Minggu, 15 Maret 2009
Golput vs Menghitung Kancing vs Pemilu
Di Kompas hari ini ada berita mengenai sosialisasi pemilu kepada para pelajar SMA di Jogja. Para pelajar mengeluhkan kebingungan mereka untuk memilih karena begitu banyaknya kontestan yang tidak mereka kenal
Saya jadi teringat pembicaraan mengenai cara memilih ketika saya menghadiri acara makan siang sesudah peresmian kerjasama antar perusahaan saya dengan satu perusahaan yang cukup terkenal di dunia media dan perbankan.
Ketika itu saya dengan lugunya menyatakan ketidaktahuan saya mengenai proses melakukan pilihan saat pemilu nanti, hingga membuat atasan saya menaikkan alisnya dan berkomentar, “Tuh, lihat saja, dia yang tinggal di Jakarta saja tidak tahu bagaimana cara memilih. Bagaimana dengan mereka yang tidak tinggal di Jakarta.”
Rasanya waktu itu saya malu sekali dan merasa tidak enak hati. Bukan karena saya malas membaca koran tetapi karena saya selalu mengabaikan berita mengenai Pemilu. Padahal selaku warga negara yang baik, seharusnya saya tidak mengabaikan berita-berita seputar pesta besar demokrasi negara tercinta saya.
Bagaimana tidak malas, selain karena berita-beritanya yang tidak pernah berubah dari jaman Soeharto, mata saya pun sudah lelah melihat poster-poster para kontestan di sepanjang perjalanan saya berangkat kantor.
Dari sekian ratus wajah yang saya lihat, rasanya tidak sampai sepuluh yang saya ketahui sepak-terjangnya. Lainnya, jangankan tahu, pernah membaca namanya saja baru kali itu. Parahnya lagi, dari yang tidak sampai sepuluh itu, hanya 1 atau 2 yang bagi saya patut untuk dipilih. Sisanya ? Jauh panggang dari api, kata pepatah yang saya pelajari semasa SD dulu.
Tetapi, jika saya harus memilih 1 atau 2 orang tersebut, hati saya pun tidak rela. Bukan apa-apa, partai tempat mereka bernaung bukanlah partai yang mampu membuat hidup saya tentram. Bagaimana mau tenteram jika nilai-nilai yang dianut oleh partai itu membuat saya khawatir, mengingat catatan perjalanan yang dimiliki partai tersebut tidaklah seindah visinya.
Lalu, apa yang saya harus lakukan nanti di bilik pemilih ? Menghitung kancing ? Memilih berdasarkan partai yang cocok dengan nurani saya ? Atau menjadi Golput ?
Mana yang lebih parah ? Menjadi Golput dengan kemungkinan suara saya yang abstain itu dipergunakan oleh partai yang cukup memiliki kekuasaan “membeli” atau menghitung kancing atau melihat nama partainya ?
Atau seperti pesan anak saya yang masih kelas 5 SD. Katanya, “Bunda, nanti kalau milih, kata temanku, lihat saja siapa yang paling ganteng atau paling cantik, itu yang dipilih.”
Melihat wajah dan pesan yang disampaikan oleh para kontestan membuat saya geleng-geleng kepala. Semua menampilkan pesan yang sama, pesan tanpa makna. Atau sekalipun ada yang berbeda, pesannya benar-benar bertolak-belakang.
Baru-baru ini di jalan yang saya lalui, ada kontestan baru, dengan nomor urut “single digit” dari partai yang terkenal, yang dengan bangganya memasang gambar dirinya di sepanjang jalan tersebut, tentu saja dengan pesan yang berbeda-beda.
Untuk daerah yang dekat dengan Mal atau Pusat Perbelanjaan, pesannya adalah “Selamat Berbelanja”, untuk daerah yang dekat dengan Universitas atau Sekolah, pesannya adalah “Selamat Belajar”, untuk daerah yang dekat dengan “Jalan Tol” pesannya adalah “Hati-Hati di Jalan”.
Di salah satu jejaring sosial, seseorang yang saya kenal, tiba-tiba meminta saya untuk memilihnya. Saya pun terhenyak dan mengingat-ingat cerita masa lalu, sambil mencoba membayangkan sosok dirinya ketika menjadi wakil rakyat nanti. Wakil rakyat dari partai yang baru lahir.
Jadi, kembali lagi ke pertanyaan saya sebelumnya, apa yang nanti harus saya lakukan di bilik pemilih ? Sumpah, sampai detik ini pun saya tidak tahu.
Tiba-tiba di telinga saya terdengar komentar atasan saya, “Bayangkan, dia tinggal di Jakarta, siapa yang harus dipilih saja dia tidak tahu. Bagaimana mereka yang tinggal di daerah ?”
Dan kemudian ada suara yang mirip dengan suara saya membalas, “Ah Bapak, jangan begitu. Kita nikmati saja kampanye hari Senin nanti. Siapa tahu ada inspirasi baru.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
Ikut saja pemilu, kemudian contreng saja semua nama. Kita telah menggunakan hak pilih kita, bukan? Sekaligus merusak kertas suara. Biar KPU geleng-geleng kepala. Hahaha,,
@bloggerbercerita : Wakakakak ...kira-kira kertas suara rusak benar-benar dihitung sebagai "suara rusak" nggak ya ?
Aku malah nggak inget dulu dulu nyoblos apa enggak. Ini baru dikirimin registrasi pemilu disini, sapa juga capresnya nggak dikasi informasi. cuex sajalah
salam kenal ya
postingnya yahuuuud
aku numpang baca dan asyiiiiiiik
thanks ya
@thewriter : aku sih masih inget. masalahnya sekarang banyak banget calonnya :-(
@shalimow : Terima kasih dan salam kenal. Nanti aku berkunjung juga ya
hihihihi...saya malah belum buat KTP nih..kira - kira bisa ikut nyronteng nggak sih ?? hehehe...
tapi, btw, dari sekian banyak caleg yang tersebar di poster - poster dan baliho di pinggiran kota yang nyepeti mata itu, yang saya kenal cuma 1, caleg no 1 nya demokrat..hahahaha...si roy suryo itu...welah dah...masak dia jadi caleg tha ??? nggak mau nggak mau...nggak sudi ah kalo dia jadi caleg..jadi apa bangsa ini...:p
Posting Komentar