Rabu, 20 Januari 2010
Perempuan .. oh .. Perempuan
Di sebuah catatan facebook, seorang senior saya saat kuliah dulu, Putu Laxman Pendit, menulis sebagai berikut :
Saya nggak paham soal pengharaman, tapi ingin mengerti aspirasi kaum perempuan yang menolak industrialisasi atawa bisnis tubuh mereka – walaupun tubuh itu ‘cuma’ diwakili oleh rambut.
Dan ditambahi dengan ‘catatan awal’ : notes ini terutama untuk kaum pria, tapi yang perempuan juga boleh.
Membaca berita tentang saran pengharaman rebonding bagi wanita lajang oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se Jawa Timur dan alasan yang melatarbelakangi pengharaman tersebut, membuat saya terhenyak.
Menurut perumus komisi Ustadz Darul Azka seperti di kutip Detik di bawah ini, dikatakan bahwa :
"Pada masyarakat kita saat ini, berpenampilan menarik dengan tujuan menjalankan syariat agama sepertinya sangat kecil kemungkinan dapat dilakukan. Terutama pada wanita single yang justru nantinya cenderung untuk gaya-gayaan saja," jelas Perumus Komisi B FMP3 ustadz Darul Azka (30), dalam jumpa pers di Gedung TPA dan TPQ Lirboyo, Kamis (14/1/2010).
Darul menambahkan, pengambilan keputusan haram pada rebonding khusus untuk wanita single juga didasarkan pada nalar atau pemikiran ulama, yang menganggap keberadaan wanita single seharusnya terlindung dari segala hal yang sifatnya mengundang terjadinya maksiat. "Bukan tidak mungkin dari sekedar gaya bisa mendatangkan maksiat dan sebelum itu terjadi, akan lebih baik diantisipasi," imbuhnya.
Sungguh alasan yang sebenarnya bagi saya merendahkan kaum perempuan, karena melihat perempuan sebagai obyek maksiat.
Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan mungkin harus diharamkan bagi kaum perempuan dibandingkan urusan “rebonding” itu tadi.
Seperti Kekerasan dalam rumah tangga, atau Ibu membunuh anaknya sendiri atau Keluarga yang lebih mementingkan pendidikan bagi anak laki-lakinya dibandingkan dengan anak perempuannya karena anak laki-laki lah yang akan mencari nafkah bukan anak perempuan.
Jika ingin berpihak kepada perempuan, berpihaklah dari sisi dimana perempuan terpinggirkan bukan dari sisi kemaksiatan yang mempunyai 1001 penyebab.
Selama ini tidak pernah terbukti bahwa “Rebonding” menimbulkan gairah bagi pria. Berapa persen perkosaan yang terjadi karena faktor “rebonding” ? Sepanjang umur saya, belum pernah saya membaca berita perkosaan terjadi karena faktor “rebonding”. Bahkan perkosaan yang terjadi di sebuah pesantren di Tangerang pun bukan karena unsur ”rebonding”, melainkan karena jin nya marah belum makan, kata si Ustadz yang menjadi tersangka.
Melihat dari saran fatwa pengharaman itu, saya pun mengambil suatu kesimpulan, nyata sekali bahwa dalam contoh soal saran fatwa pengharaman, perempuan sama sekali tidak diperkenankan membela dirinya sendiri, perempuan menjadi komoditas kaum lelaki, perempuan adalah obyek bukan subyek.
Bagaimana tidak menjadi subyek, bagaimana tidak diperkenankan membela dirinya sendiri, bagaimana tidak menjadi komoditas kaum lelaki, wong saran fatwa pelarangan itu datangnya justru dari Pondok Pesantren Kaum Puteri dan yang berbicara adalah sang Ustadz – notabene seorang lelaki.
Rekan saya, Putu Laxman Pendit, memang tidak membahas soal fatwa pengharaman, beliau membahas kaum perempuan sebagai obyek bisnis komodifikasi tubuh perempuan.
Bagi saya, perempuan pada dasarnya senang mempercantik diri. Saya pun senang mempercantik diri, bukan semata untuk dilirik kaum pria, tetapi terutama untuk kepuasan diri saya sendiri. Bagi saya, merasa cantik itu penting karena secara tidak langsung membuat diri saya bersemangat menjalani kehidupan.
Tetapi jika akhirnya terlena oleh rayuan kaum lelaki – akibat kesenangannya mempercantik diri – rayuan disini tidak semata unsur maksiat melainkan unsur komodifikasi bisnis juga, bagi saya kembali lagi, salah si perempuan itu sendiri.
Salah karena kenapa mau dirayu dengan berbagai kebohongan, salah kenapa mau tertipu, salah kenapa enggan mengatakan tidak, salah kenapa selalu mau dijadikan obyek.
Maka dari itu, bagi saya, daripada sibuk mengurusi urusan tubuh perempuan, lebih baik bekalilah kaum perempuan dengan cara berpikir, cara bertindak, melihat diri bukan sebagai kaum terpinggirkan ataupun obyek, tetapi sebagai manusia utuh yang mempunyai hak sama seperti layaknya seorang individu.
PS.
Terima kasih Mas Putu atas inspirasinya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Merawat diri, memperindah diri, sama dengan mensyukuri pemberian Tuhan kepada kita. Dalam agama, bukankah kita diajarkan untuk bisa mensyukuri?
Banyak fatwa2 yang konyol2 yang dikeluarkan oleh badan2 agama, yang mana mereka sendiri mungkin tidak tahu apa itu rebonding. Kalau ulama2 boleh 'mendandani' diri dengan memelihara jenggot goaties tebal2, kenapa perempuan tidak boleh mempercantik diri dengan rebonding? Lagian kan menurut mereka perempuan islam musti pake jilbab, toh nantinya ditutup jilbab juga. So?
Posting Komentar