Minggu, 28 September 2008

Harga Sebuah Dunia Tanpa Batas


Tadi ketika saya sedang menunggu kasir toko buku Gramedia mencatatkan buku-buku yang dibeli oleh saya dan kedua putri saya, tiba-tiba mata saya terpaku melihat harga buku komik yang tertera di mesin kasir, Rp 13.800,-. Entah kenapa baru kali ini saya tersadar untuk memperhatikan harga sebuah buku komik jepang, hitam-putih, dicetak di atas kertas koran.

Pikiran saya kemudian melayang ke beberapa tahun yang silam, tepatnya puluhan tahun yang silam, ketika harga sebuah komik Nina terbitan Gramedia hanya sebesar Rp 3.000,-, berwarna dan kertasnya pun bukan kertas koran – serupa dengan kertas komik Conan yang berwarna.

Dibandingkan dengan komik Nina, komik jaman sekarang dengan ukuran yang jauh lebih kecil, tentunya terasa sangat mahal, apalagi dengan kondisi perekonomian dunia akhir-akhir ini.

Saya jadi teringat slogan bangsa ini, entah dimana, saya lupa kapan, tapi kurang lebih adalah ajakan untuk membaca, karena dengan membaca bangsa ini akan menjadi cerdas.

Slogan yang malam ini membuat hati saya jadi miris, karena tiba-tiba di Toko Buku Gramedia yang megah ini, sekelompok anak melintas di depan saya, bersandal jepit, pulang dengan tangan kosong.

Ketika saya membaca slogan tersebut beberapa waktu lalu, saya berpikir bahwa akhirnya para pemimpin sadar, membaca adalah kebiasaan yang harus ditularkan. Tetapi kini, saya berpikir lagi, jangan-jangan slogan tersebut hanyalah sekedar slogan, indah untuk dipublikasikan tetapi rentan untuk dilaksanakan.

Dulu, ketika saya masih berstatus mahasiswa dan menjadi karyawan magang, saya mendapat tugas untuk meliput anak-anak yang sering membaca di toko buku Gn. Agung ataupun toko buku Gramedia.

Masih jelas dalam ingatan saya, ketika saya berbincang dengan mereka, ketika saya memperhatikan mereka dari kejauhan, alasan klasik yang tak lekang oleh jaman yang diutarakan oleh mereka, “uang kami tidak cukup, ada tugas dari sekolah, jadi kami mampir ke toko buku untuk membaca”, “kadang-kadang kami diusir sama penjaga toko buku”, “saya kepingin baca buku komik tapi uangnya nggak ada”.

Versus si penjaga toko buku, “kadang-kadang saya biarkan saja, habis kasihan mereka tidak punya uang.” Atau “kami memang membicarkan mereka membaca di tempat, asalkan mereka tidak merusak buku”.

Ironis bukan ? Puluhan tahun sesudahnya, ketika saya sudah bukan lagi jadi pekerja magang, ketika saya sekarang sudah menjadi Ibu dari kedua putri saya, pemandangan yang sama pun terulang kembali.

Bagaimana bangsa ini mau maju jika perpustakaan saja nyaris tidak ada, jika harga buku lebih mahal dari harga makan siang di warung tegal. Bagaimana bangsa ini mau maju, jika mereka yang menduduki singgasana kekuasaan menutup pintu dan jendela imajinasi tanpa batas yang dimiliki oleh anak-anak, si penerus generasi bangsa ini.

Saya tidak ingin membandingkan, tetapi saya kerap bertanya, kenapa harga buku di Philipina dan India lebih murah dari harga buku di negara tercinta ini. Harga kertas ? Besarnya pajak ? bukankah kedua komponen ini ada dalam genggaman kita sendiri ?

Pertanyaan yang mempunyai seribu satu alasan untuk membenarkan kenyataan pahit ini.

Dan saya pun hanya bisa berkata kepada kedua putri tercinta saya, “kalian beruntung, Bunda masih bisa membelikan kalian buku-buku ini.”

9 komentar:

wongacid mengatakan...

perasaan komik2x jaman sekarang emang ga ketulungan harganya, padahal ga jauh beda sama komik jepang 10 tahun yang lalu, yang harganya 3000an. dragon ball, kung fu boy, even marvel comics versinya penerbit misurind...

*hanya bisa mengelus dada prihatin*

Anonim mengatakan...

Makanya, hidup bajakan! Selama harga buku masih belum disubsidi, aku setuju atas pembajakan, coba kalo gak dibajak buku2 buat kuliah itu brapa mehilnya, disini harus beli buku2 aseli aja langsung sakit perut ngebayangin harganya

tere616.blogspot.com mengatakan...

@wongacid : Iya baru sadar juga, koq setiap kali mau bayar, tambah lama tambah banyak, sementara bukunya nggak nambah. 10 tahun lalu bukannya masih sekitar 6 rb ?

@thewriter : Tadi habis berkunjung ke Oom Google, semua juga menanyakan hal yang sama. Kalau DVD bajakan sih ok, tapi kalo buku bajakan, nggak deh. Tapi apa boleh buat ya, daripada nggak kebeli ?

Anonim mengatakan...

mbak,

Aku juga suka miris kalo liat pemandangan begini. Tapi ya gimana lagi coba.

Padahal penulis/ilustrator dari buku itu juga dapetnya hanya 10% yah...

kreatifitas mereka hanya dihargai 10%, kasihan, padahal, harga buku mahal, trus dikemanain duitnya yang 90% itu...

Mesti di restrukturisasi itu peraturannya, hehehhehe

Anonim mengatakan...

Hmm justru aku sebaliknya. Musik / Film itu kan kebutuhan samping, bukan kebutuhan dasar, alias kalo punya duit lebih bisa beli, gak punya ya gak usah, sedangkan buku itu harus, apalagi buku pelajaran, jadi ya harus dibajak kalo harganya gak terjangkau emang. Mau gimana lagi? Pemerintah mau memberantas pembajakan? Ya subsidilah harga buku itu

@silly: Yang aku maksud tuh lebih kearah buku2 impor untuk kuliah misalnya, kalo buku Indonesia masih relatif terjangkau lah. Jaman dulu gw kuliah S1 di Indo, buku2 itu kalo beli aseli harganya 500 rebuan keatas, mana sanggup? Jadi ya mesti cari bajakan 30 rebuan, sekarang disini ya mau gak mau cari buku aseli, gak ada bajakan, rada bete kalo buka dompet.

Buku yang kaya gitu kan gak bisa dihindari, harus dibaca, biar makin pinter orang Indonesia :)

Anonim mengatakan...

Hmmm. membaca tulisan ini jadi membawa saya kilas-balik ke masa kecil puluhan tahun silam. Saya pernah menjadi salah satu anak2x dalam cerita di atas.

Dulu sejak SD, salah satu kegiatan favorit di akhir pekan adalah mengunjungi toko buku Gramedia Matraman, meski harus berganti naik angkot 3 kali dari rumah kami yang ada di pinggiran Jakarta. Bersama kawan atau kakak, saya mengabiskan waktu berjam2x, bisa sampai 5 jam di Gramedia hanya untuk membaca2x buku2x bagus yang sulit terjangkau itu.

Ruangan ber-AC, buku beraneka ragam dan harum makanan dari counter KFC (atau Mac Donald? saya lupa) adalah sebuah kemewahan yang menemani kami di masa2x itu.

Kini, setiap pulang ke Indonesia, kunjungan ke Gramedia dengan dua keponakan kecil saya adalah hal rutin. Mereka bebas memilih buku yang disukai (setelah saya cek isinya, tentu saja). Mungkin ini sebagai pelampiasan keinginan masa kecil yang tak tercapai yah. Saya tak ingin mereka merasakan penderitaan yang sama.

Entah kapan pihak penerbit dan pemerintah mau betul2x berpihak pada kelompok kurang mampu untuk membeli buku. Kenyang rasanya dengan janji2x, slogan dan jargon yang hanya sekedar pemanis saja. Cabeeee dehhhh....

Eh, komentarnya kepanjangan yah... Maaf mbak, hanya sekedar sharing. Salam kenal :D

tere616.blogspot.com mengatakan...

@silly : aku baca lagi, ternyata ya itu tadi, buat bayar pajak, dan beli kertas, plus pendistribusian bukunya.

Yang lebih miris ternyata di Indonesia bagian timur lebih mahal lagi, karena pendistribusian buku yang tidak merata

@felicity : dulu ketika belum dapat tugas untuk nulis soal mereka yang baca di toko buku, aku suka heran, koq anak-anak ini nggak beli aja sih, tapi setelah tahu, aku jadi miris, apalagi kalau mereka pas diusir sama penjaga toko buku.

Dulu ibu saya untuk urusan buku lebih royal dibandingkan kalau saya minta dibelikan baju. Sekarang hal ini pun menurun ke kedua anak saya.

Mengenai masalah klasik harga buku, sayangnya masalah ini dari dulu sampai sekarang tidak terpecahkan juga.

BTW, salam kenal juga ya, terima kasih mampir ke tempatku.

Anonim mengatakan...

kapan ya di indo harga buku jadi murah?

tere616.blogspot.com mengatakan...

@Caroline : Jaman dulu sih Gramedia suka obral buku, tempatnya di Bentara Budaya, nah pada saat itulah harga buku jadi murah.

Tapi kalau ditanya kapan ? Mungkin nanti 10 tahun lagi. Atau ketika anak-anak sudah dewasa :-(