Kamis, 21 Januari 2010

Belajar dari Ipin dan Upin


Tadi malam, sepulang dari kantor, putri bungsu saya tseperti biasa dengan bersemangat bercerita tentang peristiwa penting yang terjadi di sekolahnya.

“Bunda, tahu tidak caranya Ipin dan Upin kalau bilang Selamat Pagi buat gurunya ? Mereka bilangnya begini, “Selamat Pagi Cap Go” , sambil menyanyikan lagu selamat pagi ala Ipin dan Upin.

Kening saya langsung berkerut, Cap Go ? Wah, pasti pendengaran si putri bungsu salah. Saya pun mengoreksinya. “Bukan Cap Go, tetapi Cik Gu, singkatan dari Encik Guru.”

“Kenapa encik ? tanya si bungsu

Waduh, ini perdebatan yang tiada akhir, batin saya. “Ya karena di bahasa Melayu, Bapak itu sama dengan Encik”, sahut saya

“Oh begitu. Tadi dong kita sekelas bilang Selamat Pagi sama Bapak dan Ibu Guru seperti Ipin dan Upin. Habis bosan sih, masa bilang Selamat Pagi begitu-begitu terus. Bapak dan Ibu Guru tadi senang sekali lho kita bilang Selamat Pagi seperti Ipin dan Upin.”lanjutnya

Saya pun tertawa membayangkan mereka menyapa para Guru dengan Selamat Pagi ala Ipin dan Upin yang dilagukan seperti lagu si Unyil dulu. Cis kacang buncis eclek ..….

Ingatan saya pun melayang ke masa-masa kecil dulu, jaman ketika sinetron buat anak-anak tidak seperti sekarang ini, sinetron yang membuat saya terpaksa melarang si kecil menonton acara TV negeri sendiri.

Bagi saya, lebih baik mereka menonton Disney World daripada menonton cerita-cerita yang lebih banyak tidak masuk akalnya.

Saya ingat ketika si putri bungsu mengajak saya menonton Ipin dan Upin – kami memiliki kebiasaan nonton bersama – dia berkomentar, ”Orang Malaysia itu lucu deh bahasa Inggrisnya, suka ngawur dan tidak tepat. Tapi cerita Ipin dan Upin ini seru, Bunda. Teman-teman si Ipin dan Upin, lalu cara mereka bermain, menarik lho.”

”Sayang ya, kita tidak bisa buat cerita seperti ini. Padahal ceritanya sederhana sekali. Itu kan cerita tentang kita-kita waktu kecil.”timpal si sulung

Mendengar komentar kedua putri tercinta, saya pun bercerita, bahwa di jaman saya kecil dulu ada film seperti ini, judulnya Si Unyil. Ceritanya juga lucu-lucu dan menarik, apalagi tokoh Pak Raden.

Dan saya pun membatin, kita seringkali terhenyak ketika negara tetangga kita, Malaysia, mengklaim khazanah budaya kita sebagai milik mereka. Tetapi kita tidak pernah sadar diri, bahwa sebenarnya kitalah penyebab itu semua.

Ipin dan Upin versi Malaysia yang diputar di TPI ternyata mampu menembus Disney world – untuk yang ini saya diberitahu si bungsu soal versi asli dan versi Inggris.

Bayangkan saja, Disney World – kemungkinan besar Disney World Asia – ditonton di negeri Asia yang notabene bukan hanya Indonesia, tetapi juga Hongkong, Singapura dan negara lainnya. Secara tidak langsung, para penduduk negara-negara tersebut, belajar sesuatu dari kebudayaan bangsa Malaysia.

Bagaimana dengan kita ?

Seperti biasa, kita selalu lupa bahwa kita pernah menciptakan sesuatu yang berharga buat anak-anak. Lagu anak-anak ciptaan Bu Sud atau A.T. Mahmud, rasanya hanya berlaku di sekolah selebihnya tidak. Pencipta lagu sekarang ini tetap saja mencipta lagu cinta yang mendayu-dayu.

Film anak-anak ? Lebih baik menonton di layar lebar daripada dijadikan cerita bersambung di televisi. Si Unyil ? kalau yang itu, miliknya angkatan saya yang sudah menjadi orang tua. Selebihnya himbauan yang ada tetap saja tidak mampu mengalahkan sinetron Raam Punjabi.

Kita itu ternyata memang hanya jago berdemonstrasi tetapi tidak mampu melawannya dalam bentuk aksi nyata.

Akibatnya “Selamat Pagi Cik Gu” ala Cis Kacang Buncis enclek lebih mendunia dan menjadi favorit anak-anak bahkan juga saya.

Ironis bukan, Ipin dan Upin mampu memberi ilham bagi anak-anak SD untuk menyapa guru mereka dengan cara yang berbeda namun tetap menjunjung nilai-nilai kesantunan ?

Rabu, 20 Januari 2010

Perempuan .. oh .. Perempuan


Di sebuah catatan facebook, seorang senior saya saat kuliah dulu, Putu Laxman Pendit, menulis sebagai berikut :

Saya nggak paham soal pengharaman, tapi ingin mengerti aspirasi kaum perempuan yang menolak industrialisasi atawa bisnis tubuh mereka – walaupun tubuh itu ‘cuma’ diwakili oleh rambut.

Dan ditambahi dengan ‘catatan awal’ : notes ini terutama untuk kaum pria, tapi yang perempuan juga boleh.

Membaca berita tentang saran pengharaman rebonding bagi wanita lajang oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se Jawa Timur dan alasan yang melatarbelakangi pengharaman tersebut, membuat saya terhenyak.

Menurut perumus komisi Ustadz Darul Azka seperti di kutip Detik di bawah ini, dikatakan bahwa :

"Pada masyarakat kita saat ini, berpenampilan menarik dengan tujuan menjalankan syariat agama sepertinya sangat kecil kemungkinan dapat dilakukan. Terutama pada wanita single yang justru nantinya cenderung untuk gaya-gayaan saja," jelas Perumus Komisi B FMP3 ustadz Darul Azka (30), dalam jumpa pers di Gedung TPA dan TPQ Lirboyo, Kamis (14/1/2010).

Darul menambahkan, pengambilan keputusan haram pada rebonding khusus untuk wanita single juga didasarkan pada nalar atau pemikiran ulama, yang menganggap keberadaan wanita single seharusnya terlindung dari segala hal yang sifatnya mengundang terjadinya maksiat. "Bukan tidak mungkin dari sekedar gaya bisa mendatangkan maksiat dan sebelum itu terjadi, akan lebih baik diantisipasi," imbuhnya.

Sungguh alasan yang sebenarnya bagi saya merendahkan kaum perempuan, karena melihat perempuan sebagai obyek maksiat.

Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan mungkin harus diharamkan bagi kaum perempuan dibandingkan urusan “rebonding” itu tadi.

Seperti Kekerasan dalam rumah tangga, atau Ibu membunuh anaknya sendiri atau Keluarga yang lebih mementingkan pendidikan bagi anak laki-lakinya dibandingkan dengan anak perempuannya karena anak laki-laki lah yang akan mencari nafkah bukan anak perempuan.

Jika ingin berpihak kepada perempuan, berpihaklah dari sisi dimana perempuan terpinggirkan bukan dari sisi kemaksiatan yang mempunyai 1001 penyebab.

Selama ini tidak pernah terbukti bahwa “Rebonding” menimbulkan gairah bagi pria. Berapa persen perkosaan yang terjadi karena faktor “rebonding” ? Sepanjang umur saya, belum pernah saya membaca berita perkosaan terjadi karena faktor “rebonding”. Bahkan perkosaan yang terjadi di sebuah pesantren di Tangerang pun bukan karena unsur ”rebonding”, melainkan karena jin nya marah belum makan, kata si Ustadz yang menjadi tersangka.

Melihat dari saran fatwa pengharaman itu, saya pun mengambil suatu kesimpulan, nyata sekali bahwa dalam contoh soal saran fatwa pengharaman, perempuan sama sekali tidak diperkenankan membela dirinya sendiri, perempuan menjadi komoditas kaum lelaki, perempuan adalah obyek bukan subyek.

Bagaimana tidak menjadi subyek, bagaimana tidak diperkenankan membela dirinya sendiri, bagaimana tidak menjadi komoditas kaum lelaki, wong saran fatwa pelarangan itu datangnya justru dari Pondok Pesantren Kaum Puteri dan yang berbicara adalah sang Ustadz – notabene seorang lelaki.

Rekan saya, Putu Laxman Pendit, memang tidak membahas soal fatwa pengharaman, beliau membahas kaum perempuan sebagai obyek bisnis komodifikasi tubuh perempuan.

Bagi saya, perempuan pada dasarnya senang mempercantik diri. Saya pun senang mempercantik diri, bukan semata untuk dilirik kaum pria, tetapi terutama untuk kepuasan diri saya sendiri. Bagi saya, merasa cantik itu penting karena secara tidak langsung membuat diri saya bersemangat menjalani kehidupan.

Tetapi jika akhirnya terlena oleh rayuan kaum lelaki – akibat kesenangannya mempercantik diri – rayuan disini tidak semata unsur maksiat melainkan unsur komodifikasi bisnis juga, bagi saya kembali lagi, salah si perempuan itu sendiri.

Salah karena kenapa mau dirayu dengan berbagai kebohongan, salah kenapa mau tertipu, salah kenapa enggan mengatakan tidak, salah kenapa selalu mau dijadikan obyek.

Maka dari itu, bagi saya, daripada sibuk mengurusi urusan tubuh perempuan, lebih baik bekalilah kaum perempuan dengan cara berpikir, cara bertindak, melihat diri bukan sebagai kaum terpinggirkan ataupun obyek, tetapi sebagai manusia utuh yang mempunyai hak sama seperti layaknya seorang individu.


PS.
Terima kasih Mas Putu atas inspirasinya

Jumat, 01 Januari 2010

Lembaran Baru ?


Saya teringat pertanyaan salah seorang teman saya yang ditanyakan kepada saya beberapa hari menjelang datangnya tahun 2010.

"Lima tahun dari hari ini, bagaimana kamu melihat hidupmu ?’’ tanyanya

Saya tergelak, ”Lima tahun dari sekarang ? Dari hari ini ? Wah itu panjang sekali ceritanya, karena hingga hari ini, detik ini, saya masih menyimpan keinginan saya yang saya tulis dengan tinta darah sejak tahun 2006 bahkan ada yang saya tulis sejak saya masih mahasiswa.”

“Wah … akan panjang sekali ceritanya. Tapi saya senang bertemu dengan orang yang tahu apa yang akan dicapainya 5 tahun ke depan. Saya malas kalau bertemu teman dan saya bertanya hal yang sama, kemudian bingung karena belum sempat berpikir.”katanya kemudian

Perbincangan kecil kami kemudian beralih ke hal lain, karena saat itu kami sepakat untuk melanjutkan diskusi di lain kesempatan, karena perbincangan kecil tentang topik cita-cita hidup bukanlah perbincangan di tengah-tengah kemacetan lalu lintas.

Dan ketika kami memutuskan untuk menutup telepon masing-masing, saya pun teringat kalimat guru fotografi saya, “Apa yang kamu lihat dengan mata telanjang belum tentu sama dengan hasil foto yang kamu ambil. Ada bagian-bagian lain yang tersembunyi yang tanpa kamu sadari mempengaruhi hasil foto kamu. Untuk mendapatkan momen yang tepat, kamu harus sabar menunggu.”

Melihat perjalanan hidup saya sepanjang tahun 2009, rasanya hidup saya kali ini sangat berwarna.

Beberapa resolusi saya yang saya tuliskan dengan semangat 45 di
www.43things.com, agar website tersebut selalu mengingatkan saya untuk menghidupkan cita-cita tersebut, tiba-tiba bisa terwujud dengan caranya yang ajaib.

Cita-cita yang sangat sederhana, cita-cita yang ternyata memampukan diri saya menghadapi semua kepahitan yang terjadi selama 1 tahun terakhir ini. Cita-cita yang jauh dari sisi finansial, tetapi cita-cita yang mampu mengembalikan diri saya yang dulu atau lebih tepatnya ”Past Me” menurut website 43things.

Hidup ini jika dilihat dengan mata telanjang, apalagi dengan kepahitan didalamnya, terlihat akan sangat pahit. Tetapi tanpa kita sadari ada banyak warna yang ternyata membuat penggalan kehidupan yang pahit itu menjadi indah. Warna-warna yang mungkin selama ini tersembunyi ketika kita melihatnya dengan mata telanjang.

Pagi ini di tengah semilirnya angin pagi yang membebaskan helaian anak rambut saya, saat saya berlutut bertemu dengan Sang Pencipta, saya hanya mampu berkata, ”Terima kasih Tuhan, karena memberikan saya 1 tahun hidup yang penuh warna dan kesempatan untuk menapaki lembaran baru.”

Saya tidak mampu meminta, entah kenapa ada sesuatu yang menahan saya.