Dalam jurnal perempuan edisi 67 hal 32 mengenai Nasib Jurnalis Perempuan di Indonesia yang berisikan hasil penelitian oleh Aliansi Jurnalis Independen pada tahun 2009, di salah satu rekomendasinya tertera bahwa perusahaan diharapkan memberikan hak-hak kesehatan reproduksi seperti cuti haid, cuti melahirkan serta menyusui di samping menyediakan ruangan bagi jurnalis yang menyusui. Perempuan yang melakukan peliputan malam hari, diberikan fasilitas antar jemput.
Bahkan ada penemuan yang menarik dari hasil penelitian itu, masih terdapatnya bias gender yang dialami para jurnalis perempuan, dimana perekrutan terhadap jurnalis perempuan oleh media semata sebagai siasat untuk ‘mendekati’ narasumber laki-laki, di samping harus memiliki persyaratan fisik menarik – baik wajah maupun tubuh – sesuai standar industri (khusus penilaian fisik ini berlaku untuk industri televisi).
Dari hasil penelitian itu juga dikemukakan betapa para jurnalis perempuan juga kerap mengalami pelecehan seksual dari narasumber, entah itu berupa tindakan meraba atau rayuan, bahkan ada juga yang mendapat ajakan kencan.
Membaca hasil penelitian itu membuat saya terkejut, dan memaksa saya untuk menggali sisa-sisa ingatan saat status saya masih menjadi “stringer journalist” ketika kuliah dulu. Menggali sisa-sisa ingatan ketika berhadapan dengan narasumber, perlakuan mereka terhadap saya atau perjalanan panjang yang saya lakukan bersama rekan-rekan jurnalis lainnya.
Dari hasil ingatan saya yang tersisa, narasumber yang selama ini saya wawancarai tidak pernah ada yang meraba-raba atau merayu apalagi mengajak kencan, mungkin karena penampilan saya yang selalu bercelana jeans, padahal narasumber saya saat itu dari menteri hingga rakyat jelata. Peliputan malam hari ? hm … saat itu memang tidak ada antar jemput, yang ada saya pergi sendiri dengan biaya sendiri, padahal saat itu saya sedang mengerjakan tugas meliput suasana pasar induk dini hari. Tidak juga saat saya harus meliput Kebun Binatang Ragunan saat malam hari, bagaimana mau dijemput, liputan itu mengharuskan saya bermalam di Kebun Binatang bersama rekan jurnalis pria, tidur bersama binatang yang sedang di karantina.
Tentu saja pengalaman masa lalu dan ingatan yang tersisa tidak bisa disejajarkan dengan hasil penelitian AJI, pertama karena saya belum menikah, kedua saya bukanlah jurnalis yang dibayar penuh oleh media, ketiga media televisi belum menjamur seperti saat ini, keempat euphoria “stringer journalist” – namanya juga “stringer journalist”, tugas peliputan tentu saja tergantung order dan keinginan untuk mendapatkan order.
Namun terlepas dari pengalaman masa lalu, hasil penelitian AJI adalah sesuatu yang menyedihkan, karena kondisi yang dialami jurnalis perempuan adalah kondisi yang dialami pekerja kantoran perempuan lainnya – terutama bagi pekerja kontrak (out-sourcing) dan jenis pekerjaan mereka masuk dalam lingkup pekerjaan yang mengharuskan mereka bekerja malam hari
Hasil penelitian AJI terasa mengejutkan karena ternyata pekerja media pun mengalami hal yang sama – tidak semua pastinya, tergantung dari perusahaan dimana mereka bernaung – sementara media adalah salah satu alat untuk menyiarkan kebenaran untuk kepentingan masyarakat banyak.
Penelitian itu pun di satu sisi memperlihatkan bahwa kondisi perempuan sebagai “obyek” tidak pandang bulu, entah itu TKI, entah itu pekerja kantoran, entah itu jurnalis, entah itu artis, entah itu rakyat jelata, siapa pun dalam skala kecil atau besar pasti pernah masuk dalam kategori “obyek” tersebut.
Jika sudah seperti itu siapa yang harus disalahkan ?
Saya jadi teringat pembicaraan saya beberapa waktu lalu dengan seorang teman, saat itu dalam pembicaran tersebut rekan saya berpendapat bahwa dalam kondisi dimana uang berbicara, dimana keuntungan materi lebih berkuasa, maka sampai kapan pun situasi tidak akan berpihak kepada mereka yang lemah.
Rekomendasi AJI pun pada akhirnya hanya akan berhenti sebatas rekomendasi, karena gaungnya pun tetap kalah dengan kekuasaan pemilik media.
Begitu juga dengan kondisi para perempuan pekerja kantoran lainnya – mengingat kondisi yang dialami jurnalis perempuan pun dialami perempuan yang berstatus sebagai pekerja – sampai kapan pun peraturan ketenagakerjaan tidak akan berpihak selama kekuasaan tetap berada di tangan para pemilik perusahaan.
Peraturan ataupun pengaturan undang-undang yang lebih berpihak hanya dapat terjadi, jika peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidaklah sekedar peraturan tertulis yang penerapannya tidak terpantau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar