Siang ini tiba-tiba ingatan saya melayang ke masa kuliah
dulu, ketika seorang teman membagikan tautan berita CNN tentang khobath Paus Fransiskus saat misa hari Kamis lalu, “Lebih baik seorang Atheis daripada seorang Kristen yang mengambil hak orang lain atau lebih tepatnya “It’s better to be an Atheist than a bad Christian” begitu inti khotbahnya.
Pernyataan yang tidak jauh berbeda, pernah dilontarkan oleh
Alm. Pater Drost SJ, kepala sekolah SMA Kanisius, pemerhati pendidikan dan
kebetulan dosen agama katolik saya.
Saat itu, saat masa kuliah, seperti biasa, ketika istirahat tiba, saya kerap bertemu Alm. Pater Drost SJ untuk sekedar mengobrol
ngalor-ngidul atau pun berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama. Entah
mengapa hari itu saya memberanikan diri bertanya kepada beliau tentang
persyaratan masuk Surga.
Saya masih ingat dengan jelas pertanyaan saya saat itu, “Pater, siapakah yang akan masuk surga,
mereka yang tidak beragama tetapi menjalankan hukum utama Kristiani yaitu Cinta
Kasih, dibandingkan mereka yang beragama Kristen/Katolik, rajin ke gereja,
mengikuti semua peraturan gereja, tapi tidak mengamalkan Cinta Kasih.”
Jawaban beliau membuat saya tercengang, “Mereka yang tidak
beragama akan masuk surga lebih dulu daripada mereka yang beragama Katolik tapi
tidak mengamalkan Cinta Kasih.”
Lanjutnya lagi, “Untuk apa kamu beragama, tapi kamu tidak
memperlakukan sesamamu seperti halnya kamu ingin diperlakukan mereka? Untuk apa
kamu beragama, ke gereja setiap kali, tapi kamu mengambil hak mereka? Untuk apa
kamu beragama, ke gereja setiap kali, mengaku dosa, tetapi dalam kehidupan
sehari-hari kamu korupsi, membeda-bedakan orang berdasarkan tingkat kekayaan
mereka, menista kaum yang termarjinalkan?”
Saya mencoba mendebat dengan janji-janji yang diberikan
agama Katolik yang saya pelajari sejak kecil, bahwa apa pun yang terjadi di
hari Kebangkitan, kita semua akan masuk surga.
Tetapi beliau tetap berpegang teguh dengan apa yang
disampaikannya, ujarnya, “Ke gereja penting, mengikuti peraturan-peraturan
gereja juga penting, tetapi di atas semuanya itu menjalankan hukum Cinta Kasih
adalah yang terpenting. Agama adalah cara kamu untuk mengenal Tuhan dan sarana
untuk berbincang dengan-Nya. Gereja adalah tempat dimana kamu dapat bersekutu
dan menyatu dengan Tuhan. Tetapi persekutuan itu hanya dapat terjadi jika kamu ‘jujur’
dihadapan-Nya.”
Bagi anak kuliahan yang baru lulus SMA, diskusi kami sore
itu melampaui batas pemahaman saya tentang ‘AGAMA’.
Bagaimana tidak sejak kecil, saya diajar bahwa pada saat
meninggal nanti, saya pasti masuk Surga, karena itulah yang dijanjikan Tuhan
untuk umatnya. Dan tiba-tiba saja, ulama Katolik yang saya hormati dan kagumi,
Pater Drost SJ, meruntuhkan semua ajaran itu, menggantinya dengan sebuah
cakrawala baru, bahwa bukan AGAMA yang menjadi tiket masuk ke surga, tetapi pengejewantahan
CINTA KASIH lah sesungguhnya tiket utama surga itu.
Saya seperti tersadarkan bahwa menepati aturan beribadah
setiap hari Minggu, berpuasa dan berpantang selama 40 hari, berdoa setiap
pagi-siang-sore, berdoa sebelum makan, bersedekah bukanlah tiket utama untuk
masuk surga. Namun mengejewantahkan
Cinta Kasih lewat perbuatan dan tindak-tanduk kita terhadap sesamalah porsi
terbesar jalan ke surga.
Bagaimana bersikap Adil diterjemahkan lewat cara kita menghormati
sesama kita tanpa mempedulikan keyakinan, ras, pangkat dan harta orang
tersebut. Bagaimana kita harus merangkul
mereka yang terpinggirkan, bukan membuang mereka yang terpinggirkan. Bahwa
kedudukan kita sama di mata Tuhan.
Dan apakah kemudian saya menganggap agama saya yang paling
benar? Kali ini saya harus mendengar nasihat Ibu saya yang saya amini hingga
kini, “Kamu harus fanatik terhadap agamamu tetapi bukan berarti agama lain
salah, karena setiap orang memiliki caranya sendiri untuk bertemu dengan
Tuhannya.”
Nasihat yang membuat saya hingga kini menghormati agama dan
kepercayaan apa pun yang ada di muka bumi ini. Nasihat yang membuka mata hati
saya ketika menemukan ajaran dari agama lain yang tidak berbeda dengan apa yang
diajarkan oleh agama saya sendiri.
Sejak sore itu, akhirnya saya menyadari bahwa AGAMA adalah
sarana untuk berhubungan dengan Tuhan – hubungan vertikal. Sedangkan
pengejewantahan AGAMA bersifat horizontal – yaitu bagaimana kita sebagai
manusia memperlakukan sesama kita.
Dan hingga kini, bukan hubungan vertikal yang sulit saya
terapkan, melainkan hubungan horisontal. Mengejewantahkan AGAMA melalui
hubungan saya dengan sesamalah yang membuat saya jatuh bangun setiap kali.
Dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar