Senin, 23 Januari 2017

Indonesia Kini dari Kacamata si Minoritas


Mendengarkan pidato perpisahan mantan Presiden Obama di pangkalan militer Joint Base Andrews sesaat sebelum beliau menaiki helikopter untuk berlibur, membuat saya merenungkan negara yang saya cintai ini, Indonesia.

‘I said before and I will say again that when we started on this journey, we did so with an abiding faith in the American people and their ability, our ability, to join together and change the country in ways that would make life better for our kids and grandkids. Change didn’t happen from the top down, but it happened from the bottom up.’

Jika kita melihat kembali, jauh ke belakang, ke masa-masa dimana kakek dan nenek kita masih belia, apa yang diucapkan oleh mantan Presiden Obama sama persis dengan cita-cita yang mereka perjuangkan dengan darah dan keringat mereka.

Mereka memiliki kepercayaan dan keyakinan yang kuat bahwa bersama-sama, terlepas dari apa pun agamanya, terlepas dari apapun sukunya, mereka mampu mengubah daerah jajahan Belanda dan Jepang ini menjadi negara yang merdeka, negara yang mampu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak – cucu – cicit mereka dibandingkan kehidupan mereka sendiri.

Dan sejarah pun membuktikan bahwa perubahan itu hanya dapat terwujud bukan dari pucuknya saja tetapi dari bawah hingga ke atas.

Tentu saja, ketika mereka bersama-sama memperjuangkan hal ini, mereka tahu bahwa komposisi perbedaan agama, bisa menghambat cita-cita mereka. Namun mereka pun sadar bahwa satu-satunya cara untuk terlepas dari belenggu penjajahan adalah dengan bersatu, melepas keegoisan demi kesejahteraan hidup anak, cucu bahkan cicit mereka.

Dan demi  kesetiaan mereka terhadap cita-cita mereka mewujudkan negara zamrud katulistiwa ini, mereka pun sepakat untuk tidak menjadikan negara ini milik segolongan agama. Mereka sadar, agama – jika dipergunakan sebagai alat kekuasaan – akan beralih menjadi senjata makan tuan bagi cita-cita mulia mereka.

Mulia bukan cita-cita mereka?

Besar dengan cerita-cerita heroik kakek dan paman saya dalam memperjuangkan negara ini yang sama sekali jauh dari keegoisan agama, membuat saya melihat perbedaan agama adalah hal biasa. Bahkan menjadi cerita kebanggaan saya setiap kali saya bertemu dengan rekan dari belahan lain bumi Indonesia; kebanggaan yang akhir-akhir ini menguap, berganti dengan kekecewaan.

Kecewa? Ya, saya kecewa, karena Indonesia dulu yang saya kenal dan saya alami ketika kecil dan remaja, berbeda 180 derajat dengan wajah Indonesia saat ini.

Saya masih ingat dengan jelas, tetangga saya, orang Indonesia keturunan Arab, saya memanggilnya Abah dan Umi, mengikuti anak-anak mereka memanggil orangtuanya. Saat Ramadhan tiba, saya dengan leluasa bermain di rumah mereka, menunggu si Umi memasak penganan dan hidangan untuk berbuka. Bahkan jika penganan mereka sudah matang, dengan senang hati si Umi memberikan penganan itu untuk saya nikmati. Jika lebaran tiba, rasanya seperti di langit ketujuh, makanan kiriman dari Abah dan Umi berlimpah-ruah.

Saya masih ingat, ketika nampan berisi piring-piring kiriman si Abah dan Umi yang ditutup serbet bermotif tiba di rumah, maka nenek saya akan sibuk mencuci piring-piring tersebut, mengisinya dengan masakan untuk dikirim kembali.

Sebaliknya ketika natal tiba, kami pun mengirimkan kue natal kami kepada Abah dan Umi, dan ritual yang sama pun berulang, nampan kami kembali dengan masakan balasan.

Bukan hanya bertukar makanan, kami pun bertukar selamat, saling bertemu di pintu rumah masing-masing.

Beranjak remaja, kali ini tetangga saya sudah berganti, bukan lagi Abah dan Umi, tetapi orang Betawi dan orang Jawa, dengan ritual yang sama berulang kembali. Bedanya kali ini masakannya tentu saja sesuai dengan daerah asal tetangga kami, semur ala betawi, ketan tape uli, opor dan ketupat.

Bertukar selamat? Tentu saja, ritual ini masih sama. Bukankah ini ciri khas orang Indonesia, bertukar-makanan, bertukar selamat. Indah bukan?

Ketika saya beranjak dewasa dan berkeluarga, tetangga saya pun berganti, dan saya pun menjadi satu-satunya orang yang beragama Katolik di antara mereka yang beragama Islam.

Ritual masa kecil yang terpatri dalam ingatan saya, pelan-pelan punah. Dari semula setiap hari natal saya mendapat ucapan selamat natal, pelan-pelan mereka menghilang. Hanya tersisa satu keluarga saja yang masih setia menyampaikan ucapan selamat natal. Perubahan yang semula terheran-heran mendadak menjadi maklum dan masa bodoh.

Bagaimana dengan Ramadhan? Sama saja. Dari bulan yang sangat indah di ingatan masa kecil saya, menjadi bulan yang ditingkahi dengan permintaan penutupan warung makan, pemakaian tirai, bahkan diwarnai dengan tindakan kekerasan aparat dan segolongan ormas. Hal yang tidak pernah saya temui di masa kecil dulu.

Kebaya mendadak menjadi pakaian yang ‘kurang’ sopan, bahkan tidak sesuai dengan kaidah agama. Kesenian tradisional, warisan turun-temurun nenek moyang kita, mendadak tidak sesuai dengan syariat agama.  Bahkan di satu daerah, kesenian tradisioanal mendadak punah. Kerudung khas wanita Indonesia mendadak berganti menjadi Hijab. Ucapan selamat ulang tahun, atau ucapan simpati jika seseorang sakit dalam Bahasa Indonesia, mendadak berganti dengan Bahasa Arab.

Pendirian rumah ibadah? Ah, inilah awal mula perbedaan ini dimulai, ketika SKB 3 menteri dikeluarkan demi langgengnya kekuasaan.

Hari Natal? Sejak kejadian pengeboman terhadap gereja, untung ada pemuda Banser NU yang dengan setia menjaga ketenangan kami beribadah, pemandangan yang sudah tidak asing lagi dan bahkan sangat dinanti.

Perbedaan agama semakin lama semakin meruncing, justru ketika Indonesia sudah melesat jauh dibandingkan ketika kakek dan paman saya berjuang untuk mendirikan negara ini. 
Generasi yang lahir kemudian, yang mengenyam pendidikan tinggi, mendadak lupa tentang asal-usul dan budaya mereka. Bagi mereka Indonesia hanyalah sekedar nama, bukan negara yang harus dijaga warisan dan budayanya. Mereka bahkan menafikan budaya Indonesia yang dijadikan alat siar agama yang mereka anut.

Dan yang lebih menyedihkan, melihat kenyataan bahwa generasi saya pun, yang seharusnya menjadi pengayom mereka yang lahir kemudian, mendadak terserang amnesia. Bahkan mereka tidak mampu memilah siapa yang harus didengar dan dipercayai. Atau benarkah pernyataan yang disampaikan.

Berdiri di sisi minoritas – dari sisi agama – mendadak saya rindu Indonesia yang saya kenal ketika kecil dulu. Indonesia dengan pakaian tradisionalnya yang mampu mengeluarkan keelokan dan keanggunan perempuan Indonesia. Indonesia dengan budayanya yang dikagumi seantero dunia. Indonesia yang mengedepankan rasa hormat dan menghargai terhadap mereka yang berbeda keyakinan.

Melihat Indonesia dari kacamata minoritas, saya jadi teringat pembicaraan tadi siang, ketika kami yang saling berbeda keyakinan berdiskusi tentang negara tercinta ini.

‘Kebayang gak, bagaimana Indonesia lima tahun dari sekarang,’ujar salah seorang teman.

‘Lihat saja bagaimana mereka yang berpendidikan tinggi mendadak kehilangan akal sehatnya, mengidolakan budaya Arab, tanpa sadar bahwa yang diidolakan itu bahkan sekarang berganti kalender, dari Hijriah menjadi Gregorian.’ujar yang satunya lagi

Saya pun hanya sanggup memandang keluar sambil memandang jalan Sudirman yang lengang, sementara pikiran saya melayang jauh, ke negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Negeri yang entah kapan pernah sangat menghargai dan bangga akan budayanya sendiri.


Entah kenapa, mendadak saya jadi teringat pidato perpisahan mantan Presiden Obama sesaat sebelum lepas landas dan wajah mendiang kakek dan paman saya. Pasti di atas sana bersama para pejuang lainnya, mereka menangisi cucu mereka yang lupa akan pengorbanan dan perjuangan mereka mendirikan negara ini, cucu mereka yang amnesia bahwa agama bukanlah alat untuk melanggengkan kekuasaan, bahwa mayoritas itu bukan berarti meniadakan hak minoritas, cucu mereka yang lupa bahwa INDONESIA ITU TIDAK SERAGAM MELAINKAN BERAGAM BUDAYA, BERAGAM SUKU DAN BERAGAM AGAMA.

Tidak ada komentar: