Selasa, 31 Agustus 2010

Perempuan ... Oh Nasibmu ...

Dalam jurnal perempuan edisi 67 hal 32 mengenai Nasib Jurnalis Perempuan di Indonesia yang berisikan hasil penelitian oleh Aliansi Jurnalis Independen pada tahun 2009, di salah satu rekomendasinya tertera bahwa perusahaan diharapkan memberikan hak-hak kesehatan reproduksi seperti cuti haid, cuti melahirkan serta menyusui di samping menyediakan ruangan bagi jurnalis yang menyusui. Perempuan yang melakukan peliputan malam hari, diberikan fasilitas antar jemput.

Bahkan ada penemuan yang menarik dari hasil penelitian itu, masih terdapatnya bias gender yang dialami para jurnalis perempuan, dimana perekrutan terhadap jurnalis perempuan oleh media semata sebagai siasat untuk ‘mendekati’ narasumber laki-laki, di samping harus memiliki persyaratan fisik menarik – baik wajah maupun tubuh – sesuai standar industri (khusus penilaian fisik ini berlaku untuk industri televisi).

Dari hasil penelitian itu juga dikemukakan betapa para jurnalis perempuan juga kerap mengalami pelecehan seksual dari narasumber, entah itu berupa tindakan meraba atau rayuan, bahkan ada juga yang mendapat ajakan kencan.

Membaca hasil penelitian itu membuat saya terkejut, dan memaksa saya untuk menggali sisa-sisa ingatan saat status saya masih menjadi “stringer journalist” ketika kuliah dulu. Menggali sisa-sisa ingatan ketika berhadapan dengan narasumber, perlakuan mereka terhadap saya atau perjalanan panjang yang saya lakukan bersama rekan-rekan jurnalis lainnya.

Dari hasil ingatan saya yang tersisa, narasumber yang selama ini saya wawancarai tidak pernah ada yang meraba-raba atau merayu apalagi mengajak kencan, mungkin karena penampilan saya yang selalu bercelana jeans, padahal narasumber saya saat itu dari menteri hingga rakyat jelata. Peliputan malam hari ? hm … saat itu memang tidak ada antar jemput, yang ada saya pergi sendiri dengan biaya sendiri, padahal saat itu saya sedang mengerjakan tugas meliput suasana pasar induk dini hari. Tidak juga saat saya harus meliput Kebun Binatang Ragunan saat malam hari, bagaimana mau dijemput, liputan itu mengharuskan saya bermalam di Kebun Binatang bersama rekan jurnalis pria, tidur bersama binatang yang sedang di karantina.

Tentu saja pengalaman masa lalu dan ingatan yang tersisa tidak bisa disejajarkan dengan hasil penelitian AJI, pertama karena saya belum menikah, kedua saya bukanlah jurnalis yang dibayar penuh oleh media, ketiga media televisi belum menjamur seperti saat ini, keempat euphoria “stringer journalist” – namanya juga “stringer journalist”, tugas peliputan tentu saja tergantung order dan keinginan untuk mendapatkan order.

Namun terlepas dari pengalaman masa lalu, hasil penelitian AJI adalah sesuatu yang menyedihkan, karena kondisi yang dialami jurnalis perempuan adalah kondisi yang dialami pekerja kantoran perempuan lainnya – terutama bagi pekerja kontrak (out-sourcing) dan jenis pekerjaan mereka masuk dalam lingkup pekerjaan yang mengharuskan mereka bekerja malam hari

Hasil penelitian AJI terasa mengejutkan karena ternyata pekerja media pun mengalami hal yang sama – tidak semua pastinya, tergantung dari perusahaan dimana mereka bernaung – sementara media adalah salah satu alat untuk menyiarkan kebenaran untuk kepentingan masyarakat banyak.

Penelitian itu pun di satu sisi memperlihatkan bahwa kondisi perempuan sebagai “obyek” tidak pandang bulu, entah itu TKI, entah itu pekerja kantoran, entah itu jurnalis, entah itu artis, entah itu rakyat jelata, siapa pun dalam skala kecil atau besar pasti pernah masuk dalam kategori “obyek” tersebut.

Jika sudah seperti itu siapa yang harus disalahkan ?

Saya jadi teringat pembicaraan saya beberapa waktu lalu dengan seorang teman, saat itu dalam pembicaran tersebut rekan saya berpendapat bahwa dalam kondisi dimana uang berbicara, dimana keuntungan materi lebih berkuasa, maka sampai kapan pun situasi tidak akan berpihak kepada mereka yang lemah.

Rekomendasi AJI pun pada akhirnya hanya akan berhenti sebatas rekomendasi, karena gaungnya pun tetap kalah dengan kekuasaan pemilik media.

Begitu juga dengan kondisi para perempuan pekerja kantoran lainnya – mengingat kondisi yang dialami jurnalis perempuan pun dialami perempuan yang berstatus sebagai pekerja – sampai kapan pun peraturan ketenagakerjaan tidak akan berpihak selama kekuasaan tetap berada di tangan para pemilik perusahaan.

Peraturan ataupun pengaturan undang-undang yang lebih berpihak hanya dapat terjadi, jika peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidaklah sekedar peraturan tertulis yang penerapannya tidak terpantau.

Senin, 30 Agustus 2010

Indonesia atau Indo, Saudara-Saudara ?

Beberapa waktu lalu di sebuah situs jejaring sosial, ada sebuah komentar mengenai kondisi di Indonesia yang diberikan oleh seorang Indonesia yang kebetulan bertempat-tinggal di luar negeri. Dalam komentar itu, orang tersebut menyebut Indonesia dengan kata Indo.

Saya masih ingat, saat itu saya tidak bisa menahan diri saya untuk menyampaikan keberatan saya terhadap penggunaan kata Indo, dengan memintanya menggunakan kata Indonesia atau jika hendak menyingkatnya bisa dengan kata Ind.

Saya pun kemudian menerima balasan darinya, yang mengatakan bahwa kata Indo itu lazim dipergunakan oleh orang-orang Indonesia yang bertempat tinggal di luar Indonesia. Lagipula kata Indo itu tidaklah mengandung konotasi merendahkan seperti kata Indon yang digunakan oleh orang Malaysia.

Sebuah komentar balasan yang membuat saya terhenyak dan berbalik memperhatikan penyebutan Indonesia yang dipergunakan oleh rekan-rekan saya yang kebetulan bertempat tinggal di luar negeri.

Komentar yang membuat terbangun dari hipnotis bahwa hampir sebagian besar rekan-rekan saya yang bertempat tinggal di luar Indonesia, ternyata menggunakan kata Indo sebagai pengganti kata Indonesia.
.
Entah kenapa, saya merasa ada yang kurang tepat dengan kata ganti itu, apalagi karena mereka yang menggunakan kata ganti itu notabene adalah orang Indonesia yang besar dan bersekolah di Indonesia.

Apakah mungkin mereka mendadak amnesia ? Lupa bahwa kata Indo dalam bahasa Indonesia bukanlah kata ganti dari Indonesia, melainkan kata yang memiliki arti orang Indonesia yang berdarah Eropa ?

Jika orang asing menggunakan kata tersebut, masih bisa dimengerti karena mereka bukan orang Indonesia. Tetapi jika yang menggunakan kata tersebut adalah orang Indonesia sendiri, rasanya lidah saya tidak tahan untuk tidak berkomentar.

Apalagi jika mereka yang menggunakan kata tersebut adalah mereka yang berpendidikan tinggi, ambang toleransi saya semakin menipis.

Dulu ketika Indon masih meraja, saya tidak pernah menggunakan kata tersebut jika berbicara dengan pimpinan perusahaan saya yang kebetulan orang Amerika dan Inggris. Saya tetap menggunakan kata ”Indonesia” dan bukan ”Indon”.

Atau ketika dalam percakapan bahasa Inggris, saat kita merujuk kepada bahasa Indonesia yang digunakan dalam tulisan, dimana kalimat yang digunakan hanya merujuk kepada kata ”Bahasa” saja, saya selalu memilih menggunakan ”Bahasa Indonesia”.

Saat ini dimana keindonesiaan kita terusik karena Malaysia, mungkin ada baiknya kita juga berkaca kembali, melihat bagaimana kita meggunakan kata Indonesia sebagaimana layaknya kata tersebut harus diucapkan.

Menjadi orang Indonesia yang dapat bersaing di dunia Internasional bukanlah dengan melupakan hakikat dari bahasa kita sendiri, menjadi orang Indonesia yang tinggal di negara asing bukanlah serta merta membuat kita mendadak amnesia terhadap nama dari negara kita sendiri, dengan menggantinya menjadi ”INDO”.

Saya jadi teringat kicauan burung pagi yang kurang lebih berbunyi ”Lebih berharga mereka yang berusaha berbahasa asing dengan baik dan benar daripada mereka yang tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.”

Kamis, 26 Agustus 2010

KRL khusus Perempuan di mata Perempuan

Saat membaca berita mengenai peluncuran KRL khusus perempuan tersebut entah kenapa saya merasa justru terlecehkan, terlecehkan karena bagi saya dengan membuat pemisahan seperti itu berarti perempuan tidak memiliki harganya lagi, perempuan tidak mampu berjuang untuk menegakkan haknya sebagai manusia yang layak dihargai sama seperti laki-laki.

Namun rupanya pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar perempuan yang memberikan komentarnya terhadap pernyataan saya tersebut, mengingat di mata mereka selama ini saya hampir tidak pernah menggunakan fasilitas transportasi umum.

Pendapat itu ada benarnya, tetapi mereka lupa bahwa dulu, saat kereta belum seintensif sekarang penggunaannya, dimana bis, metromini, dan mikrolet masih meraja di dunia transportasi umum, saya adalah pengguna setia mereka.

Sejak saya duduk di bangku SMA hingga kuliah bahkan di tahun pertama saya bekerja kantoran, kendaraan utama saya adalah ketiga angkutan umum tersebut. Bahkan saat saya kuliah, kecintaan saya terhadap mereka luar biasa, untuk menempuh jarak dari rumah hingga ke tempat kuliah saya harus berganti kendaraan hingga 4 (empat) kali, begitu pula saat pulangnya.

Saya pun mengalami hari-hari dimana saya tetap harus memaksakan diri masuk ke lautan penumpang yang penuh sesak, bernapas di antara ketiak orang, karena penuhnya bus atau metromini yang saya naiki. Atau hari-hari dimana saya harus dengan tega melayangkan sikut saya supaya saya bisa masuk dengan cepat dan mendapat tempat duduk jika kebetulan ada bus baru yang tiba di terminal. Atau hari-hari dimana saya harus berlari-lari mengejar bis dan mendaratkan kaki saya ke dalam bis ketika bis melambatkan jalannya atau pun sebaliknya mendaratkan kaki saya di aspal ketika turun.

Sehingga saya pun mengerti benar rasanya berada di antara lautan penumpang dimana para pria penggemar kesempatan dalam kesempitan melancarkan aksinya, dari menggosokkan alat kemaluannya, menempelkan punggung bagian belakangnya hingga kernet yang hobby menepuk pantat penumpang wanita – karena saya termasuk salah satu korbannya.

Tetapi tentu saja kemudian ada bantahan yang menyatakan bahwa itu dulu, beda dengan sekarang. Itu pun sah-sah saja dan benar.

Jaman sekarang berbeda dengan jaman saya dulu, jumlah penduduk semakin menyemut sementara transportasi umum tidaklah bertambah mengikuti pertambahan jumlah penduduk, sehingga aksi para penggemar kesempatan dalam kesempitan semakin bertambah.

Jaman sekarang berbeda dengan jaman saya dulu, dimana pelecehan seksual dapat dijadikan delik aduan terhadap pelecehan kaum perempuan, sehingga para pria bisa mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya.

Sehingga sudah sepantasnyalah dan sepatutnya pemerintah mencarikan jalan keluar yang bisa menjembatani kedua hal tersebut. Namun sayangnya jalan keluar yang diberikan tidaklah efektif dan tidak menyelesaikan akar dari permasalahan ini, yaitu Pelecehan Seksual.

Pernahkah kita mengetahui jumlah laporan pengaduan pelecehan seksual di Indonesia atau Jakarta – dalam hal ini busway atau KRL atau transportasi lainnya ? Nyaris tak terhitung. Entah terlewat atau saya tidak bisa menemukannya, tetapi media pun tidak pernah memberikan angka pastinya mengenai tingkat pelecehan seksual di KRL maupun busway.

Bagi saya, penerapan KRL khusus perempuan tetap saja tidak efektif, tetap saja suatu bukti bahwa perempuan belum memperjuangkan haknya untuk dihargai sebagaimana layaknya kaum pria. Terlalu naif untuk merasa bersyukur gerbong khusus perempuan sudah tersedia, karena kejahatan yang sebenarnya dibiarkan oleh kaum perempuan itu sendiri.

Maka berapa pun jumlah gerbong yang disediakan selama kaum perempuan tidak mau bertindak, tidak mau membela dirinya sendiri, bentuk pelecehan ini tetap akan bertambah.

Bicara mengenai situasi ini, beberapa waktu lalu senior saya, Putu Laxman Pendit mengirimkan link tentang kondisi serupa yang terjadi di Jepang, ini linknya http://english.pravda.ru/news/society/21-08-2006/84007-groping-0 dan bagaimana menurut Putu 3 tahun sesudahnya kaum pria menuntut hal serupa http://english.pravda.ru/news/society/21-08-2006/84007-groping-0

Senin, 23 Agustus 2010

Renungan Puasa

Satu hari menjelang Ramadhan, di antara berbagai kicauan burung mengenai puasa dan razia ormas untuk menciptakan suasana kondusif saat Ramadhan, tiba-tiba mata saya berhenti di salah satu kicauan teman saya yang mengomentari kicauan tentang Ucapan Selamat Berpuasa.


Tepatnya kicauan tersebut bunyinya seperti ini ”Selamat berpuasa bagi yang berpuasa dan Selamat menghormati mereka yang puasa bagi yang tidak puasa.”

Rekan saya kemudian mengomentari kicauan tersebut bahwa mereka yang meminta kepada yang tidak berpuasa untuk menghormati mereka yang berpuasa adalah mereka yang jiwanya tidak percaya diri, kalau mereka percaya diri tentu mereka tidak akan minta dihormati, mereka akan dihormati dengan sendirinya.

Saya pun tersenyum di samping merasa miris membaca komentar tersebut. Tersenyum karena komentar tersebut tepat sekali dan miris karena mereka yang memiliki pemikiran seperti itu hanyalah segelintir orang, bahkan pemerintah pun tidak memiliki pemahaman sedalam itu. Buktinya, semua tindakan yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan selalu diakhiri dengan embel-embel untuk menciptakan suasana kondusi selama bulan puasa.

Sebenarnya, puasa bukanlah milik segolongan agama, semua agama di dunia mengenal puasa walaupun cara dan lamanya berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Juga tidak ada puasa yang satu lebih berat dari yang lain, semuanya sama beratnya dan sama ringannya.

Hanya satu hal yang sama dari berpuasa itu, pendekatan diri dengan Sang Maha Kuasa, kesempatan untuk merenung, kesempatan untuk menahan diri, kesempatan untuk melihat ke dalam diri sendiri dengan lebih intensif, kesempatan untuk memperbaiki relasi yang kurang baik, kesempatan untuk melihat sesama kita yang selama ini luput dari perhatian kita.

Dan justru karena makna puasa tersebutlah maka tidak selayaknya kita menciptakan suasana kondusif untuk mempermudah pendekatan diri kita dengan Sang Maha Kuasa. Jika suasana dibuat sekondusif mungkin, bagaimana kita bisa bergulat dengan Setan yang selama ini selalu menjadi penghuni setia di dalam diri kita, yang mampu mengusir Sang Maha Kuasa dari kehidupan kita ?

Menahan lapar dan haus adalah hal yang mudah, bukan hal yang sulit. Menahan lapar dan haus menjadi hal yang sulit justru ketika Setan sedang berkeinginan untuk bermain dengan kita. Bukankah kemenangan yang gemilang justru ketika musuh di medan perang dapat kita kalahkan, dan berbicara mengenai medan perang, tidak ada medan perang yang sepi dari tembakan senjata. Kalau tidak ada tembakan senjata berseliweran, pasti namanya bukan perang.

Sehingga menjadi hal yang ironis saat tempat hiburan malam, atau lokalisasi atau VCD porno menjadi hal pertama yang harus diamankan demi terciptanya suasana kondusif saat ramadhan dan bukan karena alasan moral lainnya.

Dan terasa menggelikan karena mendadak negara ini menjadi negara yang alim, bukan karena sebagian besar rakyatnya berhasil mengalahkan setan tetapi karena setan dikerangkeng untuk sementara.



PS :
Rasanya tidak sabar menanti ramadhan tahun depan, pasti nyanyian yang sama terulang kembali. Entah jika para ormas nantinya sadar bahwa Berpuasa adalah Saat hening kita bersama Sang Khalik

Kamis, 19 Agustus 2010

Merdeka di Jakarta itu .....

”Bagaimana merdeka di Jakarta bagi hidup Anda ?” kurang lebih begitulah kicauan burung yang muncul di layar handphone saya pada tanggal 16 Agustus lalu. Kicauan yang disampaikan oleh Marco Kusumawijaya tersebut segera menarik perhatian saya, apalagi disertai dengan embel-embel jawaban ditunggu paling lambat tgl 17 Agustus pukul 10 pagi karena hendak diterbitkan dalam bentuk buku.

Segera reaksi narsis saya muncul, ”Wah kapan lagi nih nama saya bisa muncul di buku terbitan Marco Kusumawijaya.”

Alih-laih memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut saya pun mulai membayangkan skenario narsisme berikutnya, lengkap sejak jawaban tersebut saya posting hingga komentar pembaca saat buku tersebut diterbitkan.

Tetapi dasar saya itu cepat sekali teralihkan perhatiannya apalagi bila pekerjaan kantor memanggil-manggil saya untuk kembali ke dunia nyata, maka segera fantasi narsisme itu menguap menyisakan pertanyaan yang membekas dalam alam ingatan dan pikiran saya.

Hingga datanglah tanggal 17 Agustus dengan pertanyaan tentang arti merdeka di Jakarta bagi hidup saya yang memanggil-mainggil meminta diberi jawaban.

Ada beberapa skenario jawaban yang muncul dalam benak saya dari yang kesannya patriotik hingga yang biasa-biasa saja.

Tetapi kemudian saya merenung, melakukan kilas balik kehidupan saya di ibukota tercinta ini, dari sejak menjadi penghuni hingga tersingkir ke daerah pinggiran karena padatnya perkampungan modern bernama Jakarta.

Hingga tibalah saya kepada pertanyaan apa yang membuat saya merasa terasing di Jakarta ?

Tinggal di perkampungan besar ini sejak lahir, menjadi anak Menteng, Kebayoran dan Rawamangun sebelum tersingkir ke daerah pinggiran alias ”suburb” bahasa kerennya, membuat saya sadar betapa Jakarta dullu tidaklah seperti sekarang.

Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya tidak dapat menikmati kemerdekaan bersepeda, mainan favorit anak-anak seperti yang saya alami. Dulu, saya masih bisa bermain sepeda bahkan kebut-kebutan dengan teman-teman saya di jalan Sumatera, Sumbawa dan Jawa. Masih merasakan dikejar tukang jual mangga yang membawa pikulannya karena tertabrak sepeda saya.

Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya sudah tidak dapat merasakan kehidupan bertetangga ala kampung Dulu, di sebelah rumah saya tinggal orang Arab dengan keluarga batihnya dalam 1 rumah. Si Abah, begitu saya memanggil beliau memiliki 3 anak kecil serta dalam 1 rumah. Jika bulan Ramadhan tiba, si Ame, begitu saya memanggil istri si Abah, dengan senang hati mempersilakan kami bermain di dapurnya saat beliau menyiapkan kue-kue untuk berbuka puasa dan jika waktu berbuka tiba kami pun mendapat oleh-oleh juadah buatan beliau yang hingga kini masih terbayang-bayang dalam ingatan saya

Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya sudah tidak dapat merasakan nikmatnya naik becak sore hari ditemani angin semilir. Dulu, ibu saya punya tukang becak langganan yang selalu mengantarkan saya dan adik saya ke sekolah. Bukannya kami tidak memiliki mobil, tetapi menurut ibu saya, jarak tempuh antara rumah dan sekolah terlalu dekat bagi sebuah mobil. Sebelumnya bahkan saya kalau ke sekolah berjalan kaki, maklum jarak antara rumah dan sekolah terkenal itu hanya sepelemparan batu.

Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya sudah tidak dapat merasakan manisnya buah cerme yang dengan mudah dapat ditemui di pinggir jalan. Dulu, saya dan teman-teman, tidak pernah melewatkan buah cerme yang berwarna kemerahan yang dengan mudah kami temui sepanjang perjalanan pulang dan berangkat sekolah. Memetik dan memakannya adalah keasyikan tersendiri.

Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya sudah tidak dapat merasakan enaknya es krim Tjanang, es krim yang rasanya tak tergantikan walaupun saat ini masih ada es krim Zangrandi dan Ragusa. Dulu, jika kedua orangtua saya membawa saya ke jalan Sabang untuk menikmati es krim Tjanang, kami selalu memilih duduk di luar – di kursi rotan yg terbuat dari rotan bukan rotan plastik -. Menikmati sore dan es krim, suatu kemewahan luar biasa.

Dan masih sederet lagi jika Anak saya tinggal di Jakarta. Saya harus realistis. Merdeka di Jakarta bagi hidup saya tentulah tidak bisa menengok ke belakang. Zaman berubah, kota pun harus berubah mengikuti perkembangan zaman. Sederet jika anak saya tinggal di Jakarta tidaklah menjawab pertanyaan yang diajukan Marco Kusumawijaya.

Jawaban saya haruslah berdasarkan perenungan yang berkaitan dengan saat ini, zaman dimana becak bukan lagi transportasi utama, zaman dimana gedung pencakar langit adalah hal yang biasa, zaman dimana motor mendadak jadi pasukan berani mata di jalan-jalan kota Jakarta.

Jawaban saya haruslah berdasarkan perenungan atas hasil interaksi saya dengan manusia-manusia maju, modern, berpendidikan tinggi, metropolis dan majemuk. Interaksi yang meninggalkan bekas mendalam di hati saya, entah itu baik atau buruk.

Saya pun mengeluarkan sederet interaksi yang meninggalkan kesan indah dan buruk, menyaringnya dan berkesimpulan :

”Merdeka di Jakarta bagi kehidupan saya adalah jika saya bisa memakai celana pendek dan tank top tanpa terlihat sebagai orang asing”


PS :
Ucapan selamat sudah disampaikan kepada negeri tercinta lewat kicauan burung