Sabtu, 05 November 2016

Hilangnya Akal Sehat


Mengamati peristiwa yang terjadi tanggal 04 November 2016, dan melihat bahwa di antara pendemo adalah teman-teman sekerja dan mantan anak buah yang notabene amat sangat berpendidikan, membuat saya terhenyak.


Di satu sisi saya salut atas rasa berbela-rasa mereka, di sisi lain membuat saya sedih karena bangsa ini mudah sekali bersimpati tanpa berusaha mencaritahu penyebab utama dari keyakinan yang mereka perjuangkan.

Begitu mudahnya mereka – kaum cendikia – termakan oleh berita yang dengan mudahnya diplintir oleh seorang Buni Yani, tanpa berusaha mencerna terlebih dahulu, melakukan cek dan ricek, menyimak pesan ulama yang benar-benar paham tentang agama Islam (bukan ulama yang berangkat dari pemahaman Al Quran secara harafiah).

Atau lebih jauh lagi, termakan begitu saja oleh himbauan yang disampaikan oleh salah seorang petinggi partai – tanpa berusaha mencerna rekam jejak beliau dan menganggap bahwa apa yang disampaikannya adalah suatu kebenaran tanpa melihat bahwa sebenarnya yang dilakukan sebenarnya memperalat agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Ketika saya mempelajari sejarah agama Islam – Islam Through Its Scriptures – diceritakan bahwa dalam perkembangannya ada beberapa aliran yang lahir ketika Nabi Muhammad meninggal dunia, dan salah satu di antaranya adalah aliran garis keras yang berusaha mengembalikan kondisi seperti masa dimana Nabi Muhammad hidup, menafsirkan Al Quran seperti apa adanya, tanpa melihat konteks ayat tersebut dikeluarkan. 

Hal yang sama saya dapati ketika  membaca tulisan Neng Dara Affiah, salah satu orang yang saya kagumi karena pemikiran-pemikirannya, yang berjudul ‘Aksi Bela Islam’.

Kedua tulisan itulah yang membuat saya lebih paham kenapa organisasi-organisasi yang bebela-rasa pada tanggal 4 November tidak menggunakan paham cek dan ricek.

Bagi mereka, benar atau salah berita yang mereka dengar, tetap salah. Terlebih orang yang menyampaikannya bukan dari golongan mereka (begitu teman saya menyebut saya, orang dari golongan berbeda). Itu bisa saya mengerti.

Tetapi yang membuat saya tidak mengerti, kenapa kaum cendikia pun menggunakan paham yang sama dengan organisasi-organisasi agama yang berunjuk-rasa.

Memandang wajah teman-teman saya dan bahkan mantan anak buah saya yang tetap ikut hingga rusuh dimulai, melahirkan sejuta pertanyaan yang hingga kini tidak pernah terjawab.

Bagi saya seharusnya para cendikia itu bisa berpikir dan mencerna, apakah benar pemahaman saya terhadap yang saya suarakan, apakah benar informasi yang saya terima, apakah benar tindakan saya bukan didasari fanatisme yang berlebihan.

Saya setuju mereka berbela-rasa, dan harus berbela-rasa ketika agama yang diyakininya dihina atau dicela. Tetapi berbela-rasa untuk permasalahan yang sejak awal sudah tidak tepat karena dipolitisir, karena diplintir untuk kepentingan sekelompok orang, tentunya menyedihkan.

Mengamati wajah mereka, mencermati profil mereka dan tulisan-tulisan mereka di laman pribadi mereka, akhirnya saya harus mengakui bahwa sebenarnya teman-teman saya yang berada di jalan pada tanggal 04 November lalu itu, bukanlah berbela-rasa terhadap penistaan agama mereka, tetapi berbela-rasa untuk tujuan yang berbeda.

Dan lebih menyedihkan lagi ketika di laman media sosial mereka, dengan lantangnya mereka berujar bahwa provokator adalah seseorang dari golongan lain, golongan Nasrani.  Mengumbar kartu identitas yang dicurigai sebagai provokator yang ditangkap oleh FPI.

Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan, sejarah mencatat, Kebhinekaan Indonesia tidak pernah dipahami secara menyeluruh dan merata. Seberapa nyaring pun kita berseru tentang keberagaman dan kemajemukan bangsa ini, setiap kali suara kita hilang.

Dialog yang seharusnya dijadikan alat untuk menepis kesalahpahaman entah mengapa mendadak terlupakan. Apalagi Akal Sehat, itu adalah keniscayaan.

Mungkin hilangnya suara tentang keberagaman dan kemajemukan bangsa ini, karena tingkat pendidikan bangsa kita yang masih rendah. Atau mungkin karena bangsa ini terdidik untuk selalu menerima sesuatu tanpa berusaha mencerna, menyimak, dan mencari kebenarannya.


Sangat disayangkan, saat bangsa lain sibuk berlomba-lomba mencari kehidupan di planet lain, Indonesia tetap terpuruk dalam pusaran yang sama.