Senin, 23 November 2009

Mempertahankan Cinta


Di buku Senandung Cinta dari Rumah Kayu, karangan Dee dan Kuti, ada artikel yang menarik judulnya “ Disana, Mereka Berjuang demi Cinta”.

Dalam artikel tersebut, Dee (?) menanyakan sebuah pertanyaan yang sejak jaman saya belum lahir selalu muncul di setiap perbincangan mengenai Cinta. Dee (?) menulis tentang betapa mudahnya seseorang melepaskan pasangannya yang dulu dipilih sendiri untuk dicintai dan dinikahi, sementara di belahan bumi yang satunya lagi, banyak orang harus berjuang untuk cinta mereka.

Betapa di belahan bumi ini, seseorang tidak berusaha berjuang untuk bertahan, mempertahankan cinta mereka, sementara di belahan bumi disebaliknya banyak orang yang meneteskan air mata demi cinta mereka.

Saya pun kemudian merenung, mencoba mengingat-ingat cerita tentang cinta yang saya temui sepanjang perjalanan hidup saya.

Benarkah demikian, bahwa pernikahan yang gagal karena mereka yang terlibat di dalamnya tidak mempertahankan cinta yang mereka pilih dulu, bahwa mereka dengan mudahnya melepaskan cinta itu ?

Mungkin saja, jika pernikahan itu setara dengan ilmu pasti, dimana 2 x 2 = 4.

Tetapi menurut saya, pernikahan adalah sesuatu yang abstrak, sesuatu yang tidak bisa dirumuskan dengan rumus apa pun. Pernikahan adalah hubungan dua anak manusia yang diciptakan Tuhan berbeda satu dengan lainnya. Hubungan yang diawali dengan rasa, bukan logika.

Sehingga ketika rasa yang pertama itu itu bertabrakan dengan rasa yang datang kemudian, apakah dapat diartikan sebagai pertahanan yang rapuh ? apakah dapat diartikan sebagai kemudahan membiarkan diri tergoda ? Benarkan demikian ?

Siapakah yang mampu menjelaskan kesamaan rasa itu ? Siapakah yang mampu menjelaskan rasa yang pertama dan rasa yang datang kemudian ?

Si empunya perasaan ? ataukah mereka yang tidak terlibat di dalamnya dan hanya mampu memandang dari kejauhan ?

Siapapun akan berkata, hanya si empunya rasalah yang mampu menjelaskan itu semua, dengan sejuta alasan pembenaran. Sejuta alasan yang mungkin tidak dapat menjelaskan rasa itu sendiri.

Sejuta alasan pembenaran yang kemudian dicarikan padanannya dalam logika oleh mereka yang tidak terlibat dan hanya melihatnya dari kejauhan.

Logika yang kemudian melahirkan anggapan bahwa ketidakmampuan mempertahankan cintalah yang menjadi penyebab sang pemilik membuang cinta yang lebih dulu ada. Logika yang kemudian menjadi rumus untuk setiap kegagalan pernikahan.

Namun, benarkah demikian ? Bahwa pernikahan yang gagal karena mereka yang terlibat di dalamnya tidak mempertahankan cinta yang mereka pilih dulu ? bahwa mereka dengan mudahnya melepaskan cinta itu ?

Saya hanya tahu satu hal, jika saja logika mampu menjelaskan rasa itu, tentu tidak ada sejuta kata tentang cinta, tentu tidak ada sejuta kata tentang air mata, tentu tidak ada sejuta kata tentang rasa, tentu tidak ada sang pemilik lakon dan sang penonton.

Dan logika sampai kapan pun tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang membiarkan rasa yang datang kemudian mengalahkan rasa yang datang pertama.

Siapa pun dapat memiliki sejuta alasan untuk ketidakmampuan mempertahankan cinta, siapa pun dapat memiliki sejuta jawaban untuk sejuta alasan ketidakmampuan mempertahankan cinta.

Saya tidak berusaha mengabaikan jawaban atas alasan ketidakmampuan mempertahankan cinta, tetapi menurut saya, ketika rasa yang kemudian datang mengalahkan rasa yang pertama ada, mungkin pada saat itu sang rasa telah kehilangan maknanya. Bukan karena sang rasa memutuskan untuk pergi, atau karena sang empunya rasa tidak berusaha, tetapi mungkin karena Sang Pencipta merasa perlu mengganti lakonnya.

Mungkin ....


Jumat, 20 November 2009

Hidup ini Pilihan ...


Klise ? Mungkin, tetapi ketika kalimat itu dipergunakan di saat yang tepat, maka akan terasa kebenaran maknanya.

Coba kita hitung berapa kali pilihan yang kita ambil dalam jangka waktu 1x24 jam ? Dari sejak Tuhan mengizinkan kita membuka mata hingga saat Tuhan membiarkan kita tidur ?

Rasanya tak terhitung, dari mulai memutuskan bangun, mandi, berangkat kantor, kerja atau main, marah atau diam, makan siang di luar atau di dalam, pulang cepat atau sesuai aturan, makan malam atau tidak, tidur cepat atau tidak, menonton siaran stasiun A atau B, nyaris tidak ada yang tidak harus dimulai dengan pilihan.

Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa ketika kita memilih, ketika kita memutuskan, kita juga memikirkan dampaknya terhadap relasi kita dengan rekan sepermainan, rekan sekerja, atau pun keluarga kita ?

Jawabannya bisa ya, bisa tidak.

Beberapa waktu lalu, ketika terjadi perubahan kepemimpinan di tempat saya bekerja, salah seorang rekan saya dengan gencarnya melakukan gerakan ’menjilat atasan’. Saya tidak tahu apakah dia sadar atau tidak, tetapi tindakannya itu bisa dilihat dengan mata telanjang. Entah memang Tuhan yang sedang berpihak kepadanya, tetapi setiap kali dia melakukan gerakan ”menjilat atasan” selalu saja berhasil.

Bahkan gerakan itu tidak berhenti sampai disitu saja, dia pun dengan tenangnya menyatakan berhak atas salah satu bagian pekerjaan yang sebenarnya bukan hak miliknya.

Gerakannya yang menghebohkan itu tentu saja mengundang angin segar untuk berdiskusi, diskusi yang berujung pada sebuah kesimpulan bahwa jika kami ingin berhasil, kami harus bisa seperti dia.

Saat diskusi mencapai kata akhir, saya hanya diam dan tersenyum.

Bukan karena saya setuju atau tidak setuju, tetapi lebih semata karena saya tidak memiliki keahlian penjilat. Namun setelah saya renungkan lebih dalam lagi, rasanya bukan karena saya tidak memiliki keahilan itu, jawaban yang lebih tepat adalah karena saya memilih untuk tetap menjadi diri saya sendiri. Memilih untuk hidup tenang, tidak harus berpikir gerakan apa yang harus yang harus saya ambil jika terjadi perubahan mendadak atau berusaha menutupi ketidakmampuan saya mencapai hasil yang ditargetkan.

Dan salah seorang rekan saya yang menahan kekesalan hatinya akibat tingkah laku sang ahli gerakan penjilat itu pun tiba-tiba berkata, ”Setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya sakit hati, malah akan merugikan kesehatan saya.” dan sambil tersenyum ia melanjutkan, ”Saya sudah memilih, saya tidak akan sakit hati lagi. Minimal dengan pilihan ini saya bisa hidup tenang, tidak menyakiti hati orang lain.”

”Bukannya hidup itu adalah pilihan” ujarnya lagi.

Saya pun mengiyakan kalimat klise yang mendadak kehilangan rasa kadaluwarsanya, kalimat yang meninggalkan seribu makna di luar kekliseannya.

Sepanjang sisa hari itu, dan keesokan harinya dan keesokan harinya lagi, maknanya meninggalkan seribu satu cerita, tentang hari yang dimulai dan diakhiri dengan pilihan, tentang dampak yang ditimbulkan dari pilihan-pilihan yang kita buat dalam hitungan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan atau tahun.

Saya pun mencoba menghitung, mencoba menginventarisasi berapa banyak jiwa yang menderita, yang sakit hati, yang menangis, yang mengutuk, yang bergembira, yang berterima kasih, yang tertawa, yang mendoakan, akibat pilihan-pilihan yang saya buat dalam hidup ini.

Namun, hingga tulisan ini dibuat, saya tidak bisa mencatatnya.

Dan saya pun berkesimpulan, hanya Tuhan yang tahu karena Tuhanlah yang memberikan kita Hidup dengan Pilihan.



.... Renungan untuk sebuah cerita yang tidak pernah selesai ....