Kira-kira 3-4 minggu yang lalu, saya bersama kedua anak saya dan suami tercinta nonton film Wall-e di Blitz. Berhubung datangnya kepagian, jadi kami duduk.
Tiba-tiba ada sepasang kekasih, sesama jenis, duduk di belakang saya atau tepat di depan mereka. Namanya juga sejoli, jadi wajarlah jika tindak-tanduk mereka menunjukkan betapa dunia milik mereka berdua, walaupun agak terganggu juga dengan suara dan ketawa mereka yang cekikan, tapi berhubung tempat ini milik umum, ya .. sudahlah
Sampailah saat ketika waktu untuk menonton tiba, ternyata sepasang kekasih itu duduk di deretan yang sama dengan saya dan keluarga, hanya terpaut 2 atau 3 kursi dari suami saya. Berhubung saya termasuk "fanatik" dalam menonton, jadi saya pun tidak menoleh ke kanan-kiri, konsentrasi penuh ke layar tancap yang di depan mata.
Semua berlangsung aman tentram hingga minggu lalu, ketika anak tertua saya berkata, "Bunda, 'Gay' yang disebelah ayah ciuman lho pas mereka lagi nonton. Mana berisik lagi. Kan film anak-anak ya, kenapa sih mereka ciuman segala." Saya waktu itu hanya berkomentar, "ya nggak apa-apa, kan cuma ciuman." Tapi kemudian dia protes, "kalau ciuman itu artinya ciuman di bibir., Bunda" dan saya pun saat itu hanya berkomentar ,"Oh, ya sudah."
Hehehe, saya termasuk ibu yang konservatif, bagi saya jika belum waktunya mereka menonton adegan ciuman yang "hot", maka adegan itu terlarang bagi mereka. Kedua anak saya pun sudah paham, jadi ketika adegan ciuman yang "hot" itu terjadi, mereka langsung menoleh ataupun menutup mata dengan bantal, dan bertanya "sudah belum ?". Jadi sungguh wajar bagi saya, ketika si putri tertua melihat adegan terlarang itu, tentu saja dia jadi bertanya-tanya, apalagi hal tersebut terjadi ditengah-tengah suasana yang jumlah anak kecilnya lebih banyak dari orang dewasanya.
Sebenarnya saya pun sudah mulai lupa dengan topik itu, hingga minggu lalu ketika saya sedang ngobrol hal-hal yang ringan dengan rekan saya dan bercerita tentang peristiwa Wall-e a.k.a peristiwa komentar putri tercinta, saya saat itu mengakhiri cerita dengan berkata, "Aduuh, untung dia nggak nanya, kenapa sesama jenis bisa berciuman, kalau ya bagaimana menerangkannya ya ?"
Rekan saya kemudian membalas dengan menanyakan pertanyaan yang cukup mengusik pikiran saya, "menurut kamu, sesama jenis itu salah nggak ? kalau menurut kamu tidak salah, ya tentunya akan dengan mudah kamu menjelaskan itu ke anak kamu."
Saat itu saya hanya terdiam, kaget dengan pertanyaan teman saya.
Setelah merenung selama beberapa hari, akhirnya saya memutuskan untuk membawa topik itu dalam perbincangan makan malam di akhir pekan bersama keluarga, maklum makan malam di akhir pekan merupakan satu-satunya saat kita semua berkumpul.
Saya melontarkan pertanyaan yang cukup mengganjal hati saya selama beberapa hari, dengan harapan bahwa anak-anak akan bertanya atau setidak-tidaknya meresapi dalam hati mereka, sehingga jawaban kami bisa menjadi dasar cara berpikir mereka dalam menilai "dunia" yang akan mereka temui nanti.
Mengingat ayah mereka adalah penentu kata akhir, maka bertanyalah saya kepada dia sambil harap-harap cemat, takut pernyataannya tidak sesuai dengan kata hati saya, "menurut ayah hubungan sesama jenis itu bagaimana ?".
Saat itu, saya melihat bola mata kedua anak saya membesar, rupanya mereka pun menunggu saat-saat terjadinya diskusi yang cukup seru (maklum kalau diskusi sedang seru, mereka bisa mencari alasan untuk tidak menghabiskan makanan).
Tetapi ternyata jawaban ayah mereka di luar harapan mereka berdua, karena sejalan dengan kata hati saya. Jawabannya ,"Salah yang tidak salah. Salah karena melanggar norma-norma agama. Tidak salah, karena pada dasarnya mereka juga tidak menginginkan hal itu terjadi pada mereka."
Bagi saya sendiri, hubungan sesama jenis menjadi salah jika mereka yang "Bi" (aduuh, istilah bahasa Indonesianya apa ya), tiba-tiba memilih menjadi "gay" hanya karena ikut-ikutan. Atau karena hanya sekedar mengikuti zaman (nah untuk yang ini saya agak susah mengerti). Siapa sih yang tidak ingin menjadi "straight" dalam kehidupan mereka.
Sebagai orang tua, sudah sepatutnya kami memberikan jawaban berdasarkan norma agama, tetapi kami pun tidak bisa meniadakan fakta bahwa ada hal-hal yang terjadi di luar sana. Pada saat itulah, mungkin mata hati lebih tepat untuk memberikan penilaian dan bukan penghakiman.
2 komentar:
haduhhh... semoga klo besok anak2ku nanya yang begituan aku ud siap... huhuhu...
@caroline sutrisno : hehehe, tenang, pada saatnya nanti, ada koq malaikat pembisiknya. Judulnya "kata hati" :-)
Posting Komentar