Minggu, 10 April 2011

Pararel ... Humor a la Indonesia

Pernahkah kita membaca suatu kata dalam Bahasa Indonesia yang salah dalam penulisannya ?   Saya rasa sebagian dari kita mungkin pernah membacanya tetapi entah kenapa tidak menganggapnya sebagai suatu kesalahan bahkan menganggapnya sebagai suatu kecelakaan dalam penulisan.
Padahal jika kita mau merenungkannya lebih dalam lagi, kemungkinan besar yang menuliskannya pun tidak tahu bagaimana cara menuliskan kata itu. Sejauh artinya masih bisa dipahami, urusan benar atau salah dalam menulis, menjadi urutan paling belakang, mungkin begitu pikiran alam bawah sadarnya membenarkan ketidaktahuannya.
Baru-baru ini ketika saya berkunjung ke sebuah mal di daerah Bekasi, tiba-tiba pandangan saya tertumbuk pada sebuah tulisan yang terpampang di dinding gedung parkir mal tersebut. Judulnya “Pararel”.
Ketika membaca tulisan “Pararel”, asumsi saya, tulisan itu dibuat karena si penulisnya berangkat dari bagaimana kata tersebut dilafalkan oleh sebagian besar orang.  Sayangnya asumsi saya ini salah total.
Ketika saya iseng-iseng mencoba untuk bertanya ke Paman Google dengan mengetik kata “Pararel” saya menemukan beberapa tulisan yang menggunakan kata tersebut. Bahkan saya menemukan 2 (dua) universitas ternama di Jakarta yang menuliskan kata “Paralel” dengan “Pararel”.
Saya jadi ingat diskusi kecil kedua anak saya ketika membaca kata tersebut. Mereka berdua serempak berkomentar, “Hahahaha …mana ada pararel dalam bahasa Indonesia.”  Komentar yang kemduian berlanjut mendiskusikan kata “Atlet”. Si sulung bertanya kepada saya, mana penulisan yang benar, atlit atau atlet ? Belum sempat saya menjawab, si bungsu sudah mendahului saya, katanya “Kalau tidak salah sih, atlet. Aku pernah baca tulisannya. Buktinya Hotel Atlet saja ditulis “Atlet” bukan “Atlit”.
Dan karena rasa penasaran saya yang semakin meningkat, kata “Atlit” pun saya tanyakan ke Paman Google ? Hasilnya ? Lebih parah dari kata “Pararel”, kali ini pewarta berita yang menggunakan kata “Atlit” tersebut.
Saya jadi  teringat sebuah buku berbahasa asing yang berjudul “Lost in Translation : Misadventures in English Abroad”. Buku “Lost in Translation” ini  berisikan cuplikan kesalahan tata bahasa maupun kesalahan penulisan yang dilakukan di berbagai belahan dunia dimana bahasa Ibu mereka bukan bahasa Inggris. Di salah satu bagian buku tersebut, ada kisah tentang tulisan bahasa Inggris di sebuah hotel di Indonesia, alih-alih menuliskannya ‘sameday service’ ; si penulis menuliskannya ‘someday’. Pengucapannya memang agak mirip tetapi artinya bertolak-belakang.
Siapa pun yang membacanya akan tersenyum simpul dan mafhum bahkan kemungkinan besar akan menganggapnya sebagai sebuah kecelakaan penulisan.
Tetapi bagaimana halnya jika kesalahan tersebut justru terjadi ketika kita menggunakan bahasa Ibu kita sendiri ? Apakah kita akan mafhum juga ?
Entahlah. Namun satu hal yang pasti, tidak ada salahnya kita membuka Tesaurus Bahasa Indonesia atau membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk memastikan keabsahan penulisan suatu kata. Apalagi jika tulisan itu untuk publik.
Menjadi orang Indonesia bukan berarti kita pasti benar dalam menuliskan suatu kata. Saya pun hampir tergelincir, alih-alih menuliskan mafhum, saya malah menulis mahfum. Untung ada Tesaurus Bahasa Indonesia. Jika tidak ? Lengkap sudah Humor a la Indonesia …

Renungan tentang Pertemanan

Ketika foto wajah yang cantik dan mulus beredar di milis bbm saya beberapa waktu lalu, jantung saya berhenti berdetak. Rasanya wajah itu tidak asing lagi bagi saya, rasanya mata saya masih bisa mengenalinya.

Wanita yang dijadikan bahan gunjingan seantero Indonesia itu adalah salah satu rekan saya ketika saya masih bekerja di bank asing tersebut. Bahkan bukan hanya rekan sekerja, kami bertiga – Linda, begitu saya memanggilnya – bekerja di bagian yang sama, senasib dan sepenanggungan.


Sehingga ketika berita tersebut beredar, hingga hari ini, tidak habis-habisnya saya berpikir, apa yang membuat ia nekad melakukan perbuatan seperti itu.


Saya masih ingat pertemuan saya tanpa sengaja dengan dirinya beberapa tahun lalu, ia masih menegur saya dengan ramah, bertukar-cerita tentang masa-masa dimana kami bekerja di bagian yang sama, saling bercerita tentang keluarga masing-masing.


Saat itu, tidak ada yang berubah dari dirinya, wajahnya masih sama seperti saya mengenalnya puluhan tahun lalu. Kecantikan dan keramahannya tidak memudar walaupun saat itu usianya sudah tidak semuda belasan tahun lalu.


Sehingga ketika salah satu petinggi kepolisian mengatakan bahwa yang ada di badannya tidak ada lagi yang ‘asli’, saya jadi tergugu. Apalagi ketika membaca cercaan yang dialamatkan kepadanya, baik di media elektronik maupun di milis bbm, rasanya saya tidak sanggup menanggapinya. 


Di grup milis bbm saya, beberapa di antaranya juga mengenalnya semasa kuliah, bahkan ada juga yang mengenalnya semasa SMA. Membaca hujatan yang mereka tujukan kepadanya membuat saya hanya bisa mengusap dada. Linda bukan teman dekat saya, pertemanan kami hanyalah karena kami bersama-sama bekerja di bagian yang sama, selama beberapa tahun, sebelum akhirnya saya pindah ke divisi lain dan akhirnya mengundurkan diri dari bank ternama itu.


Namun melihat bagaimana dengan sekejap teman-temannya berpaling, membuat saya mengamini apa yang disampaikan para bijak bahwa teman yang sesungguhnya adalah teman di kala kesusahan sedang menghampiri kita dan bukan di kala kita sedang berada di puncak kejayaan.


Saya tidak hendak menjadi si manusia paling suci ataupun super hebat, tetapi entah kenapa ada sesuatu dalam diri saya yang menahan saya untuk menghujat dirinya.


Saya hanya merasa bahwa kehidupan ini penuh dengan misteri yang tidak dapat diketahui oleh manusia, kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupan akan membawa kita di masa mendatang, kita tidak pernah tahu apakah kita selamanya akan bertahan untuk berjalan di jalan yang lurus.


Justru dari peristiwa itu, ada pelajaran yang bisa dipetik, betapa kita tidak pernah bisa menaksir seberapa kuat diri kita menghadapi tekanan sekeliling kita, seberapa rentan kita terhadap godaan yang ada dan seberapa cepat diri kita menyadari kesalahan yang kita perbuat.


Kita tidak pernah tahu dan tidak akan pernah tahu …


Jika ada yang bertanya kepada saya mengenai apa yang dilakukannya, dengan lantang saya akan berkata bahwa apa yang diperbuatnya salah dan tentunya dia harus dihukum atas perbuatannya itu.


Tetapi apakah saya harus ‘membuang’ ia dari daftar teman yang saya miliki, rasanya tidak. Dia pernah menjadi rekan sekerja yang menyenangkan dan penuh pengertian.


Bagaimana dengan mereka yang menghujat  ? Bukan hak saya untuk mengadilinya. Mereka pun tentu punya alasan untuk amnesia dan menghujat.