Sabtu, 31 Juli 2010

Infotainment - PWI - Fatwa MUI

Tidak lama setelah Mulharnetti Syas mempertahankan disertasinya yang berjudul Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi Indonesia (Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment) dengan hasil sangat memuaskan, berlomba-lombalah para pemilik gawang undang-undang menyuarakan pandangan mereka.


Semuanya senada, tinggal dipilih saja bahasanya dari yang memfatwanya sebagai barang haram, mengkategorikannya menjadi faktual dan non faktual, hingga membahasnya dari sisi etika jurnalistik.

Jangan salah, saya sedang tidak mengkritik Netti, saya justru sedang menikmati kesibukan para pemilik gawang undang-undang yang mendadak sibuk tadi, apalagi penjaga gawang Undang-Undang Pers yang mendadak kehilangan kemampuannya untuk berdiri tegak hingga harus meminjam fatwa MUI.


Sebenarnya, sebelum disertasi Mulharnetti Syas, diskusi mengenai ketidakpatutan infotainment sudah bergulir di media massa, di blog maupun di diskusi-diskusi terbatas. Dari soal pemberitaan yang melanggar ranah pribadi orang hingga membicarakan para pekerja jurnalistik dan pemilik medianya. Tetapi tidak pernah ada yang membahasnya dari sisi relasi kekuasaan, hanya segelintir orang saja dan itu pun masuk kategori diskusi warung kopi - karena dilakukan pada waktu senggang ketika rasa kantuk belum menyerang.

Seperti yang disampaikan oleh Prof.Dr. Sasa Djuarsa Sedjaya Phd dan juga Putu Laxman Pendit, infotainment itu sendiri sudah ada sejak jaman kuda gigit besi dengan adanya Yellow Journalism (jadi ingat jaman kuliah dulu, kategori koran kuning).


Bahkan sejak dulu pula berita yang mengandung kandungan gosip selalu mempunyai daya jual yang cukup tinggi serta mampu menghasilkan uang lebih cepat dibandingkan berita-berita lainnya.

Bedanya sekarang ini dimana kemajuan teknologi sudah semakin hebat, terasa sekali betapa berita gosip tersebut semakin merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, dengan adanya stasiun televisi yang bukan hanya satu, yang siarannya sudah dimulai dari pagi-pagi sekali, hingga internet yang proses memberitakannya hanya dalam hitungan detik (bukan proses menulisnya), maka gosip adalah komoditi berita yang paling mudah didapat dan dijual. Dan karena namanya gosip tentu saja tidak perlu berlama-lama mencari faktanya, yang penting adalah nama yang dijadikan gosip.


Jadi ketika para penjaga gawang undang-undang berteriak Haram tapi mensahkan berita Ariel – Luna karena berita itu adalah berita positif infotainment, karena berita itu untuk kepentingan umum, saya pun jadi bertanya-tanya.


Sejak kapan ada berita infotainment yang berguna untuk kepentingan umum ? Sejak kapan pula berita yang memasuki ranah pribadi termasuk berita positif.

Setahu saya ketika masih kuliah dulu – entah sekarang ini – Kode Etik Jurnalistik menyatakan secara tegas bahwa berita pers harus berimbang, bersifat netral, obyektif, akurat, faktual, tidak mencampuradukkan fakta dan opini, tidak memasuki hal-hal bersifat pribadi (privacy), menghormati asas praduga tak bersalah, tidak bersifat fitnah, dusta dan cabul.

Jadi ketika sekretaris PWI tiba-tiba mengecualikan berita Ariel – Luna, sebagai berita positif infotainment karena berguna untuk kepentingan umum, dan juga menyatakan hal-hal yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik sudah tepat karena karena adanya fatwa MUI yang mendukung Kode Etik Jurnalistik, saya jadi bertanya-tanya, lebih dulu mana Kode Etik Jurnalistik atau fatwa MUI. Sebegitu lemahkan Kode Etik Jurnalistik yang keberadaanya sudah ada jauh sebelum MUI itu berdiri di tanah air kita ?

Lalu kemana saja PWI selama ini ketika infotainment semakin marak dan jauh dari Kode Etik Jurnalistik ? Kenapa PWI mendadak bisu ketika anggotanya dengan semena-mena merasuki ranah pribadi orang, ketika anggotanya dengan semena-semena tidak lagi menghormati asas praduga tak bersalah, ketika anggotanya dengan bergembira ria menayangkan gambar-gambar cabul ?

Pertanyaan saya hanya satu, jika kategori memberitakan perceraian artis adalah fakta dan diperbolehkan karena berkaitan dengan hukum, maka pertanyaan berikutnya jika ternyata ditambahi dengan pertengkaran antara pasangan itu yang notabene adalah fakta – karena diikuti dengan pernyataan kedua belah pihak yang bertengkar - haramkah itu ? menyimpangkah itu dari Kode Etik Jurnalistik ? Bukankah fakta lanjutannya sudah masuk dalam ranah pribadi orang ?

Atau, jika kategori memberitakan nasib orang yang merekam dirinya sendiri untuk kepentingan dirinya sendiri (walaupun ini belum dibuktikan kebenarannya oleh pengadilan) tetapi kemudian karena satu dan lain hal tiba-tiba beredar di masyarakat (ini pun penyebabnya belum dibuktikan oleh pengadilan), adalah fakta dan diperbolehkan karena apa yang dilakukannya patut dijadikan contoh dosa moral - dan kemudian ditambah dengan menayangkan kutipan video tersebut - sejalankah itu dengan Kode Etik Jurnalistik ? Bukankah petikan gambar termasuk gambar cabul dan bukankah pengadilan belum memutuskan bersalahnya si pelaku ?

Berbicara mengenai moral memang mudah, lebih mudah menuding orang lain salah dibandingkan melakukan introspeksi terhadap diri sendiri. Dan bicara introspeksi terhadap diri sendiri, saya jadi merenung, jika saya menjadi pekerja jurnalistik dan harus mencari berita sensasional dimana berita tersebut harus menghasilkan keuntungan bagi perusahaan saya bekerja, salahkah saya memberitakan berita gosip itu ?

Jumat, 30 Juli 2010

Pornografi oh Pornografi


Dua malam lalu, tepatnya hari Rabu malam ada 2 pilihan tontonan TV yang sama menariknya, Trilogi CSI vs Mata Najwa. Mengapa Mata Najwa, karena topik yang dibahas kali ini adalah tentang Pornografi dengan nara sumber utama Menkominfo Tifakul Sembiring.

Semenjak membaca kicauan tentang pornografi, saya jadi bertanya-tanya seberapa dahsyatkah situs pornografi itu ? Apakah anak-anak kita – yang sering dijadikan alasan atas setiap pernyataan yang berbau pornografi – sudah terpengaruh kah ? Atau moral bangsa ini yang terpuruk karena sibuk mengakses situs pornografi ?

Hingga akhirnya saya membaca kicauan Goenawan Mohamad ”Saya tak percaya bangsa ini akan runtuh krn 4 juta situs porno. Kita akan rusak oleh 400 petinggi korup yang merusak keadilan” dan ”Di Amsterdam, yg punya ”kampung” erotika, pengunjung tempat pornografi umumnya turis. Penduduk setempat pergi ke pameran seni.”

Benar juga, batin saya. Pornografi bukanlah barang baru di abad yang serba canggih ini, pornografi sudah ada sejak jaman dahulu kala. Bedanya jaman dulu belum ada DVD, VCD, internet, sehingga pornografi pun tidak seperti sekarang ini.

Tetapi apa hubungannya kampung erotika di Amsterdam dengan pameran seni ?

Jika melihat sejarah pornografi yang sudah ada sejak ratusan atau ribuan tahun lalu lewat pahatan di gua, ataupun pada jaman Yunani dan Romawi kuno lewat tulisan dan pahatan patungnya, jelas sekali bahwa ketelanjangan tubuh manusia bukanlah barang baru. Sebagai contoh, lukisan ataupun pahatan maestro Michael Angelo, menampakkan dengan jelas bagaimana pahatan atau pun lukisannya memperlihatkan ketelanjangan tubuh manusia dengan indahnya atau sebaliknya dengan ukuran yang tidak sesuai dengan aslinya.

Dan karena lukisan atau pahatan tersebut tidak dapat diakses dengan mudahnya seperti abad sekarang ini – karena internet belum ada – maka masyarakat jaman dahulu tentu saja harus menikmati lukisan dan pahatan yang indah di tempat umum, di tempat dimana lukisan tersebut terpampang atau dimana pahatan tersebut diletakkan.

Mengapa terpampang di tempat umum ? Jawabannya jelas, karena pada masanya gambar atau pahatan tersebut berkaitan dengan hal-hal yang bersifat keagamaan. Sehingga masyarakat pun melihatnya sebagai sesuatu yang wajar.

Sementara di belahan Asia, gambar atau pahatan erotis pun bukanlah barang baru, India, Nepal, Sri Lanka, Jepang, Cina atau Mesir, juga bukan sesuatu yang baru. Gambar atau pahatan erotis tersebut erat hubungannya dengan hal-hal yang bersifat keagamaan – sebagai contoh untuk menggambarkan hukuman sebab-akibat.

Sebenarnya pahatan ini juga bisa dinikmati di Candi Borobudur – Karmawibhangga – di bagian dasar candi tersebut, jika bagian candi tersebut di balik.

Tentu saja di jaman dahulu, gambar-gambar tersebut tidak dapat disebarluaskan atau dipelintir sebagai komoditas pemenuhan hasrat dasar manusia. Bagaimana mau disebarluaskan, foto saja belum dikenal apalagi internet.

Nah lalu apa hubungannya dengan himbauan Bp. Menkominfo Tifakul Sembiring ?

Jika mengacu kepada arti dari Pornografi, maka sah-sah saja semua pihak ribut. Apalagi karena Pornografi yang berasal dari bahasa Yunani jika diterjemahkan secara gamblang memiliki arti tulisan mengenai pelacur - ”porne” (pelacur) dan ”graphein” (tulisan).

Apalagi jika dihubungkan dengan pornografi anak – siapa pun pasti memiliki sikap yang sama. Mana ada orang tua yang dengan rela anaknya menjadi korban pornografi atau menjadi komoditas pornografi. Semua orang sepakat anak adalah makhluk Tuhan yang harus dilindungi dari hal-hal seperti itu.

Namun tentu saja larangan yang membabi-buta tanpa memikirkan masak-masak akibat lanjutannya sama saja seperti razia video porno – diadakan hanya menjelang ramadhan dan jika keinginan untuk melakukan razia timbul.

Saya jadi ingat kampanye internet sehat beberapa waktu lalu. Ketika itu rekan-rekan sekerja saya sibuk membuat parameter internet sehat agar jika anak sekolah mencoba untuk membuka situs-situs porno maka otomatis situs tersebut tidak dapat terbuka. Testing berjalan mulus jika kata kunci yang dimasukkan gamblang, tetapi jika kata kunci tersebut berbelok sedikit, jangankan terblokir, situs tersebut tetap dapat diakses. Bila mengacu kepada kelayakan peluncuran program, internet sehat belum dapat diluncurkan. Tetapi menuntut kesempurnaan 100 % di area pornografi adalah hal yang mustahil. Lagipula membatasi jauh lebih baik daripada tidak ada pembatasan bukan. Jadilah internet sehat tetap berjalan.

Berkaca pada pengalaman di atas dan mendengarkan jawaban-jawaban yang dikemukakan Bp. Menkominfo Tifakul Sembiring, mau tidak mau saya harus mengambil sikap yang berbeda dengan beliau.

Saya setuju adanya pemblokiran situs porno, saya setuju razia video porno, tetapi tentu saja semua harus jelas. Mempertontonkan alat kelamin, misalnya, seperti bagaimana yang terlarang ? Bagaimana dengan lukisan Michael Angelo, misalnya ? Hal-hal inilah yang harus dipertegas. Itu dari sisi penyebaran informasi melalui internet, bagaimana dengan yang lainnya ? Bagaimana dengan VCD Porno ?

Di luar sana, UU Pornografi apalagi UU Pornografi yang bersangkutpaut dengan anak, dibuat sejelas mungkin, tanpa ada unsur arogansi kepentingan politik atau agama. Semua dilihat secara obyektif dan jernih. Dan tentu saja sanksinya pun jelas, tidak berubah-ubah sesuai dengan besarnya jumlah uang.

Jadi, ketika saya berseberangan dengan beliau, bukan berarti saya pro pornografi. Sebagai ibu dari 2 orang putri yang beranjak remaja dan dewasa, ketakutan saya sama seperti ketakutan ibu-ibu lainnya, bahkan cenderung paranoid. Tetapi jika ketakutan saya membabi-buta tentu saja akibatnya akan berdampak buruk pada kedua putri saya.

Saya sadar saya tidak mampu membendung derasnya arus informasi yang bisa diakses oleh kedua putri saya. Satu-satunya yang mampu saya berikan kepada mereka adalah pengetahuan dan keterbukaan. Berbicara tentang sex secara terbuka, menerangkan tentang alat kelamin mereka sejak mereka kecil tanpa menabukannya, mendidik mereka untuk sayang kepada tubuh mereka sendiri sedari dini dengan bahasa mereka, membekali mereka dengan buku pendidikan sex yang cocok untuk mereka adalah salah satu cara yang saya lakukan. Di samping tentu saja mengecek jejak situs yang mereka buka.

Masalahnya seberapa banyak orang tua yang berani berbicara terbuka kepada anak-anaknya, seberapa banyak orang tua yang mengerti pentingnya bicara mengenai sex secara terbuka tanpa terkesan mengecam, seberapa banyak orang tua yang menahan diri untuk tidak membeli VCD porno.

Mengutip kicauan salah seorang twitter, treespotter “Yang lebih berbahaya dari arogansi hanya arogansi intelektual”

Mungkin Bapak Menteri patut merenungkan kutipan tersebut.

Selasa, 27 Juli 2010

Dear SBY


Menarik sekali membaca kicauan burung yang dialamatkan kepada SBY walaupun SBY yang dimaksud disini adalah SBY Bayangan mengingat Bapak Presiden kita tidak mempunyai akun di twitter.

Apalagi jika yang menyampaikan kicauannya adalah generasi masa kini. Kicauan mereka selalu membuat saya terhenyak dan sekaligus tertawa. Terhenyak karena kagum dengan kekritisan mereka, tertawa karena keterusterangan mereka.

Bayangkan, mereka dengan polosnya berkicau soal Ujian Negara, soal listrik yang mati tepat ketika mereka sedang belajar, soal pelajaran bahasa Sunda, lebih tepatnya persoalan yang berkaitan dengan diri dan kehidupan di sekitar mereka.

Contohnya, kemarin ada kicauan menarik, bunyinya “Dear SBY, Pak tolong pelajaran bahasa Sunda dihilangkan, sumpah saya nggak ngerti .. “

Bagi mereka yang bertempat-tinggal di Jakarta, kurikulum untuk muatan lokalnya bukanlah pelajaran Bahasa Betawi, tetapi bagi mereka yang bertempat-tinggal di daerah perbatasan Jakarta – Jawa Barat, seperti Bekasi misalnya, kurikulum muatan lokalnya adalah pelajaran Bahasa Sunda.

Bisa dibayangkan bukan, bagaimana si anak harus berusaha keras agar tidak mendapat nilai merah untuk pelajaran Bahasa Sunda, jika sang anak lahir dari keluarga yang tidak berasal dari daerah Jawa Barat atau yang sehari-harinya tidak pernah berbahasa Sunda.

Atau hari ini, kicauan menarik lainnya “Dear SBY, masa udah 9 jam sekolah masih aja dikasih PR ?” atau tentang mendapatkan buku gratis “Dear SBY, pak presiden buku sekolah diganti dengan iBook dong”

Benar-benar ide cemerlang bukan ? Kalau dipikir secara mendalam, benar juga kicauannya, sudah sekolah 9 jam lamanya, lalu masih harus mengerjakan PR, sementara jarak dari sekolah ke rumah minimal harus ditempuh selama 30 menit, kapan dia akan beristirahat dan menggali ilmu dari kehidupan di luar sekolah mereka ?

Bukan itu saja, mengunduh buku secara gratis dan minta seluruh anak Indonesia diberi iPad gratis – terlepas dari idenya - toleransi serta pengamatan sosial mereka cukup diacungi jempol.

Sebagai orang tua yang harus membelikan buku-buku pelajaran setiap tahun ajaran baru, terasa sekali mahalnya buku-buku pelajaran mereka. Saya tidak membayangkan bagaimana nasib anak-anak yang bersekolah saja susah, apalagi harus membeli buku. Mengunduh buku pun tidak mudah, apalagi di tempat terpencil yang jaringan internetnya saja masih byar pet, tetapi setidaknya para anak itu sudah mendapatkan ide bagaimana mendapatkan buku gratis.

Seringkali kita sebagai orang tua menyampaikan keluhannya tentang anak-anak jaman sekarang, anak-anak yang dengan berani menentang orang tuanya, menyuarakan protes mereka untuk sesuatu yang menurut nalar mereka tidak benar.

Namun sebenarnya, sudah sepatutnya kita tersenyum bangga; bangga bahwa mereka berani menjadi diri mereka sendiri, bangga bahwa mereka berani menyampaikan pemikiran mereka, bangga bahwa ide mereka cemerlang.

Jadi, ketika mereka membalas teguran kita, seharusnya yang kita lihat adalah caranya dan bukan isinya. Cara atau tindakan merekalah yang harus kita luruskan – jika cara tersebut menyimpang dari etika sopan-santun.

Karena ketika mereka beranjak dewasa, saat dimana mereka harus menyuarakan sikap mereka, maka tindakan atau cara mereka dalam berpendapatlah yang membuat mereka masuk dalam kategori orang yang santun dan berbudi.

Anak Indonesia – Selamat Hari Anak