Jumat, 31 Januari 2014

Loyalitas Karyawan

Beberapa waktu yang lalu ketika saya sedang mendiskusikan program loyalti untuk suatu produk, tiba-tiba salah seorang teman saya dari bagian sumber daya manusia mengajukan ide untuk mendisain program loyalti untuk karyawan perusahaan dimana saya bekerja.

Saya yang sedang berdiskui mengenai program loyalti tertegun sebentar sebelum mengajukan pertanyaan mendasar,'kenapa mendadak ingin mengadakan program tersebut.'

Saya tahu bahwa program loyalti tidak terbatas untuk konsumen saja tetapi juga bisa diterapkan pada karyawan suatu perusahan, tetapi tentu saja jenis program tersebut bukan poin reward, karena prinsip dari poin reward adalah memberikan reward kepada konsumen terhadap barang yang dibeli sehingga nantinya si konsumen - jika tertarik disamping senang menggunakan produk tersebut - diharapkan akan kembali lagi membeli produk tersebut dan tidak pindah ke lain hati.

Sementara untuk karyawan, tidak ada barang yang dibeli dari perusahaan. Justru karyawan itulah yang memberikan sesuatu atau dengan kata lain menjual pikiran dan tenaganya kepada perusahaan dan sebagai alat pembayarnya perusahaan tersebut memberikan gaji.

Nah, kembali ke topik alasan ingin mengadakan program poin reward tersebut, si rekan saya yang dari sumber daya manusia itu, tanpa jeda langsung menimpali pertanyaan saya. Katanya, program poin reward itu keliatannya ide menarik agar karyawan loyal bekerja di perusahaan tempat kita bekerja.

Saya tertegun sejenak sebelum mengeluarkan jurus senyum saya yang tidak pernah berhasil membuat atasan saya bertekut-lutut dan mengeluarkan kalimat ampuh saya, "Hah ? Gak salah tuh ? Kok poin reward sih ? Naikin aja gaji karyawan setiap kali, nanti juga loyal."

Tetapi kemudian - saat mobil saya terjebak macet - tiba-tiba ingatan saya kembali lagi ke percakapan dengan si rekan sumber daya manusia tadi.

Kalau nanti ternyata tiba-tiba si Presiden Direktur dari komunitas sableng ini tiba-tiba setuju, lalu apa kriteria pengumpulan poinnya ? Apa iya program poin reward pasti bisa membuat karyawan loyal ?

Ide untuk membuat karyawan loyal pada perusahaannya tentu saja suatu usaha yang patut mendapat acungan jempol. Tapi kenapa berpikirnya rumit sekali ya ?

Bagi saya, karyawan yang baik adalah karyawan yang loyal terhadap dirinya sendiri, karena dengan loyal terhadap dirinya sendiri, berarti dia akan memberikan totalitas terhadap tenaga dan pikirannya untuk mencapai target yang diterapkan perusahaan terhadap dirinya. Loyal terhadap diri sendiri berarti tidak akan membiarkan dirinya 'gagal' sehingga ujung-ujungnya tentu saja menguntungkan perusahaan disamping tidak akan merugikan dirinya sendiri sebagai seorang 'karyawan'.

Nah, lalu apa bedanya dengan saya loyal terhadap perusahaan saya ? Loyal terhadap perusahaan berarti apa pun yang terjadi saya tetap akan bekerja di perusahaan itu, walaupun ada kesempatan yang lebih bagus dari perusahaan lain, saya tetap tak bergeming. Cinta saya hanya kepada perusahaan itu. Cinta yang bagi saya membahayakan karena ketika perusahaan itu tiba-tiba mati, pastinya saya akan merana setengah mati.

Rasanya, saya ingin kembali dan berdebat dengan si rekan sumber daya manusia tadi, dan bertanya kriteria pengumpulan poinnya mau dilihat dari sisi apa, lama masa bekerja, lamanya menghabiskan waktu di kantor, waktu kedatangan, waktu kepulangan, tidak pernah sakit, tidak pernah izin ?

Sampai tahun jebot pun, andaikata kriteria tersebut di atas digunakan dan kemudian diterapkan, rasanya tingkat 'turn-over' perusahaan tersebut tidak akan berubah, mengalami peningkatan ya, tapi tidak akan mengalami penurunan.

Hari gini, coba deh introspeksi diri dulu, apakah saya sudah memberikan yang seharusnya kepada karyawan untuk membuat karyawan nyaman bekerja di perusahaan saya ?

Ah, namanya juga komunitas sableng, tidak heran ide-idenya juga sableng.

Selasa, 14 Januari 2014

Team Building vs Budaya Perusahaan

Setelah bekerja di berbagai industri dan mengalami 'team building' belasan kali dengan berbagai tema yang ujung2nya agar tercipta kerjasama team yang solid, entah kenapa kali ini saya mendadak apatis terhadap haru biru seperti itu.

Dulu, saat 'team building' masih dalam hitungan di bawah 5 kali, saya percaya bahwa 'team building' mampu membawa perubahan terhadap kerjasama antar departemen, rekan-rekan sekerja bisa saling menghargai dan semua bahu-membahu berusaha mencapai tujuan mulia perusahaan.

Tetapi setelah hitungan keikutsertaan saya di atas 5 kali, pelan-pelan kepercayaan saya terhadap acara sejenis luntur.

Bagaimana mau percaya, wong teman yang sebelum 'team building' suka pakai gaya kodok aka menendang orang supaya dia bisa naik jabatan, setelah acara itu tetap saja dengan gaya kodoknya.

Teman yang satunya lagi, tingkat egoismenya juga tidak mengalami perubahan, sikap asertifnya datar-datar saja. 

Si kelompok eksklusif, tetap saja tidak mau membuka diri untuk menerima siapa saja yang hendak bergabung

Hanya segelintir orang yang berusaha merubah diri sesuai pelajaran yang diterima, dan itupun orang-orang yang notabene dari awal masuk ke perusahaan tersebut tidak punya agenda tertentu.

Sebenarnya, punya kelompok sendiri, sah-sah saja, karena setidaknya kelompok kita bisa menjadi penyemangat di saat rasa malas atau kecewa atau sedih menimpa nasib kita.

Punya ambisi pribadi, itu harus. Soalnya kalau tidak punya ambisi pribadi, bisa-bisa kita jadi dipandang tidak berpretasi atau orang apatis. 

Tidak ada yang salah dengan itu, apalagi kalau kita melihat ke belakang, berteman secara berkelompok sudah dimulai sejak kecil, sejak kita duduk di bangku taman kanak-kanak.

Lalu kenapa sekarang menjadi salah dan harus diperlukan 'team building' agar kerjasama tim dapat terjalin sehingga ujung-ujungnya tujuan perusahaan tercapai.

Kalau direnungkan lagi, mungkin karena perusahaan yang butuh 'team building' tidak sadar budaya yang dimiliki dan diterapkan di perusahaannya sendiri.

Sehingga ketika rekrutmen dilakukan yang dicari hanyalah orang yang sesuai dengan selera pimpinan perusahaan atau selera rekruter.

Para petinggi perusahaan yang seperti itu mungkin atau tidak tahu bahwa memiliki karyawan dengan budaya yang sama setidaknya bisa memperkecil kesenjangan akibat karakter manusia yang berbeda satu dengan lainnya.

Saya ingat perbincangan saya dengan sahabat saya dulu, ketika kami membahas soal kerjasama tim.

Katanya, "soal orang yang ambisius, punya gaya kodok, itu ada di setiap perusahaan, tetapi kenapa perusahaan dimana kita bekerja bisa kompak, penyebabnya karena dengan sadar HRD-nya saat merekrut mencari personil yang memiliki budaya yang sama, tingkat ekonomi yang tidak terlalu jauh kesenjangannya, disamping tingkat pendidikannya."

Dan saya pun teringat mantan Direktur Marketing saya di perusahaan terdahulu, "Jangan lupa ya, cari orang yang punya budaya, tingkat ekonomi dan pendidikan yang sama dengan tim kita."

Jadi, kembali lagi soal acara team building, saya tetap apatis, apalagi karena tidak ada yang berubah.

Teman yang saat satu bis menjadi orang yang tanah dan bisa bercerita panjang lebar, saat bertemu kembali di kantor, melihat saya seperti baru kenal.





Rabu, 08 Januari 2014

Surat untuk Botol


Tidak ada yang serba kebetulan di dunia ini, semua saling berkaitan, selalu ada makna di balik setiap peristiwa yang singgah di kehidupan kita, begitu kata orang bijak.


Selamat jalan teman, selamat berjumpa dengan Sang Khalik.  Jika kami menangis bukanlah karena ketidak-ikhlasan kami, melainkan karena kami bahagia engkau telah terbebas dari penderitaan dan sekarang berbahagia bersama-Nya.

Terima kasih teman, karena di sisa hidupmu, engkau mengajarkan kepada kami tentang ‘perjuangan’, tentang ‘kepasrahan’, tentang ‘keikhlasan’, tentang ‘pertemanan’, dan tentang ‘dunia yang penuh tawa’  di sela-sela penderitaanmu.

Dan jika saat ini kami masih mengenangmu dengan rasa kehilangan yang amat sangat, bukanlah karena kami tidak merelakanmu, melainkan karena perpisahan ini terasa mendadak bagi kami semua.

Engkau pasti berbahagia melihat betapa kami mengagumi ketegaran istri dan anak-anak tercinta di hari engkau berpulang. Si kecil selalu berada di sisi ibunya, Si sulung bercerita dengan tenang tentang saat-saat terakhir ayahnya dan Istri tercinta tetap berdiri tegak menerima ucapan duka yang seolah tak pernah henti dari teman-temanmu yang datang bagaikan air bah.

Seperti kata orang bijak, tidak ada yang serba kebetulan di dunia, selalu ada makna di balik setiap peristiwa yang singgah di kehidupan kita, dan itu semua bermula di suatu tempat bernama Citiphone Banking, layanan 24 jam customer care, 7 hari seminggu, Citibank.

Pekerjaan sebagai CitiPhone Banking Officer bukanlah pekerjaan yang mudah walaupun bagi kebanyakan orang, pekerjaan itu bisa dikerjakan oleh siapa saja. Hanya segelintir orang dan kita semua yang bekerja di dalamnya yang tahu betapa tidak mudahnya bekerja melayani pelanggan tanpa bisa menduga emosi dan pertanyaan pelanggan yang menghubungi kita. Tidak mudah karena emosi, suara, dan kosentrasi kita semua tidak boleh terganggu, saat pelanggan menghungi kita – suara dan konsentrasi harus sama, baik itu tengah malam walaupun pagi hari, saat perut kenyang ataupun lapar, bahkan saat mengantuk ataupun saat segar bugar.

Di tempat itulah kita semua bertemu dengan Didi Dirgantara – Botol – begitulah caramu memperkenalkan diri. Sosok yang selalu tersenyum dengan mata jenakanya. Sosok yang selalu mampu membuat kami semua tertawa.

Dan benar, tidak ada yang kebetulan, karena Tuhan dengan caranya yang indah, menggunakan engkau untuk menyampaikan pesannya tentang “Perjuangan”, tentang “Kepasrahan”, tentang “Persahabatan, tentang “Keikhlasan” ….

Dan inilah cerita kami semua tentang Botol, teman kami tercinta, yang mampu menyatukan kami semua yang telah terpisah selama belasan tahun ….
  
“Wah gue agak susah nih nginget-nginget masa lalu sama botol. Dibilang gaul banget engga, tapi kayaknya si botol nempel aja bayangannya. Kebanyakan ya interaksinya waktu bareng di Citibank, becandaan sambil lalu, soalnya kalau gak makan siang selisipan, shift gw balik, dia dateng. Atau ya paling outing atau acara kantor. Paling cara dia jalan, nyengir, ketawa, makan, ngantuk, ngerokok yang gue inget, sama meluk kalo ketemu  atau pas nenangin muka jutek gue. Kalo curhat juga pembahasan selalu ngaco, gak pernah fokus sama masalah. Ujung-ujungnya jorok lagi, jorok lagi, gak pernah ada yang penting selain konyol-konyolan sama Botol.

Tapi Botol orangnya serius kalo kerja, komit, pekerja keras, lumayan ambisius ngejar target-targetnya, tau apa yang dia mau, informatif, bisa bergaul kemana aja dari bawah sampe atas, kiri, kanan, depan, belakang dan cinta banget sama Maya, bininya. Gue jarang lihat dia marah atau sedih. Mungkin karena lebih banyak memori ketawa-ketawanya.

Cara gue nginget seorang Botol itu ya kebanyakan dari momen-momen kebersamaan dalam kebahagiaan karena Botol adalah sosok yang senang berbagi kebahagiaan.

Terakhir waktu ketemu dia di rumah Dani, dia lebih banyak ketawa dan meluk gue seperti biasanya Botol. Tatapan matanya yang selalu seperti bilang, “Everything is going to be okay.”
Selamat jalan Didi “Botol” Dirgantara. Gue selalu kangen pelukan-pelukan loe". …. Mia

"Buat gw, Botol adalah teman yang gw yakin adalah teman. Bertemu dimanapun dari jauh dia sudah manggil, walaupun dengan panggilan tidak senonoh; perek, cabo, pelacur, dsbnya.

Ketemu di jalan raya saat tidak ada kendaraan pun, dia tanpa diminta sudah nyediain tumpangan walaupun arahnya belum jelas apakah sama atau tidak.

Saya cemburu Botol, temannya banyak. RIP Botol" … Randy

"Kalo waktu bisa diputerbalik, pengen rasanya ketemu Botol lebih sering pas udah gak di Citi dan sebelum denger dia mulai sakit.

Ketemu  Botol buat gw adalah hiburan lahir batin dan pastinya ada yang hilang di hati gw begitu ada masa dimana rasanya susah banget janjian ketemu ama Botol, padahal dulu kita bisa makan nasi goreng berdua sambil ketawa en bete bareng.

Sediiiiih banget waktu denger Botol sakit serius, tapi gw kagum luar biasa karena Botol bisa tetep kuat, tegar dan optimis. Gimana gak kagum kalo dia masih bisa pasang icon smile sambil ngabarin kalo lagi masuk rumah sakit karena tensinya drop. Apalagi waktu bezuk di akhir bulan November 2013, udah kurus banget dan w tau kondisinya lagi gak nyaman banget tapi tetep penuh senyum, tawa dan becanda.

Gw akan sangat kehilangan sosok Botol yang kalo ketemu pasti manggil penuh semangat pake senyum lebaaar dan meluk kenceeeeeng banget, becandaannya, cela-celaannya, juga perhatiannya.

Have a pleasant journey dearest friend. I will miss you so much. You will always be in my heart and pray"… Ery

Jumat, 03 Januari 2014

Tahun Baru = Resolusi Baru ?

Seperti biasa saat memasuki awal tahun baru, maka bermunculanlah resolusi-resolusi yang kita percayai akan menjadi awal langkah keberhasilan kita menjadi manusia baru membuang manusia lama kita.

Ada banyak cara yang disampaikan mereka – si pembuat resolusi – agar mereka dikuatkan dan diteguhkan sehingga mampu menuliskan saat tahun yang baru tersebut berakhir, entah lewat blog atau twitter, atau facebook. Salah satu rekan di kantor, bahkan menuliskan resolusinya di buku agenda kantornya, dengan alasan lebih mudah diingat dan dijalankan karena dibuka setiap hari.

Saya dan ternyata ada banyak juga teman-teman saya juga yang ternyata tidak memiliki resolusi apa pun untuk tahun yang baru ini.

Saya tidak tahu alasan teman-teman yang tidak memiliki resolusi apa pun, tapi bagi saya alasannya sederhana saja, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, kita tetap harus berniat mengalahkan hal-hal yang kita anggap sebagai penghalang kita menjadi manusia baru.

Benar bahwa memasuki tahun masehi yang baru, seperti menggunakan buku baru yang halamannya masih putih bersih, tetapi apa yang kita tuliskan sebenarnya sama, pelajaran yang kita catat pun sama, bahkan peristiwanya pun nyaris sama untuk tidak dikatakan sama. Yang berbeda hanyalah cara kita menyikapinya, rasa aka emosi yang menyertai peristiwa itu.

Dulu – bahkan tahun lalu – saya masih memiliki segudang resolusi, di antaranya dengan mencantumkan jumlah buku yang hendak saya baca di tahun 2013, jumlah buku yang berkurang dibandingkan tahun 2012. Tapi rupanya resolusi yang sudah saya perbaharui itu pun kandas di tiga bulan pertama saat tahun yang baru tersebut mulai menggulirkan bulan-bulannya.

Belajar dari kegagalan demi kegagalan yang saya alami dengan resolusi-resolusi tahun baru tersebut, dan setelah mendengarkan khotbah Romo menjelang tahun yang lama berakhir, saya pun menyadari bahwa kita tidak perlu menunggu tahun yang baru untuk membuat target baru, untuk menjadikan diri kita manusia yang lebih baik lagi, karena setiap hari adalah hari baru.

Kita tidak perlu menunggu 1 tahun untuk melihat kembali buku catatan kita, dan kemudian bersepakat dengan diri sendiri untuk membuat buku catatan baru kita penuh dengan tinta dan gambar yang berwarna-warni.

Kita bisa memulainya setiap saat, seperti saat kita bersekolah dulu, ketika kita merasa buku kita sudah tua, usang, kemudian kita membuangnya dan menggantinya dengan buku yang baru, dengan kertas yang indah, serta mengisinya dengan penuh kehati-hatian agar buku tersebut tidak bernasib seperti buku tua dan usang itu.

Kapan saat yang tepat, itu kembali lagi kepada diri kita sendiri, tergantung kepada disiplin yang kita terapkan pada diri kita sendiri, disiplin untuk berhenti sejenak, merenung, dan melihat buku catatan kita.

……. Selamat tahun baru …….