Senin, 24 Agustus 2009

Nilai-Nilai Kehidupan


Beberapa waktu lalu, putri sulung saya bercerita tentang beberapa teman sekelasnya yang memiliki jiwa entrepreneur, walaupun diri mereka berkelimpahan. Ada yang berjualan gelang anyaman benang, ada yang berjualan nasi goreng, bahkan ada yang berjualan pudding.

Saya masih ingat komentarnya, “Gila Nda, si X itu tajir banget lho, tapi aku suka sama dia, soalnya dia nggak sombong, terus cuek aja lagi jualan gelangnya.” Atau “wah temenku ada yang jualan puding, enak lho Nda pudingnya.” Atau “Hihihi, tadi si A bawa nasi goreng, enak banget, dia jualin ke kita-kita, terang aja enak, dia punya restoran sea food sih.”

Mendengar celotehnya tentang temannya yang kebetulan Ibu dari temannya duduk sebagai pengurus di forum yang sama dengan saya, saya pun terkagum-kagum.

Bayangkan, uang itu bukan masalah bagi anak itu. Berlibur ke luar negeri sama saja dengan kita bepergian ke Bogor. Gadget ? Jangan ditanya, blackberry terbaru pun dia punya. Tetapi bahwa dia dengan senang hati membuat gelang dan menjualnya tanpa rasa malu adalah sesuatu yang patut mendapat acungan jempol.

Dulu, entah sekarang, sering kita mendengar komentar miring tentang etnis tertentu, tentang betapa pintarnya mereka melihat peluang atau betapa licinnya mereka berdagang. Komentar miring yang membuat kelas “pedagang” kalah pamor dengan mereka yang berada di kelas “karyawan ataupun pejabat pemerintah”. Komentar miring yang membuat para komentator selalu berlindung di balik kata “keberuntungan” jika faktor ekonomi tidak setingkat kelas “pedagang”.

Padahal, jika kita berkaca pada “sejarah keberhasilan” mereka – seperti yang diceritakan anak saya – faktor “keberuntungan” itu karena mereka telah berkali-kali gagal, berkali-kali bangkit, sebelum akhirnya menemukan harta karun. Dan bukan itu saja, mereka tidak memandang tinggi diri mereka – tingkatan ekonomi bukanlah sebagai suatu barometer bahwa mereka tidak perlu turun ke bawah untuk belajar.

Dan betapa bangganya saya ketika anak sulung saya kemudian mengutarakan niatnya untuk berjualan di sekolah. “Aku mau jualan macaroni schotel, tapi ingat ya Bunda, jangan mahal-mahal harganya.”

Betapa saya yang belum pernah menghitung untuk memberikan harga jual, kemudian belajar memberikan harga jual. Betapa anak saya yang tidak pernah memiliki pengalaman berjualan, kemudian mulai belajar melihat peluang dan mengerti bagaimana caranya berjualan yang baik, berjualan yang tidak merugikan usaha teman.

Saya tidak akan pernah lupa teleponnya di suatu siang, ketika saya masih berkutat dengan pekerjaan kantor, “Bunda ...macaroni schotelku laku semua,”ujarnya dengan gembira.

Dan di suatu sore, “Bunda,..anak-anak mulai bosan, macaroni schotelku ada yang tidak laku,”ujarnya dengan lesu

Pada saat itulah saya membenarkan renungan saya, bahwa di saat keberhasilan dan kegagalan datang, pada saat itulah anak saya belajar hakekat kehidupan berdagang. Bahwa keserakahan akan membawa pada kerugian, bahwa kesabaran akan membawa hasil selama kita dengan tekun berusaha bangkit lagi, bahwa hati nurani harus selalu digunakan bukan sesuatu yang harus ditinggalkan di suatu tempat, bahwa kepercayaan dan kejujuran adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi

Saat itu saya bersyukur bahwa anak sulung saya mendapatkan nilai-nilai kehidupan melalui kehidupan dunia nyata.

1 komentar:

boy mengatakan...

coba baca outliers atau black swan deh...

kesimpulan kedua buku itu: keberuntungan lebih penting daripada kerja keras :)