Kamis, 03 September 2009

Ketika Agama bukanlah Baju kita


Tiga hari yang lalu, di tengah-tengah kesibukan saya bekerja, tiba-tiba ada sebuah surat masuk ke dalam inbox email pribadi saya, sebuah email yang ditulis oleh salah seorang pembaca blog saya tentang Catatan Saya dari Misa Paskah Anak-anak.

Email yang membuat saya terhenyak, tertawa dan kemudian merenung dalam-dalam. Email yang kemudian membawa ingatan saya kembali ke awal masa-masa kuliah.

Saya cukup beruntung mendapat dosen agama yang membuat saya seperti sekarang ini, dosen agama yang berpandangan luas, yang selalu terbuka menerima pertanyaan-pertanyaan mahasiswinya, yang dengan bijaksana membuka mata batin saya, yang sering saya mintai uang buat jajan dan terutama yang mengajarkan agama dari cara pandang Fisika (kuliah agama yang selalu membuat para mahasiswanya mengerutkan dahi).

Saya masih ingat pertanyaan saya tentang Surga dan Neraka di suatu sore kepada Dosen agama saya yang baik dan pintar itu, Alm. Pater Drost SJ, pendidik dan pemerhati masalah pendidikan, “Pater, apakah kita semua akan masuk surga ? Kalau ada orang yang tidak beragama tetapi menerapkan Hukum Cinta Kasih dalam kehidupannya dan kemudian ada orang yang sangat taat beragama tetapi tidak menerapkan Hukum Cinta Kasih, siapa yang akan masuk surga ?

Jawabannya saat itu membuat saya terhenyak, “Semua orang akan masuk surga, tetapi siapa yang paling dahulu, tentu saja yang tidak beragama tetapi menerapkan prinsip-prinsip cinta kasih dalam kehidupannya. Sedangkan dia yang beragama tetapi tidak menerapkan prinsip-prinsip Cinta Kasih dalam kehidupannya akan berada di urutan paling belakang di antrian pintu surga.”

Dan seperti kebiasaan jelek saya yang tidak pernah hilang, saya membantahnya, “Kalau begitu, lebih baik saya tidak ke gereja, tidak beragama, tetapi menerapkan prinsip-prinsip Cinta Kasih dong Pater.”

Bantahan yang kemudian dijawabnya dengan arif bijaksana, “Tidak bisa seperti itu, justru kamu tetap harus ke Gereja, sehingga jiwa kamu diselamatkan dan selalu mendapat tuntunan untuk menerapkan hukum Cinta Kasih. Jika kamu tidak beragama atau tidak ke gereja, kemungkinannya untuk tergelincir jauh lebih besar.”

Pertanyaan iseng-iseng berhadiah di sore saat saya kehabisan uang jajan yang akhirnya menguatkan iman dan mengubah pandangan saya tentang Agama hingga saat ini.

Di suatu sore lainnya, ketika uang jajan saya utuh dan saya rindu dengan perbincangan kecil kami, saya pun bertandang ke tempatnya yang menjadi satu dengan gedung kuliah saya saat itu di jalan Menteng Raya, Kanisius.

“Pater, saya mau belajar agama lain ah. Saya ingin mempelajari agama Islam dengan lebih mendalam, karena pacar saya (yang sekarang menjadi suami saya) beragama Islam.”ujar saya sambil bersiap-siap kena kuliah agama dari Alm. Dosen kesayangan saya

Namun ternyata jawabannya sekali lagi di luar dugaan saya, “Oh itu bagus, dengan demikian kamu akan lebih mengenal agama Islam sebelum kamu memutuskan untuk berpindah agama.”
Sesuatu yang tidak masuk akal bukan, seorang Pater, pemimpin agama, memberikan izinnya untuk mempelajari agama lain, tanpa sepatah kata pun menyampaikan keberatannya ataupun kehebatan agama yang saya anut.

Mendapat lampu hijau, saya pun dengan bersemangat mempelajari agama Islam, tentu saja dengan membaca buku-bukunya dan bertanya-tanya kepada pacar saya.

Hubungan saya dengan Pater Drost, tetap berjalan seperti adanya, tidak ada yang berubah, saya tetap minta uang jajan kepada beliau, tetap menyapanya setiap sore jika kebetulan saya sedang berada di area tempat tinggal beliau. Tidak ada satu patah kata pun menanyakan perkembangan keinginan saya itu.

Hingga akhirnya, di suatu sore, sebelum saya ujian kenaikan tingkat, saya memutuskan untuk bertandang ke tempat beliau, menyampaikan kabar bahwa saya ternyata tidak bisa pindah ke lain hati. Saat itu yang beliau tanyakan hanyalah bagaimana saya berproses.

“Tidak ada yang salah dalam agama Islam, Pater. Tetapi ada satu titik dalam pengalaman batin saya, yang kemudian membuat saya paham bahwa sebenarnya saya sudah menemukan kedamaian dengan cara saya berdialog dengan Tuhan,”ujar saya menjawab pertanyaannya

Setelah itu, sesuai dengan namanya “Pater Drost”, tentu saja pertemuan itu diakhiri dengan doa bersama, doa berupa ucapan terima kasih karena Tuhan telah membimbing saya mendapatkan jawaban yang selama ini saya cari. Bukan karena tetap memilih agama Katolik sebagai jalan hidup saya, tetapi karena saya telah menemukan jawaban atas kebimbangan saya.

Pengalaman batin itu kemudian menyadarkan saya bahwa agama adalah sesuatu yang tidak dapat dipaksakan. Agama adalah pengalaman batin. Agama bukanlah baju kita, agama adalah diri kita sendiri.

Sejak saat itu, tidak pernah sebersit pun terlintas dalam diri saya untuk meminta atau mempengaruhi mantan pacar saya agar berpindah agama mengikuti agama yang saya anut. Bagi saya, selama ia telah menemukan kedamaiannya dengan Tuhan melalui agama yang dianutnya, sudah cukup.

Mengenai nantinya akan masuk neraka atau surga, bagi saya surga dan neraka sudah ada di bumi ini, ketika kita hidup dan menjalani kehidupan kita sehari-hari. Setiap hari kita bertemu dengan dengan surga dan neraka. Apa yang kita perbuat di hari kemarin, akan kita tuai mungkin di hari ini, atau hari esok.