Namun rupanya pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar perempuan yang memberikan komentarnya terhadap pernyataan saya tersebut, mengingat di mata mereka selama ini saya hampir tidak pernah menggunakan fasilitas transportasi umum.
Pendapat itu ada benarnya, tetapi mereka lupa bahwa dulu, saat kereta belum seintensif sekarang penggunaannya, dimana bis, metromini, dan mikrolet masih meraja di dunia transportasi umum, saya adalah pengguna setia mereka.
Sejak saya duduk di bangku SMA hingga kuliah bahkan di tahun pertama saya bekerja kantoran, kendaraan utama saya adalah ketiga angkutan umum tersebut. Bahkan saat saya kuliah, kecintaan saya terhadap mereka luar biasa, untuk menempuh jarak dari rumah hingga ke tempat kuliah saya harus berganti kendaraan hingga 4 (empat) kali, begitu pula saat pulangnya.
Saya pun mengalami hari-hari dimana saya tetap harus memaksakan diri masuk ke lautan penumpang yang penuh sesak, bernapas di antara ketiak orang, karena penuhnya bus atau metromini yang saya naiki. Atau hari-hari dimana saya harus dengan tega melayangkan sikut saya supaya saya bisa masuk dengan cepat dan mendapat tempat duduk jika kebetulan ada bus baru yang tiba di terminal. Atau hari-hari dimana saya harus berlari-lari mengejar bis dan mendaratkan kaki saya ke dalam bis ketika bis melambatkan jalannya atau pun sebaliknya mendaratkan kaki saya di aspal ketika turun.
Sehingga saya pun mengerti benar rasanya berada di antara lautan penumpang dimana para pria penggemar kesempatan dalam kesempitan melancarkan aksinya, dari menggosokkan alat kemaluannya, menempelkan punggung bagian belakangnya hingga kernet yang hobby menepuk pantat penumpang wanita – karena saya termasuk salah satu korbannya.
Tetapi tentu saja kemudian ada bantahan yang menyatakan bahwa itu dulu, beda dengan sekarang. Itu pun sah-sah saja dan benar.
Jaman sekarang berbeda dengan jaman saya dulu, jumlah penduduk semakin menyemut sementara transportasi umum tidaklah bertambah mengikuti pertambahan jumlah penduduk, sehingga aksi para penggemar kesempatan dalam kesempitan semakin bertambah.
Jaman sekarang berbeda dengan jaman saya dulu, dimana pelecehan seksual dapat dijadikan delik aduan terhadap pelecehan kaum perempuan, sehingga para pria bisa mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya.
Sehingga sudah sepantasnyalah dan sepatutnya pemerintah mencarikan jalan keluar yang bisa menjembatani kedua hal tersebut. Namun sayangnya jalan keluar yang diberikan tidaklah efektif dan tidak menyelesaikan akar dari permasalahan ini, yaitu Pelecehan Seksual.
Pernahkah kita mengetahui jumlah laporan pengaduan pelecehan seksual di Indonesia atau Jakarta – dalam hal ini busway atau KRL atau transportasi lainnya ? Nyaris tak terhitung. Entah terlewat atau saya tidak bisa menemukannya, tetapi media pun tidak pernah memberikan angka pastinya mengenai tingkat pelecehan seksual di KRL maupun busway.
Bagi saya, penerapan KRL khusus perempuan tetap saja tidak efektif, tetap saja suatu bukti bahwa perempuan belum memperjuangkan haknya untuk dihargai sebagaimana layaknya kaum pria. Terlalu naif untuk merasa bersyukur gerbong khusus perempuan sudah tersedia, karena kejahatan yang sebenarnya dibiarkan oleh kaum perempuan itu sendiri.
Maka berapa pun jumlah gerbong yang disediakan selama kaum perempuan tidak mau bertindak, tidak mau membela dirinya sendiri, bentuk pelecehan ini tetap akan bertambah.
Bicara mengenai situasi ini, beberapa waktu lalu senior saya, Putu Laxman Pendit mengirimkan link tentang kondisi serupa yang terjadi di Jepang, ini linknya http://english.pravda.ru/news/society/21-08-2006/84007-groping-0 dan bagaimana menurut Putu 3 tahun sesudahnya kaum pria menuntut hal serupa http://english.pravda.ru/news/society/21-08-2006/84007-groping-0
2 komentar:
pemerintah menggunakan pendekatan proteksi dalam menyelesaikan permasalahan para pelaku pelecehan seksual di kendaraan umum
menurut saya, pemisahan tersebut akan semakin mengerikan untuk perempuan yang tidak sengaja terjebak di gerbong khusus laki-laki, justru dikhawatirkan pelecehan akan semakin besar terjadi
affirmative action is discrimination. jika perempuan tidak pernah bertindak jika terjadi pelecehan terhadap dirinya maka selamanya ia akan selalu tertindas
@Oma, benar sekali, tetapi kebanyakan perempuan tidak melihat bahwa mereka harus bertindak dan menggantungkan harapan pada orang lain untuk membela haknya
Posting Komentar