Ketika saya sedang mengunduh hasil jepretan saya beberapa waktu lalu, mata saya tiba-tiba terpaku pada wajah polos anak-anak yang terekam oleh sang kamera.
Entah kenapa saya selalu jatuh cinta melihat anak-anak. Rasanya kepahitan hidup tidak pernah menghampiri mereka. Dunia bagi mereka selalu penuh warna, tidak semata hitam-putih atau abu-abu. Alam khayal mereka mampu menembus dunia tanpa batas, yang entah kenapa tidak pernah bisa dimasuki orang dewasa. Alam khayal mereka tidak pernah bisa dibeli dengan uang, tidak ada perbedaan antara si kaya dan miskin di alam kehidupan anak-anak. Di dunia tanpa batas anak-anak, semua sederajat.
Satu-satunya pembeda hanyalah perbedaan yang dibuat manusia dewasa, pengkotak-kotakkan berdasarkan faktor ekonomi, faktor kasih sayang, faktor budaya dan masih banyak lagi, tergantung siapa yang membuat batasan dan kotak tersebut.Wajah anak-anak yang terekam oleh kamera saya bukanlah anak-anak yang kehidupannya berlimpah-ruah dengan makanan enak, mainan mutakhir, ataupun baju yang bagus, licin dan berbau harum. Wajah anak-anak yang terekam kamera saya, adalah anak-anak yang terpinggirkan, anak-anak yang akrab dengan tanah becek dan comberan, anak-anak yang berumah di atas kuburan, anak-anak yang akrab dengan kehidupan manusia dewasa.
Melihat wajah-wajah polos itu membuat saya tertawa dan juga miris ketika teringat komentar-komentar mereka yang polos.
Betapa tidak, ketika saya bertanya siapa yang sudah bisa membaca, tiba-tiba salah satu dari keempat anak itu nyeletuk, “Tante, dari dulu saya sudah tidak bisa baca, sudah tidak bisa nulis, sudah tidak bisa ngaji, hahahahaha.”
Saya yang biasanya memiliki segudang kalimat ampuh, hanya bisa tersenyum miris dan mengalihkan pembicaraan.
“Siapa yang bisa nyanyi ? Ayo lagu apa yang kalian ingat ?”Tanya saya sambil berharap mereka akan berlomba-lomba mengangkat tangan dan bernyanyi lagu anak-anak
Tapi harapan saya punah, ketika dengan lantangnya mereka menjawab, “Saya bisa Tante, lagu tentang BH.”jawab mereka
Kali ini saya berjuang dengan diri saya sendiri untuk tetap tersenyum, untuk tidak menggurui, untuk tidak merasa putus asa. Hingga ketika akhirnya saya memutuskan untuk mengajak mereka bernyanyi Lagu Potong Bebek Angsa, entah kenapa tiba-tiba saya menangkap sinar kerinduan mereka untuk berada di tempat dimana mereka dapat menyanyikan lagu tentang dunia mereka, yang sudah tergantikan dengan kegetiran hidup mereka.
Kegetirah hidup yang tergambar lewat sumpah-serapah ; sumpah-serapah yang maknanya pun entah mereka sadari atau tidak.
“Siapa yang bisa mengaji ?” tanya saya lagi
“Saya bisa mengaji Tante.”kata anak-anak itu lagi
“Sudah khatam belum ?”lanjut saya
“Khatam ? Apaan tuh artinya ? “kata salah seorang anak
“Ah bego, kalau saya sih memang sudah tidak pernah bisa ngaji,”kata si kecil penggemar kata sudah pernah – entah mengerti atau tidak makna dari kata ‘sudah’ .
Bagi mereka, anak-anak yang terpinggirkan itu, kata takut sudah kehilangan maknanya. Apa yang harus mereka takuti ? Setan ? Mereka tinggal di kuburan, berumah dan bertempat-tinggal bersama makam. Orang ? Apa yang harus ditakuti, jika sumpah serapah yang menjadi bagian dari kehidupan mereka justru mereka dapati dari interaksi mereka dengan orang tua mereka ataupun lingkup kehidupan mereka.
Saya jadi ingat ketika imlek lalu, saat para kaum papa berkumpul di halaman klenteng untuk menantikan sedekah, ada seorang anak yang dengan kepolosannya mengganggu sang Ibu. Namanya juga anak-anak, saat mereka bermain, kemampuan mereka untuk menaksir apakah yang mereka lakukan sudah melewati ambang batas amatlah tipis bahkan nyaris tidak ada. Saat itu, rupanya sang Ibu merasa terganggu dengan ulah sang anak, alih-alih menegur atau memberikan pengertian, si Ibu dengan tenangnya meludahi sang anak. Si anak ? dengan tenangnya membersihkan mukanya dari ludah si Ibu dan kembali tertawa-tawa menggoda sang Ibu.
Mungkin karena itulah Tuhan memberikan dunia tanpa batas kepada makhluk-makhluk polos yang kecil mungil itu, dunia yang sanggup menghilangkan kegetiran hidup walaupun hanya sesaat.
Gantilah baju lusuh mereka dan saat itulah kita akan menyadari bahwa sesunguhnya wajah polos mereka, tidak mengenal kasta dan perbedaan sosial.
4 komentar:
Suatu ketika, saat saya mengajar di Sekolah Terbuka Terminal Depok, seorang anak kecil berbaju lusuh meminta-minta uang kepada siswa yang ada di sekolah termasuk meminta uang kepada saya. Dengan santainya, saya menjawab tidak dan mencoba mengajaknya untuk mengobrol tapi reaksi yang didapatkan sungguh berbeda karena si anak malah mengelak untuk mengobrol dan berkata "Pelit banget. Gue perkosa juga kalo ga mau bagi duit" sambil tertawa kecil.
Saat itu saya cuma bisa melihat kaget. Betapa anak kecil yang polos berubah menjadi mengerikan hanya karena lingkungannya. Sedih melihat mereka seperti itu :(
Halo, salam kenal!
Sialakan kunjungi blog baru kami di jurnalsegiempat.blogspot.com
:)
manis banget ya tulisannya. mengharukan. memang benar kita ngga boleh meninggalkan kepolosan sifat kekanakan kita. kadang itu memberii kekuatan menjalani hidup.
jadi inget dulu waktu saya masih sering nongkrong diblok m, setengah anak jalanan setengah mahasiswa, :)setiap pagi pasti sarapan, ngerokok, bercanda bareng anak2 kecil pengamen yg baru bangun tidur....semuanya "kucel" tapi sudah lincah lari larian mengejar metromini, ngamen....saya ingat mereka bilang " om, kalo udah jadi orang pinter, jangan lupain kita yaa" ....saya cuma senyum, dalam hati bilang "amin"....
sang legenda
Posting Komentar