”Bagaimana merdeka di Jakarta bagi hidup Anda ?” kurang lebih begitulah kicauan burung yang muncul di layar handphone saya pada tanggal 16 Agustus lalu. Kicauan yang disampaikan oleh Marco Kusumawijaya tersebut segera menarik perhatian saya, apalagi disertai dengan embel-embel jawaban ditunggu paling lambat tgl 17 Agustus pukul 10 pagi karena hendak diterbitkan dalam bentuk buku.
Segera reaksi narsis saya muncul, ”Wah kapan lagi nih nama saya bisa muncul di buku terbitan Marco Kusumawijaya.”
Alih-laih memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut saya pun mulai membayangkan skenario narsisme berikutnya, lengkap sejak jawaban tersebut saya posting hingga komentar pembaca saat buku tersebut diterbitkan.
Tetapi dasar saya itu cepat sekali teralihkan perhatiannya apalagi bila pekerjaan kantor memanggil-manggil saya untuk kembali ke dunia nyata, maka segera fantasi narsisme itu menguap menyisakan pertanyaan yang membekas dalam alam ingatan dan pikiran saya.
Hingga datanglah tanggal 17 Agustus dengan pertanyaan tentang arti merdeka di Jakarta bagi hidup saya yang memanggil-mainggil meminta diberi jawaban.
Ada beberapa skenario jawaban yang muncul dalam benak saya dari yang kesannya patriotik hingga yang biasa-biasa saja.
Tetapi kemudian saya merenung, melakukan kilas balik kehidupan saya di ibukota tercinta ini, dari sejak menjadi penghuni hingga tersingkir ke daerah pinggiran karena padatnya perkampungan modern bernama Jakarta.
Hingga tibalah saya kepada pertanyaan apa yang membuat saya merasa terasing di Jakarta ?
Tinggal di perkampungan besar ini sejak lahir, menjadi anak Menteng, Kebayoran dan Rawamangun sebelum tersingkir ke daerah pinggiran alias ”suburb” bahasa kerennya, membuat saya sadar betapa Jakarta dullu tidaklah seperti sekarang.
Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya tidak dapat menikmati kemerdekaan bersepeda, mainan favorit anak-anak seperti yang saya alami. Dulu, saya masih bisa bermain sepeda bahkan kebut-kebutan dengan teman-teman saya di jalan Sumatera, Sumbawa dan Jawa. Masih merasakan dikejar tukang jual mangga yang membawa pikulannya karena tertabrak sepeda saya.
Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya sudah tidak dapat merasakan kehidupan bertetangga ala kampung Dulu, di sebelah rumah saya tinggal orang Arab dengan keluarga batihnya dalam 1 rumah. Si Abah, begitu saya memanggil beliau memiliki 3 anak kecil serta dalam 1 rumah. Jika bulan Ramadhan tiba, si Ame, begitu saya memanggil istri si Abah, dengan senang hati mempersilakan kami bermain di dapurnya saat beliau menyiapkan kue-kue untuk berbuka puasa dan jika waktu berbuka tiba kami pun mendapat oleh-oleh juadah buatan beliau yang hingga kini masih terbayang-bayang dalam ingatan saya
Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya sudah tidak dapat merasakan nikmatnya naik becak sore hari ditemani angin semilir. Dulu, ibu saya punya tukang becak langganan yang selalu mengantarkan saya dan adik saya ke sekolah. Bukannya kami tidak memiliki mobil, tetapi menurut ibu saya, jarak tempuh antara rumah dan sekolah terlalu dekat bagi sebuah mobil. Sebelumnya bahkan saya kalau ke sekolah berjalan kaki, maklum jarak antara rumah dan sekolah terkenal itu hanya sepelemparan batu.
Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya sudah tidak dapat merasakan manisnya buah cerme yang dengan mudah dapat ditemui di pinggir jalan. Dulu, saya dan teman-teman, tidak pernah melewatkan buah cerme yang berwarna kemerahan yang dengan mudah kami temui sepanjang perjalanan pulang dan berangkat sekolah. Memetik dan memakannya adalah keasyikan tersendiri.
Anak saya jika tinggal di Jakarta pastinya sudah tidak dapat merasakan enaknya es krim Tjanang, es krim yang rasanya tak tergantikan walaupun saat ini masih ada es krim Zangrandi dan Ragusa. Dulu, jika kedua orangtua saya membawa saya ke jalan Sabang untuk menikmati es krim Tjanang, kami selalu memilih duduk di luar – di kursi rotan yg terbuat dari rotan bukan rotan plastik -. Menikmati sore dan es krim, suatu kemewahan luar biasa.
Dan masih sederet lagi jika Anak saya tinggal di Jakarta. Saya harus realistis. Merdeka di Jakarta bagi hidup saya tentulah tidak bisa menengok ke belakang. Zaman berubah, kota pun harus berubah mengikuti perkembangan zaman. Sederet jika anak saya tinggal di Jakarta tidaklah menjawab pertanyaan yang diajukan Marco Kusumawijaya.
Jawaban saya haruslah berdasarkan perenungan yang berkaitan dengan saat ini, zaman dimana becak bukan lagi transportasi utama, zaman dimana gedung pencakar langit adalah hal yang biasa, zaman dimana motor mendadak jadi pasukan berani mata di jalan-jalan kota Jakarta.
Jawaban saya haruslah berdasarkan perenungan atas hasil interaksi saya dengan manusia-manusia maju, modern, berpendidikan tinggi, metropolis dan majemuk. Interaksi yang meninggalkan bekas mendalam di hati saya, entah itu baik atau buruk.
Saya pun mengeluarkan sederet interaksi yang meninggalkan kesan indah dan buruk, menyaringnya dan berkesimpulan :
”Merdeka di Jakarta bagi kehidupan saya adalah jika saya bisa memakai celana pendek dan tank top tanpa terlihat sebagai orang asing”
PS :
Ucapan selamat sudah disampaikan kepada negeri tercinta lewat kicauan burung
2 komentar:
bagus juin tulisannya!
@Boy, thanks Boy :-)
Posting Komentar