Mendengarkan pidato perpisahan mantan Presiden Obama di pangkalan
militer Joint Base Andrews sesaat sebelum beliau menaiki helikopter untuk
berlibur, membuat saya merenungkan negara yang saya cintai ini, Indonesia.
‘I said before and I will say again that when we started on
this journey, we did so with an abiding faith in the American people and their
ability, our ability, to join together and change the country in ways that
would make life better for our kids and grandkids. Change didn’t happen from
the top down, but it happened from the bottom up.’ …
Jika kita melihat kembali, jauh ke belakang, ke masa-masa
dimana kakek dan nenek kita masih belia, apa yang diucapkan oleh mantan Presiden
Obama sama persis dengan cita-cita yang mereka perjuangkan dengan darah dan
keringat mereka.
Mereka memiliki kepercayaan dan keyakinan yang kuat bahwa
bersama-sama, terlepas dari apa pun agamanya, terlepas dari apapun sukunya, mereka
mampu mengubah daerah jajahan Belanda dan Jepang ini menjadi negara yang
merdeka, negara yang mampu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak –
cucu – cicit mereka dibandingkan kehidupan mereka sendiri.
Dan sejarah pun membuktikan bahwa perubahan itu hanya dapat
terwujud bukan dari pucuknya saja tetapi dari bawah hingga ke atas.
Tentu saja, ketika mereka bersama-sama memperjuangkan hal ini,
mereka tahu bahwa komposisi perbedaan agama, bisa menghambat cita-cita mereka.
Namun mereka pun sadar bahwa satu-satunya cara untuk terlepas dari belenggu
penjajahan adalah dengan bersatu, melepas keegoisan demi kesejahteraan hidup
anak, cucu bahkan cicit mereka.
Dan demi kesetiaan
mereka terhadap cita-cita mereka mewujudkan negara zamrud katulistiwa ini,
mereka pun sepakat untuk tidak menjadikan negara ini milik segolongan agama.
Mereka sadar, agama – jika dipergunakan sebagai alat kekuasaan – akan beralih
menjadi senjata makan tuan bagi cita-cita mulia mereka.
Mulia bukan cita-cita mereka?
Besar dengan cerita-cerita heroik kakek dan paman saya dalam
memperjuangkan negara ini yang sama sekali jauh dari keegoisan agama, membuat
saya melihat perbedaan agama adalah hal biasa. Bahkan menjadi cerita kebanggaan
saya setiap kali saya bertemu dengan rekan dari belahan lain bumi Indonesia;
kebanggaan yang akhir-akhir ini menguap, berganti dengan kekecewaan.
Saya masih ingat dengan jelas, tetangga saya, orang
Indonesia keturunan Arab, saya memanggilnya Abah dan Umi, mengikuti anak-anak
mereka memanggil orangtuanya. Saat Ramadhan tiba, saya dengan leluasa bermain
di rumah mereka, menunggu si Umi memasak penganan dan hidangan untuk berbuka.
Bahkan jika penganan mereka sudah matang, dengan senang hati si Umi memberikan
penganan itu untuk saya nikmati. Jika lebaran tiba, rasanya seperti di langit
ketujuh, makanan kiriman dari Abah dan Umi berlimpah-ruah.
Saya masih ingat, ketika nampan berisi piring-piring kiriman
si Abah dan Umi yang ditutup serbet bermotif tiba di rumah, maka nenek saya
akan sibuk mencuci piring-piring tersebut, mengisinya dengan masakan untuk
dikirim kembali.
Sebaliknya ketika natal tiba, kami pun mengirimkan kue natal
kami kepada Abah dan Umi, dan ritual yang sama pun berulang, nampan kami
kembali dengan masakan balasan.
Bukan hanya bertukar makanan, kami pun bertukar selamat,
saling bertemu di pintu rumah masing-masing.
Beranjak remaja, kali ini tetangga saya sudah berganti, bukan
lagi Abah dan Umi, tetapi orang Betawi dan orang Jawa, dengan ritual yang sama
berulang kembali. Bedanya kali ini masakannya tentu saja sesuai dengan daerah
asal tetangga kami, semur ala betawi, ketan tape uli, opor dan ketupat.
Ketika saya beranjak dewasa dan berkeluarga, tetangga saya
pun berganti, dan saya pun menjadi satu-satunya orang yang beragama Katolik di
antara mereka yang beragama Islam.
Ritual masa kecil yang terpatri dalam ingatan saya,
pelan-pelan punah. Dari semula setiap hari natal saya mendapat ucapan selamat
natal, pelan-pelan mereka menghilang. Hanya tersisa satu keluarga saja yang
masih setia menyampaikan ucapan selamat natal. Perubahan yang semula
terheran-heran mendadak menjadi maklum dan masa bodoh.
Kebaya mendadak menjadi pakaian yang ‘kurang’ sopan, bahkan
tidak sesuai dengan kaidah agama. Kesenian tradisional, warisan turun-temurun
nenek moyang kita, mendadak tidak sesuai dengan syariat agama. Bahkan di satu daerah, kesenian tradisioanal mendadak
punah. Kerudung khas wanita Indonesia mendadak berganti menjadi Hijab. Ucapan
selamat ulang tahun, atau ucapan simpati jika seseorang sakit dalam Bahasa Indonesia,
mendadak berganti dengan Bahasa Arab.
Perbedaan agama semakin lama semakin meruncing, justru
ketika Indonesia sudah melesat jauh dibandingkan ketika kakek dan paman saya
berjuang untuk mendirikan negara ini.
Generasi yang lahir kemudian, yang mengenyam pendidikan
tinggi, mendadak lupa tentang asal-usul dan budaya mereka. Bagi mereka
Indonesia hanyalah sekedar nama, bukan negara yang harus dijaga warisan dan budayanya.
Mereka bahkan menafikan budaya Indonesia yang dijadikan alat siar agama yang
mereka anut.
Dan yang lebih menyedihkan, melihat kenyataan bahwa generasi
saya pun, yang seharusnya menjadi pengayom mereka yang lahir kemudian, mendadak
terserang amnesia. Bahkan mereka tidak mampu memilah siapa yang harus didengar
dan dipercayai. Atau benarkah pernyataan yang disampaikan.
Berdiri di sisi minoritas – dari sisi agama – mendadak saya
rindu Indonesia yang saya kenal ketika kecil dulu. Indonesia dengan pakaian
tradisionalnya yang mampu mengeluarkan keelokan dan keanggunan perempuan
Indonesia. Indonesia dengan budayanya yang dikagumi seantero dunia. Indonesia
yang mengedepankan rasa hormat dan menghargai terhadap mereka yang berbeda
keyakinan.
Melihat Indonesia dari kacamata minoritas, saya jadi teringat
pembicaraan tadi siang, ketika kami yang saling berbeda keyakinan berdiskusi
tentang negara tercinta ini.
‘Kebayang gak, bagaimana Indonesia lima tahun dari sekarang,’ujar
salah seorang teman.
‘Lihat saja bagaimana mereka yang berpendidikan tinggi
mendadak kehilangan akal sehatnya, mengidolakan budaya Arab, tanpa sadar bahwa
yang diidolakan itu bahkan sekarang berganti kalender, dari Hijriah menjadi
Gregorian.’ujar yang satunya lagi
Saya pun hanya sanggup memandang keluar sambil memandang
jalan Sudirman yang lengang, sementara pikiran saya melayang jauh, ke negeri
yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Negeri yang entah kapan
pernah sangat menghargai dan bangga akan budayanya sendiri.
Entah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar