7 hari lalu, menjelang Adven minggu keempat, ketika saya sedang asyik memotret patung Pieta di Gereja Kathedral, tiba-tiba sudut mata saya menangkap sesosok bayangan berwarna coklat, tersembunyi di balik tempat lilin-lilin dinyalakan, berdiri di sudut kanan patung Pieta.
Butuh waktu bagi saya untuk mencerna bahwa sesosok bayangan itu bukanlah seorang Pastor atau Biarawati, melainkan sosok seorang Ibu tua mengenakan sweater berwarna coklat dan rok yang senada.
Saya mencoba untuk mengambil foto ibu itu, tetapi entah kenapa ada suara yang meminta saya untuk mengalihkan lensa dari wajah penuh kepasrahan yang sedang menatap patung Bunda Maria menggendong Yesus, anaknya yang terkasih itu.
Saya pun mengalihkan obyek saya ke sudut lainnya dari Gereja yang megah itu, hingga tanpa sengaja saya bertemu kembali dengan Ibu tua tadi, tepat ketika shutter speed hendak saya tekan, tiba-tiba saya tersadar bahwa obyek saya itu adalah Ibu tua di Patung Pieta.
Saya pun terpaku, lupa bahwa momen yang tidak bisa diulang kembali itu akan hilang. Saya hanya menurunkan kamera saya dan melihat Ibu tua tadi dengan rasa iri yang tiba-tiba memenuhi hati saya.
Ya, saya iri, iri karena Ibu tua tadi memiliki kepasrahan kepada Sang Bunda dan Sang Putra. Kepasrahan yang tergambar lewat pancaran matanya, lewat lipatan tangannya, lewat senyum yang tersungging di bibirnya ketika bercakap-cakap dengan Sang Bunda dan Sang Putra.
Kepasrahan akan beban hidup yang ditanggungnya, yang secara tidak sengaja tertangkap oleh telinga saya, ketika salah seorang Bapak menyalami si Ibu tua tadi. Kepasrahan bahwa Sang Bunda dan Sang Putra tidak akan pernah meninggalkannya.
Berhari-hari sesudah hari itu, saya tidak pernah berhenti memikirkan Si Ibu tua itu. Rasanya saya ingin sekali memiliki sikap pasrahnya, memiliki secercah senyum ketika bercakap-cakap dengan Sang Bunda dan Sang Putra.
Berhari-hari sesudah hari itu, saya berusaha mengembalikan kembali rasa untuk berpasrah yang entah kenapa hilang dari kehidupan saya. Rasanya setiap kali saya bertemu dengan Sang Bunda dan Sang Putra, lidah saya terasa kelu, bukan karena enggan menyapa tetapi lebih karena saya kehilangan ketulusan untuk menyapa.
Kepasrahan saya telah berganti menjadi sepotong kalimat yang diawali dengan kata yang sama, “Mengapa”. Andaikata pun bentuknya berganti, tetap saja memiliki arti yang sama, “Mengapa”.
Rasanya rindu hati ini untuk memiliki secercah kepasrahan seperti Ibu tua tadi, kepasrahan yang membuat saya tegar menjalani setiap lubang yang saya temui sepanjang perjalanan hidup ini.
Rasanya tidak ada yang saya inginkan pada hari natal kali ini, selain semangat untuk berpasrah, semangat untuk dengan ikhlas menerima setiap lubang yang saya temui sepanjang perjalanan hidup ini, semangat untuk menyapa Sang Bunda dan Sang Putra dengan senyum.
… And so I’m offering this simple phrase ….
Although its been said many times, many ways,
A Very Merry Christmas to you …
1 komentar:
Oh.. menginspirasi...
Posting Komentar