Tidak lama setelah Mulharnetti Syas mempertahankan disertasinya yang berjudul Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi Indonesia (Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment) dengan hasil sangat memuaskan, berlomba-lombalah para pemilik gawang undang-undang menyuarakan pandangan mereka.
Semuanya senada, tinggal dipilih saja bahasanya dari yang memfatwanya sebagai barang haram, mengkategorikannya menjadi faktual dan non faktual, hingga membahasnya dari sisi etika jurnalistik.
Jangan salah, saya sedang tidak mengkritik Netti, saya justru sedang menikmati kesibukan para pemilik gawang undang-undang yang mendadak sibuk tadi, apalagi penjaga gawang Undang-Undang Pers yang mendadak kehilangan kemampuannya untuk berdiri tegak hingga harus meminjam fatwa MUI.
Sebenarnya, sebelum disertasi Mulharnetti Syas, diskusi mengenai ketidakpatutan infotainment sudah bergulir di media massa, di blog maupun di diskusi-diskusi terbatas. Dari soal pemberitaan yang melanggar ranah pribadi orang hingga membicarakan para pekerja jurnalistik dan pemilik medianya. Tetapi tidak pernah ada yang membahasnya dari sisi relasi kekuasaan, hanya segelintir orang saja dan itu pun masuk kategori diskusi warung kopi - karena dilakukan pada waktu senggang ketika rasa kantuk belum menyerang.
Seperti yang disampaikan oleh Prof.Dr. Sasa Djuarsa Sedjaya Phd dan juga Putu Laxman Pendit, infotainment itu sendiri sudah ada sejak jaman kuda gigit besi dengan adanya Yellow Journalism (jadi ingat jaman kuliah dulu, kategori koran kuning).
Bahkan sejak dulu pula berita yang mengandung kandungan gosip selalu mempunyai daya jual yang cukup tinggi serta mampu menghasilkan uang lebih cepat dibandingkan berita-berita lainnya.
Bedanya sekarang ini dimana kemajuan teknologi sudah semakin hebat, terasa sekali betapa berita gosip tersebut semakin merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, dengan adanya stasiun televisi yang bukan hanya satu, yang siarannya sudah dimulai dari pagi-pagi sekali, hingga internet yang proses memberitakannya hanya dalam hitungan detik (bukan proses menulisnya), maka gosip adalah komoditi berita yang paling mudah didapat dan dijual. Dan karena namanya gosip tentu saja tidak perlu berlama-lama mencari faktanya, yang penting adalah nama yang dijadikan gosip.
Jadi ketika para penjaga gawang undang-undang berteriak Haram tapi mensahkan berita Ariel – Luna karena berita itu adalah berita positif infotainment, karena berita itu untuk kepentingan umum, saya pun jadi bertanya-tanya.
Sejak kapan ada berita infotainment yang berguna untuk kepentingan umum ? Sejak kapan pula berita yang memasuki ranah pribadi termasuk berita positif.
Setahu saya ketika masih kuliah dulu – entah sekarang ini – Kode Etik Jurnalistik menyatakan secara tegas bahwa berita pers harus berimbang, bersifat netral, obyektif, akurat, faktual, tidak mencampuradukkan fakta dan opini, tidak memasuki hal-hal bersifat pribadi (privacy), menghormati asas praduga tak bersalah, tidak bersifat fitnah, dusta dan cabul.
Jadi ketika sekretaris PWI tiba-tiba mengecualikan berita Ariel – Luna, sebagai berita positif infotainment karena berguna untuk kepentingan umum, dan juga menyatakan hal-hal yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik sudah tepat karena karena adanya fatwa MUI yang mendukung Kode Etik Jurnalistik, saya jadi bertanya-tanya, lebih dulu mana Kode Etik Jurnalistik atau fatwa MUI. Sebegitu lemahkan Kode Etik Jurnalistik yang keberadaanya sudah ada jauh sebelum MUI itu berdiri di tanah air kita ?
Lalu kemana saja PWI selama ini ketika infotainment semakin marak dan jauh dari Kode Etik Jurnalistik ? Kenapa PWI mendadak bisu ketika anggotanya dengan semena-mena merasuki ranah pribadi orang, ketika anggotanya dengan semena-semena tidak lagi menghormati asas praduga tak bersalah, ketika anggotanya dengan bergembira ria menayangkan gambar-gambar cabul ?
Pertanyaan saya hanya satu, jika kategori memberitakan perceraian artis adalah fakta dan diperbolehkan karena berkaitan dengan hukum, maka pertanyaan berikutnya jika ternyata ditambahi dengan pertengkaran antara pasangan itu yang notabene adalah fakta – karena diikuti dengan pernyataan kedua belah pihak yang bertengkar - haramkah itu ? menyimpangkah itu dari Kode Etik Jurnalistik ? Bukankah fakta lanjutannya sudah masuk dalam ranah pribadi orang ?
Atau, jika kategori memberitakan nasib orang yang merekam dirinya sendiri untuk kepentingan dirinya sendiri (walaupun ini belum dibuktikan kebenarannya oleh pengadilan) tetapi kemudian karena satu dan lain hal tiba-tiba beredar di masyarakat (ini pun penyebabnya belum dibuktikan oleh pengadilan), adalah fakta dan diperbolehkan karena apa yang dilakukannya patut dijadikan contoh dosa moral - dan kemudian ditambah dengan menayangkan kutipan video tersebut - sejalankah itu dengan Kode Etik Jurnalistik ? Bukankah petikan gambar termasuk gambar cabul dan bukankah pengadilan belum memutuskan bersalahnya si pelaku ?
Berbicara mengenai moral memang mudah, lebih mudah menuding orang lain salah dibandingkan melakukan introspeksi terhadap diri sendiri. Dan bicara introspeksi terhadap diri sendiri, saya jadi merenung, jika saya menjadi pekerja jurnalistik dan harus mencari berita sensasional dimana berita tersebut harus menghasilkan keuntungan bagi perusahaan saya bekerja, salahkah saya memberitakan berita gosip itu ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar