Rabu, 11 Februari 2009

Kacamata Duniawi dan Pertemanan


Beberapa waktu lalu saya mendengar percakapan seorang rekan saya tentang bagaimana dia menilai layak-tidaknya seseorang itu menjadi temannya hanya karena mobilnya yang keluaran mutakhir dan luasnya tempat tinggalnya.

Di kesempatan lain, seorang rekan saya bahkan menceritakan kepada saya betapa hebatnya si A, hanya karena dia mengenal para petinggi dan orang-orang di posisi puncak di industri X.

Di kesempatan yang lainnya lagi, seorang rekan saya bahkan mencemooh teman saya hanya karena ketidakmampuan teman saya untuk berperilaku sesuai standar kemapanan mereka yang berada di area kemapanan.

Tanpa kita sadari, sering kali kita menilai seseorang dari kebendaannya, dari materi yang dimilikinya, dari caranya bertutur-kata, dari caranya berperilaku, tanpa berusaha melihat dari kaca mata yang berbeda.

Bagi saya, layak-tidaknya orang tersebut masuk dalam kategori “pertemanan” tidaklah dilihat dari mobil yang keluaran mutakhir atau luas tempat tinggalnya atau dari pengetahuannya tentang para petinggi di suatu industri atau tingkah lakunya yang agak eksentrik. Pertemanan terlalu rigid jika berangkat dari hal-hal seperti itu.

Bagi saya, layak-tidaknya seseorang menjadi teman dalam arti sebenarnya berangkat dari kesamaan pandangan, kesamaan visi, kemampuan bertukar-pandangan, luas-tidaknya pengetahuan seseorang bukan dari letak dan luas rumahnya atau pertemanannya dengan para petinggi atau dari mobil yang keluaran terakhir.

Teman dalam arti sebenarnya terlalu berharga jika dinilai dari jabatan, harta benda yang dimilikinya atau kedekatannya dengan para petinggi.

Saya tidak ingin munafik, saya pun kerap salah menilai seseorang dari atribut duniawi yang dimilikinya, kesalahan yang akhirnya disadari ketika pembicaraan semakin intens, ketika visi berada di jalur yang sama.

Betapa penyesalan yang berangkat dari kesalahan seperti itu, membuat diri ini mengutuki diri sendiri, karena terlalu dangkal dalam menilai seseorang.

Saya jadi teringat pertemanan saya dengan seseorang yang mendapat julukan “bad attitude”, betapa rekan-rekan saya yang lain sering menertawakan teman saya itu, hanya karena cara berpakaiannya, karena caranya melontarkan sesuatu, karena penampilannya yang jauh dari kesan “berada”, padahal semua yang dikenakannya masuk dalam kategori “branded”.

Saya pun pada mulanya memandang dengan kaca mata yang sama seperti rekan-rekan saya lainnya, hingga saya menemukan bahwa dibalik ketidak-sempurnaannya itu, tersimpan hati yang penuh empati kepada penderitaan seseorang, tersimpan kearifan dalam melihat suatu permasalahan, tersimpan pengetahuan yang sangat luas dan kejujurannya dalam berpendapat.

Pertemanan yang hingga kini selalu saya kenang. Pertemanan yang sarat dengan pembicaraan dan diskusi-diskusi yang tidak mungkin saya temukan di tempat lain. Pertemanan yang tidak selamanya berjalan mulus karena ketidaksamaan pendapat. Pertemanan yang akhirnya teruji oleh waktu.

Jadi, ketika rekan saya berkomentar betapa hebatnya si A, karena dia mengenal para orang-orang hebat dan para petinggi, saya hanya mengangguk dan diam.

13 komentar:

Devi Girsang, MD mengatakan...

Yah namanya juga manusia, Ther. Ga ada yg sempurna. Kadang annoying sih, gw juga pernah tuh dipandang rendah sama anaknya temen nyokap gw yg kebetulan lumayan tajir dan sukanya pake barang branded.

Gimana taunya dia mandang rendah ke gw? Mukanya beda dan ngeliat gw dari kepala sampai ujung kaki! Hah! Gw cuek aja sih, anggep aja dia ngiri ama gw hahahaha.. "You can have those bloody expensive wardrobes, but you cannot have my style!" bwahahaha!!!!

tere616.blogspot.com mengatakan...

Devi : Iya sih, namanya juga manusia. Gara-garanya gw terinspirasi hasil meeting gw urusan kerjaan kemarin siang. Ternyata orangnya tidak seperti yang dipikirkan oleh temen gw.

Well.. everybody have their own opinion and judgement, can't say much :-D

LOL, love your expression, no one can steal our style. You got it girl :-D

Anonim mengatakan...

Wah males banget kalo ada yang cari temen berdasarkan jenis mobil dsb. Itu juga yang gw alami waktu kumpul2 di KBRi sini. Begitu datang ditanya naik mobil apa nggak, mobilnya merek apa, ngeliat gw pake tas merek apa enggak. Males kan?

Kalo mau jahat, padahal mereka dulu di Indonesia juga bukan apa-apa, cuman gara-gara menikah sama yang kebetulan mampu membelikan barang merek jadi kaya begitu sekarang tingkahnya.

Aku sendiri milih-milih untuk berteman dalam artian ya harus cocok. Kalo ndak cocok buat apa. Kalo ngobrol nyambung, ndak lemot (haha!) ndak ngeselin dsb. Ndak pake tanya2 agama, ras, kaya ato enggak dsb.

Anonim mengatakan...

Berteman itu emang harus milih2 sih, bisa jadi mereka memberi pengaruh yang nggak baik buat kita, termasuk salah satunya membawa-bawa kita menjudge orang atau mempengaruhi kita untuk ikut2an pamer merk.

Kalo gue sih selalu menghindari orang-orang seperti itu. Hidup ini terlalu berharga hanya untuk dihabiskan dengan orang-orang yang nggak mau menerima kita apa adanya. Masih banyak orang-orang lain di dunia ini yang melihat lebih dari atribut-atribut kita dan menghargai kepribadian dan karakter kita, seperti Juin, misalnya :)

themahdavinovel mengatakan...

*Wah inspiratif bgt tulisannya...,

*Salam kenal ya...,

*Oh iya sy mengundang anda tuk membaca Novel sy yg berjudul HEXVERSTOONE di blog saya, kl gak keberatan sekalian di follow, mohon dukungannya

*Salam hormat

Kimi mengatakan...

Yang penting dalam hubungan pertemanan itu komunikasi lancar, adanya self-disclosure dan trust, bagaimana menyelesaikan konflik, menghargai diversity.

Cie,,,cie,,, yang abis belajar interpersonal skills... *dikemplang*

Praz mengatakan...

Setujuh re..temen tu tak diliat dari materi..mm..milih temen kalo aku sih nggak milih2, tp kalo sobat itu bru selektip,he5, yg penting dia enak aja, dan enak diajak ngobrol, bener jg sih, sama visi, kalo nkgak sama visi kita ama dia, ntar jadi runyam, salah paham terus de..hmm..menurutku sih, he5,maap kalo slh..^^v

tere616.blogspot.com mengatakan...

@thewriter : Hahaha, padahal orang-orang di KBRI itu akhirnya juga harus balik ke Indonesia kan ? Mungkin karena mereka lupa pengalaman pahitnya dulu Va :-)

@therry - @thewriter : memang kalo berteman harus pilih-pilih jangan sampai mereka membawa pengaruh yang tidak baik buat kita, tetapi kalau judgementnya untuk dijadikan "teman" adalah semua yang bersifat ketampakan luar, tentunya "judgement" itu jadi salah kan ?

@therry, gw ini judeeesss dan galak banget lho :-D

@themahdinovel : salam kenal juga, wah..asyik juga tuh novel di blog. Ok .. nanti aku main ke sana ya :-)

@bloggerbercerita : yup, setuju. Tapi ketika kita memutuskan bahwa dia cocok jadi teman kita bukan hal yang duniawi kan ? *coba, tolong dikuliahi lagi interpersonal skill*

@praz : Nah, itu yang tepat, berteman tidak pilih-pilih, tetapi ketika saatnya kita memutuskan seseorang itu jadi sobat kita, tentu saja harus sama dengan visi, misi, menghargai perbedaan pendapat, tanpa melihat ras, dsb-dsb :-)

Anonim mengatakan...

setujuu banget..

Anonim mengatakan...

@tere: orang2 yang di KBRI yang aku maksud itu yang bersuami orang disini, bukan pekerja KBRI nya tapi kebetulan waktu itu ada acara kmpul2 di KBRI.

Anonim mengatakan...

Judes dan galak? Masa sih... ga kebayang :D Kalo di kantor kali yahhh hi3x..

tere616.blogspot.com mengatakan...

@the writer : oh untuk mereka yang mendadak merasa menjadi kaya memang itu adalah hal yang paling menyebalkan di dunia.

@therry : Hehehe, kata anak-anak gw di kantor, kalau gw lagi marah, mendingan pergi aja deh. Nanti kalau sudah 15 menit baru balik lagi :-D Tapi gw memang judes koq say :-)

Anonim mengatakan...

Wah iya setuju setuju dan setuju. Ini sehubungan dgn entry elo mgn apa yg dibilang pak Gede (yg juga gw setuju) ... perjalanan hidup orang yg berbeda, membuat masing2 orang berpikiran berbeda. Dalam nyari temen, gw juga nyari yg berfilosofi mirip2 .. ngga usah tumplek bleg mirip, tapi ada mainstream yg mirip gitu juga udah menyenangkan.

Mgn materi, gw dulu belong ke grup orang2 yg melihat harta, and I thought I was one of them. Tapi pengalaman hidup menyadarkan, bahwa gw lebih belong ke orang2 yg bekerja untuk kepuasan batin (bukan untuk mengejar materi semata). Since then, dalam mencari temen baru, gw selalu menghindari mereka2 yg terlalu melihat harta. Tapi dgn teman2 lama, walaupun mereka tetep melihat harta banget, kita tetep bersahabat erat krn kita udah sama2 ngerti masing2.

Doh maap kok gw komentarnya jadi cerita. Dua postingan elo ini (mgn Gede Pratama dan yg ini) menyejukkan hati. TFS.