikan upacara penggalian jasad saya, lebih baik saya dibakar saja dan abunya dilarung di laut.

Beberapa tahun yang lampau saat suami sepupu saya yang beragama Hindu Bali meninggal, ada upacara Pelebon. Saya masih ingat sepupu saya menceritakan makna dari Upacara Pelebon itu, bahwa ketika meninggal tugas manusia di dunia ini sudah selesai dan ketika jiwanya berangkat menghadap sang Pencipta, maka abunya pun di larung ke laut, sehingga tidak ada lagi yang tersisa di dunia ini dan yang ditinggalkan dapat melanjutkan hidupnya.

Arti dari upacara Pelebon itu begitu melekat di hati saya.

Mungkin saya salah, tetapi bagi saya itu jalan terbaik. Hidup mereka akan lebih ringan. Makan hanyalah alat perantara mereka mengenang saya. Tetapi sesungguhnya kenangan mereka akan saya bukanlah karena melihat "alat perantara" itu, yang membuat keterikatan mereka akan diri saya adalah kenangan mereka tentang saya yangterus hidup di dalam hati mereka.

Jadi ketika waktunya tiba, saya memilih makna dari Upacara Pelebon. Semuanya kembali lagi kepada Sang Pencipta, tak ada yang tersisa di dunia ini, dan yang ditinggalkan pun dapat melanjutkan hidupnya dengan ringan ....

Rabu, 04 Februari 2009

Ketika MUI Berfatwa : Tingkatan HARAM 2009


Hasil sidang ini dicuplik dari http://www.mui.or.id/

Tentang Rokok.
Seluruh peserta Sidang Pleno Ijtima’ sepakat :
a. bahwa hukum merokok tidak wajib
b. bahwa hukum merokok tidak sunat
c. bahwa hukum merokok tidak mubah

Peserta Sidang berbeda pendapat tentang tingkat larangan merokok tersebut, sehingga hukum merokok terjadi khilaf ma baiyna al-makruf wa al-haram (perbedaan pendapat antara haram dan makruf)

Seluruh peserta Sidang Pleno Ijtima’ sepakat bahwa merokok hukumnya haram :
a. Di tempat umum
b. Bagi anak-anak
c. Bagi wanita hamil

Tentang Pemilu.
1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

2 & 3 ……..

4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.


Siang tadi, ketika saya dan rekan-rekan sekerja saya sedang mengistirahatkan otak, tiba-tiba di layar plurk saya muncul pertanyaan dari teman blogger saya, Therry, yang menanyakan apakah ada yang menonton Dialog di Metro TV tadi malam mengenai Fatwa MUI.

Tanpa diduga, salah satu rekan saya tiba-tiba nyeletuk, “Ah MUI itu ada-ada saja, mengurusi hal-hal yang tidak perlu diurus. Sekarang merokok itu tingkatannya sama kalau kita makan babi nih.”

Kemudian saya menimpali, “Oh bukan begitu, menurut MUI sekarang Haram itu ada tingkatannya, yang paling tinggi kalau makan babi, yang kedua kalau jadi Golput, yang ketiga kalau merokok.”

Betapa tidak, sekarang kan jenis-jenis perbuatan yang diharamkan menjadi banyak, tidak hanya makan babi saja tetapi merambah hingga ke urusan hak pribadi seseorang.


Ketika saya membaca kembali hasil keputusan para anggota sidang, bagi saya kedua keputusan tersebut merupakan keputusan yang berpihak pada “kesenangan” atau lebih tepatnya “keberpihakan” para peserta sidang.

Coba kita simak lagi keputusan mengenai merokok, bagi saya keputusan yang dikeluarkan sidang tetap memiliki keberpihakan yang cukup kuat pada si perokok. Jika ingin membuat keputusan HARAM yang setimpal dengan tingkatan HARAM memakan babi (seperti yang menjadi bahan gurauan rekan-rekan kantor), jadikan saja merokok itu haram.

Untuk apa HARAM jika hanya berlaku di tempat umum, untuk apa HARAM jika dilakukan oleh anak-anak dan wanita hamil ? Bagaimana hukumnya jika merokok bukan di tempat umum, di sebelah wanita hamil, atau anak-anak atau di samping wanita yang menggendong bayi ?

Tidakkah peserta sidang itu sadar bahwa bahaya merokok dan menghirup asap rokok itu sama beratnya ? Kenapa membuat hukum yang “banci” seperti itu ?

Bagi saya, sudah jelas, alasan utamanya karena sebagian peserta sidang adalah perokok yang tidak ingin kenikmatannya terganggu. Bagi saya, sudah jelas juga bahwa para peserta sidang ingin bermain aman, yaitu bermain di antara peraturan yang sudah diterapkan pemerintah.

Lalu, bagaimana hubungannya dengan Golput ?

Jika dibaca dengan seksama, butir no. 1 dan dibandingkan dengan butir no. 4, betapa bertentangannya kedua keputusan tersebut.

Negara ini adalah Negara Kesatuan yang memiliki kemajemukan dalam beribadah. Nah bagaimana jika si calon pemimpin yang taqwa, memiliki kemampuan, arif dan bijaksana beragama non Islam ?

Apakah dengan demikian kepentingan umat Islam menjadi nomor dua ? atau apakah dengan demikian kepentingan umat beragama lainnya di luar agama si Calon Pemimpin itu menjadi terabaikan ?

Saya tidak ingin beandai-andai, apalagi mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Tetapi mungkin saja kan tiba-tiba pemimpin yang cocok beragama Hindu ?

Lalu bagaimana dengan butir kelima yang ditetapkan MUI tadi, mengingat rujukan butir kelima adalah butir kesatu, yaitu merujuk kepada terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa ? sementara butir keempat mengedepankan si pemimpin tadi harus memperjuangkan kepentingan umat Islam ?

Bingung kan ? Karena mendadak tidak memilih walaupun ada calon yang memenuhi syarat dalam kaca mata MUI adalah HARAM.


Sebenarnya negara ini diatur oleh siapa sih ? MUI atau pemerintah dengan undang-undangnya ? Kemanakah UUD 45 yang menjadi dasar segala undang-undang ?

Bagi saya, MUI lebih baik memikirkan bagaimana agar tidak terjadi bentrokan antar agama di Ambon, atau di Poso atau antar FPI dan umat Islam lainnya.

Lebih baik MUI mengharamkan FPI daripada mengharamkan hal-hal yang tidak sepatutnya diharamkan, yang tidak ada hubungannya dengan kaidah agama. Atau mengharamkan orang yang menjelek-jelekkan agama lain atau mengharamkan orang yang mengaku-aku lebih hebat dari Nabi Muhammad SAW.

Bagi saya, di era dimana pendidikan tidak lagi dinikmati hanya segelintir orang, dimana orang semakin maju dalam berpikir, justru hubungan antar umat beragama mundur jauh ke belakang.

Ya mundur ke belakang, karena mendadak kemampuan berpikir mereka menjadi serupa anak SD, hanya mampu mencerna berdasarkan pengetahuan yang sempit; hanya memilih yang enaknya saja, bukan menentukan sesuatu berdasarkan pemahaman agama yang luas.

Jadi ingat pepatah seperti kerbau dicucuk hidungnya, nah .. seperti itulah para peserta sidang MUI, memutuskan mengharamkan sesuatu berdasarkan si gembala kerbau, tidak peduli kalau si gembala kerbau pun memiliki agenda tersendiri, contohnya ya itu tadi, mendadak HARAM ada tingkatannya, mendadak ada HARAM baru yang jaman dahulu kala tidak pernah terdengara, seperti HARAMNYA KUIS BERHADIAH, HARAMNYA MEROKOK, HARAMNYA GOLPUT.