Rabu, 24 Februari 2010

Anak .. Tanggung Jawab Siapakah ?


Sepotong pemberitahuan masuk dalam email saya, Frans Nadeak menautkan saya dalam “notes”nya yang berjudul “Anak adalah Anugerah”.

Saya selalu senang membaca catatan-catatan yang dituliskan oleh Frans Nadeak, catatan yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang sederhana namun sarat dengan perenungan-perenungan yang mendalam.

Kali ini dalam catatannya, Frans mempertanyakan kepada sidang pembacanya, pertanyaan yang seringkali didiskusikan, dijadikan bahan penulisan di berbagai media maupun blog, siapa saja yang bertanggung-jawab dalam mendidik seorang anak, mengingat pesatnya perkembangan dunia saat ini,

Saya pun tergugah dan merenungkannya dalam-dalam. Sebagai seorang Ibu dari 2 orang putri sekaligus seorang wanita karir, tentunya ada banyak orang yang terlibat dalam pendidikan kedua putri tercinta saya.

Sekelebat di benak saya terbayang wajah Ibu dan Alm. Ayah saya, Baby sitter dan pembantu si kecil, guru mereka di sekolah, buku, televisi dan teman sepermainan mereka. Merekalah yang selama ini lebih banyak berada di sekeliling kedua putri saya dibandingkan saya.

Kalau sudah begitu, siapakah yang bertanggungjawab dalam mendidik kedua putri saya ? Kakek-Nenek ? Guru ? Pembantu ? Teman Sepermainan ? Buku ? Televisi ?

Jawabannya, orang tua mereka, atau lebih tepatnya saya dan ayah mereka, bukan kakek-nenek mereka, atau guru mereka, atau pembantu mereka atau teman sepermainan mereka atau buku-buku mereka ataupun acara televisi favorit mereka.

Mengapa orang tua ? Mengapa bukan Guru atau Sekolah?

Bagi sebagian besar orang, urusan ”mendidik” adalah teritori sekolah karena sekolah adalah pusatnya pendidikan. Tetapi bagi saya, urusan ”mendidik” adalah wilayah kekuasaan saya sebagai orang tua; sekolah hanyalah wadah bagi anak saya untuk menjalankan kerja praktek dari teori-teori yang saya berikan kepadanya sebagai orang tua. Sekolah adalah tempat anak saya belajar berhitung, membaca, menulis, sejarah, ilmu pengetahuan alam, geografi, bahasa, atau tepatnya semua yang berbau ilmu.

Sehingga berangkat dari keyakinan saya di atas, Guru adalah orang yang tepat untuk mengajar anak saya bukan mendidik. Atau kalau dikomposisikan maka bisa dikatakan 90 % mengajar dan 10 % sisanya mendidik.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana saya bisa mendidik mereka sementara waktu yang saya habiskan di luar lebih banyak dibandingkan bersama mereka ?

Jawaban klisenya adalah tentu saja bukan lamanya tetapi intensitas waktu yang diberikan kepada mereka saat saya berada di rumah.

Mantap bukan ? Kualitas memang rumus ampuh dalam menjawab permasalahan apa pun, tidak ada satu kepala pun di dunia yang tidak menganggukkan kepalanya jika mendapat jawaban yang mengandung unsur Kualitas.

Jika saya harus melihat ke belakang, harus saya akui waktu yang tersedia bagi kedua putri saya merupakan sisa-sisa waktu yang saya miliki dalam hitungan 24 jam. Waktu yang terbuang untuk menempuh jarak pulang-pergi kantor dan rumah minimal 3 jam, bekerja 9 jam, tidur malam 7 jam, praktis sisa waktu yang tersedia hanya 5 jam, itu pun sudah terbuang pagi harinya ketika kami semua sibuk dengan urusan persiapan berangkat sekolah dan kantor.

Lalu pertanyaan berikutnya, kualitas seperti apa yang memampukan saya mendidik anak-anak saya ? Jawabannya sekali lagi tetap saja kualitas yang benar-benar total, kualitas yang dilandasi kasih sayang.

Dulu sekali, ketika mereka masih bayi, saya selalu membiasakan memandikan dan menyusui kedua putri saya sebelum saya berangkat kantor. Konsekuensinya tentu saja saya harus bangun lebih pagi dan mereka harus mandi di luar jam normal bayi-bayi lainnya. Jam mandi pagi mereka selalu pukul 05.30 pagi. Di saat-saat seperti itulah, saya berbicara dan menerangkan kepada mereka kenapa saya harus bekerja sambil meminta maaf tentu saja.

Begitu juga saat saya kembali ke rumah, “baby sitter” tidak pernah saya perkenankan untuk memegang mereka dan entah kenapa kedua putri tercinta saya pun tampaknya memang menanti kepulangan saya.

Hari Sabtu dan Minggu adalah hari mereka. Sehingga ketika kami berjalan-jalan kemana saja, ‘baby sitter’ tidak saya perkenankan untuk ikut serta. Bagaimana mau mengajak si ’baby sitter’, mengurus anak saja sudah sulit apalagi harus mengurus ’baby sitter’. Seperti biasa, di saat-saat seperti itulah nilai-nilai kehidupan saya ajarkan kepada mereka.

Saat mereka beranjak sekolah dan hingga kini, tentu saja ada perubahan tetapi selebihnya sama. Jika saya harus bepergian ke luar kota, saya selalu mengatur jadwal kepulangan saya di hari Jumat. Selama bepergian saya selalu menghubungi mereka melalui telepon. Hari Sabtu dan Minggu tetap hari mereka, karena di saat-saat seperti itulah kami selalu menikmati acara kegemaran kami, entah itu menonton bersama, berbelanja, memilih buku atau sekedar menikmati makan bubur Cikini. Atau jika harus tinggal di rumah, kami akan memilih film-film yang bisa dinikmati bergantian, entah dengan si sulung atau si bungsu.

Bahkan hingga kini, kebiasaan mereka untuk menunggui saya pulang dari kantor tetap tidak berubah. Setidaknya si sulung selalu menunggui saya pulang, jam berapa pun saya tiba, dia lah yang selalu menyapa saya.

Sempurnakah ? Tidak. Saya harus mengakui tidak semuanya apa yang dilakukan oleh mereka saya ketahui, bahkan tidak jarang apa yang dilakukan oleh mereka baru saya ketahui beberapa bulan kemudian atau mungkin baru 1 tahun kemudian.

Tetapi yang saya ketahui pasti dan membuat saya menarik nafas lega adalah prinsip-prinsip kehidupan yang saya tiupkan sejak mereka kecil melekat dalam kehidupan mereka.

Bagaimana saya tahu ? Tentu saja dari pembicaraan sehari-hari, saat kami bertukar-cerita tentang pengalaman kami hari itu, secara tidak sengaja prinsip-prinsip kehidupan tertuang dan tergambarkan dalam cerita mereka. Prinsip-prinsip kehidupan yang saya berikan di sela-sela waktu yang tersisa.

Saat itulah saya menyadari bahwa biar bagaimana pun orang tualah yang paling bertanggungjawab terhadap pendidikan mereka, pendidikan tentang bagaimana menjalani hidup, tentang bagaimana bersikap kepada sesama, tentang bagaimana menghargai kehidupan itu sendiri.

4 komentar:

Silly mengatakan...

Setuju banget mbak. Pendidikan itu seharusnya menjadi tanggungjawab orangtua. Secara akademis, pendidikan memang diberikan di bangku sekolah, namun untuk bisa survive dan menjalani hidup ini dengan sejahtra, tidak hanya butuh pengetahuan akademis, tetapi juga pembentukan akhlak, the way they think, talk and behave... the way they solve their problem, and the way they appreciate their life.

Jadi pendidikan yang paling utama berasal dari dalam keluarga. Menjadi role model yang baik adalah cara yang paling mudah untuk mendidik anak, because they're mirroring us... :D

Apa khabar mbak? :)

Frans. Nadeak mengatakan...

Oh... sangat menarik dan memperdalam pemahaman dan pengertian.
Semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dan kehidupan sehari-hari itulah sebenarnya kehidupan yang sejati.

therry mengatakan...

I think you are a superwoman - you raise two beautiful daughters who are as brilliant, smart and vibrant as you.

The fact that you are more than just their mother - you're also their friends, a person they want to hang out with, learn to use SLR with, makes me respect you as a friend and as a person.

Not many mothers can raise children and have a full-time job, but you do both. Respect, Juin!

t.w. mengatakan...

setuju mbak !!