Minggu, 30 Januari 2011

Pengendara Motor .. Cerminan Bangsa Indonesia ?


Semenjak berkantor di ujung dunia, saya jadi berkesempatan melihat sisi lain dari wajah Jakarta yang selama ini selalu menghias pagi saya.

Saya tidak pernah bermimpi berkantor di belahan Jakarta yang jauh dari kesan glamor dan mewah, belahan Jakarta yang mobil mewahnya bisa dihitung dengan jari, belahan Jakarta yang Pak Polisinya pun nyaris tidak ada, belahan Jakarta yang walapun dilewati jalur busway nyaris tidak terlihat aktivitas buswaynya.

Tetapi rupanya Tuhan memang berkehendak lain, kali ini Tuhan memaksa saya untuk menikmati wajah Jakarta yang selama sejarah saya bermimpi tidak pernah mampir ke alam tidur saya.

Bagaimana tidak, sudah hampir empat bulan saya berkantor di bagian barat Jakarta, tetap saja setiap hari saya harus mengurut dada, membatin – kadang bersyukur namun lebih banyak menyesali diri – melihat carut-marutnya lalu lintas di belahan barat Jakarta ini.

Betapa tidak, jika selama ini saya selalu bersua dengan pasukan motor yang jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan pasukan mobil , kali ini yang terjadi sebaliknya. Pasukan motornya sanggup menguasai hampir 80 % dari jalan yang terpanjang di antara jalan-jalan di Jakarta.

Belum lagi melihat para pengendara motor yang dengan seenaknya menentang arus, seakan nyawa mereka tidak satu melainkan seribu, membuat kadar tingkatan sumpah serapah saya naik dua kali lipat banyaknya. Kadar sumpah serapah yang kerap saya tahan jika saya sadar bahwa hampir sebagian besar team saya mengendari sepeda motor.

Jika di pusat kota jalur busway rasanya jalur yang terhormat, di sini jalur busway hanyalah pemanis jalan saja. Dulu, saya berangan-angan bahwa saya akan naik busway hingga ke satu titik dan supir saya akan menjemput saya di titik tersebut. Tetapi ketika saya melihat betapa hebatnya sterilisasi jalur busway di jalan yang panjang itu, saya langsung menghentikan angan-angan itu dari alam pikiran saya. Bisa-bisa mobil saya jauh lebih cepat dari si busway.

Jika sebelumnya mata saya terbelalak karena ulah si motor, saat itu mulut saya yang membentuk lingkaran besar karena kagum dengan ulah mobil yang tanpa merasa bersalah menggunakan jalur busway.

Rasanya pagi itu saya bertanya kepada Tuhan, berapa lama lagi saya harus bertemu dengan keanehan tapi nyata a la Jakarta, berapa lama lagi saya sanggup bertahan melihat ketidakberaturan seperti itu. Keajaiban yang sanggup memutarbalikkan pagi saya yang indah.

Saya tidak habis berpikir, kemana perginya si rasa malu dan sungkan yang dimiliki oleh para penguasa jalanan itu ? Atau memang mereka tidak memiliki rasa malu dan sungkan ? Atau mungkin rasa itu ada tapi jika mereka bertahan dengan rasa sungkan dan malu, mereka akan jadi yang tertindas, sehingga mereka memutuskan membuang jauh-jauh rasa itu.

Seorang rekan saya pernah berkomentar, inilah fakta tentang orang Indonesia yang sesungguhnya. Lihat saja jumlah orang yang memiliki motor, lebih banyak dari mereka yang memiliki mobil. Motor itu bukanlah barang yang sulit untuk dimiliki, siapa pun bisa memiliki motor, entah mereka berpendidikan atau tidak, entah mereka mampu atau tidak, entah mereka dari kelas sosial tinggi atau rendah.

Tapi apa hubungannya dengan fakta tentang orang Indonesia yang sesungguhnya, hubungannya dengan tidak adanya rasa malu dan sungkan ?

Berdasarkan data tahun 2009, ada 35 juta unit sepeda motor berseliweran di Indonesia dengan rasio sepeda motor versus penduduk Indonesia yaitu 8:1. Sehingga, jika melihat angka di atas, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa inilah fakta tentang orang Indonesia (tidak semuanya tetapi sebagian besar), bangsa yang kepemilikan rasa sungkan dan malunya berada nyaris di titik paling bawah.

Lihat saja ulah para pasukan ninja, betapa bangganya mereka jika bisa menerobos lampu merah, betapa bangganya mereka jika mampu meliuk-liuk di antara mobil-mobil tanpa peduli bahwa jika mereka tidak awas liukan itu bisa mengakibatkan goresan ataupun tabrakan beruntun, betapa bangganya mereka karena mampu menggunakan jalur busway.

Saya jadi berpikir, jika di jalan saja cerminan bangsa Indonesia sudah seperti itu, bagaimana dengan kehidupan lainnya ?

Tiba-tiba ada suara lain yang berbisik di telinga saya, ‘Tidak usah heran jika korupsi merajalela, tidak usah heran jika suap pun marak, wong urat malu dan sungkan bangsa ini nyaris tidak ada.’

Saya pun teringat nasihat ibu saya beberapa waktu lalu, katanya ‘Jika kamu meminta, jika kamu membiarkan dirimu di suap, ingat, nama kamu akan selamanya tercoreng, karena para penyuap akan menceritakan namamu ke penyuap lainnya. Mungkin kamu tidak tahu, tetapi di belakang kamu, mereka akan mentertawakan kamu.’

Kata beliau lagi, ‘tidak mudah untuk hidup bersih, tapi setidaknya jika kamu memelihara rasa malu dan sungkan, anak-cucu kamu tidak perlu hidup dengan corengan di wajah mereka, hidup kamu pun akan berjalan dengan tenang.’

Minggu, 23 Januari 2011

Pertarungan

Beberapa waktu lalu ketika saya iseng-iseng mampir menengok akun Facebook saya dan meninggalkan jejak di salah satu profil seorang teman, ia langsung membalasnya serta menanyakan keberadaan saya yang mendadak hilang dari peredaran dunia maya.
Tidak lama kemudian, ada pesan yang muncul di sarang saya, pesan dari sesama blogger –  yang kemudian beralih menjadi teman di dunia nyata – bertanya tentang keberadaan blog saya yang mendadak kosong melompong.
Nyaris beberapa hari sebelumnya, karib saya pun memperingatkan saya tentang kualitas kehidupan yang saya jalani beberapa bulan terakhir. Ia memperingatkan betapa pentingnya menjaga diri dari “burn-out”  alias kelelahan total yang pernah saya alami beberapa waktu lalu.
Saya pun seperti biasa merenung, melihat kembali kilas balik kehidupan saya sejak saya dinyatakan hilang oleh teman-teman saya, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Harus saya akui, komentar dan pertanyaan mereka tepat, saya memang menghilang, tepatnya menghilangkan diri dari melakukan hal-hal yang saya sukai, membenamkan diri dengan pekerjaan, seolah waktu yang disediakan Tuhan bagi saya hanyalah untuk bekerja dan bukan membuat hidup saya berwarna.
Seperti biasa, kiri dan kanan saya saling membenarkan, hingga di suatu sore ketika saya melewati jalan-jalan yang kerap saya lewati dulu, duduk di sudut tempat ngopi yang kerap menjadi tempat persembunyian saya untuk merenung, saya menyadari bahwa saya harus memenangkan kehidupan saya kembali, kehidupan dimana saya memiliki waktu untuk merenung, menyapa kehidupan lewat lensa kamera saya, atau pun menjelajah alam khayal lewat untaian kata-kata buku yang saya baca.
Tiba-tiba saja ketika kesadaran itu datang, saya mendadak terserang penyakit rindu, rindu bercengkerama dengan pagi, rindu menikmati sore dengan teman-teman masa lalu, rindu bertukar-sapa dengan dunia maya.
… dan inilah akhirnya .. tulisan pertama di tahun 2011 … akhirnya saya bisa memenangkan diri saya kembali