Beberapa waktu lalu,
di perbincangan grup whats app para alumni sebuah bank internasional tempat
saya bekerja dulu, tiba-tiba seorang teman perempuan menulis, ‘semenjak saya berhenti,
saya bergabung di taklim-taklim, sehinga jadi tahu dalilnya untuk muslimah. Saya menemukan artikel bagus di majalah
Sunnah, tentang bahaya jalan sendirian bagi wanita tanpa mahrom, dalilnya,’Tidak
halal seorang wanita keluar rumah mahrom’. Jadi sekarang saya tidak pernah keluar rumah kalau
tidak ada teman sesama muslimah atau mahrom.’
Saya pun menemukan sebuah artikel tentang ‘8 Sifat WanitaTerbaik’ yang sebaiknya diikuti seorang
muslimah, di antaranya wanita itu sebaiknya betah di rumah, memiliki rasa malu,
menjaga kehormatan anak dan suami.
Membaca pesan yang disampaikan teman melalui grup whats app
dan membaca artikel yang ditulis oleh seseorang yang memiliki sederet gelar,
membuat saya terhenyak. Bedanya yang satu perempuan dan yang satunya lagi
laki-laki.
Saya tidak mempermasalahkan masalah pakaian yang harus
dikenakan, yang saya permasalahkan adalah doktrin yang dikemukakan dalam
artikel itu, dimana perempuan menjadi ‘obyek’ laki-laki dan bukan ‘subyek’
Dan yang menyedihkan, perempuan yang menerima dalil-dalil itu
serta merta menerimanya tanpa berusaha menggunakan akal sehatnya, tanpa berusaha
mencari tahu dari orang yang layak untuk dipercaya.
Bagi saya, ketika saya berdandan, menggunakan parfum, berarti
saya menghargai diri saya sendiri sebagai seorang perempuan, yang tahu
bagaimana membawa diri di dalam keluarga maupun ketika saya berada di tempat
umum.
Bagi saya, ketika saya bekerja, berarti saya menghargai jerih
payah orang tua saya yang sudah menyekolahkan saya, di samping membantu mereka
yang bergantung kepada saya secara finansial.
Bagi saya, ketika saya harus berjabat-tangan dengan pria di
kantor, bukan berarti saya ingin menggoda mereka, saya berjabat-tangan untuk
menghargai mereka. Atau ketika menjadi satu-satunya perempuan di antara
kumpulan para laki-laki, bukan berarti saya tidak memiliki rasa malu, salah
siapakah hingga kemampuan saya membuat saya menjadi pemimpin bagi para
laki-laki itu?
Bersuara merdu ketika menjawab telepon? Mungkin mereka lupa ajaran
sopan-santun yang diajarkan oleh para orang tua mereka dulu jika kita hendak
menyapa seseorang. Bukankah akan sangat kurang ajar jika kita menjawab telepon
seseorang dengan membentak-bentak? Atau bahkan tidak menjawab telepon itu sama
sekali?
Memahami suatu ayat, tidaklah cukup dengan mengambil
penggalan ayat tersebut dan menerjemahkannya secara buta tanpa berusaha
memahami latar-belakang ketika ayat tersebut disampaikan dan juga budaya yang
menjadi landasan ayat tersebut dicetuskan.
Memahami ayat dengan keyakinan semata tanpa menggunakan akal
sehat, sama saja seperti perumpaan orang buta yang bercerita tentang gajah.
Saya termasuk orang yang percaya bahwa Tuhan mencintai setiap
makhluk ciptaannya, bahwa pria dan wanita setara di mata Tuhan.
Agama, disadari atau tidak, juga berevolusi. Sejarah
membuktikan evolusi tersebut, contoh utama Galileo-Galilei, betapa Gereja
Katolik mendera ilmuwan tersebut karena dianggap bertentangan dengan ajaran
Gereja, dianggap merusak iman Katolik, sebelum akhirnya di tahun 1992, Paus
Yohanes Paulus II menyatakan bahwa hukuman yang diberikan kepada
Galileo-Galilei salah.
Agama, disadari atau tidak, tentu saja menyatu dengan kultur
dan budaya dimana agama itu berada, seperti yang disampaikan Prof. Ali Dasani, Phd , Harvard University, dalam kuliahnya tentang Islam.
Dan pembodohan-pembodohan yang terjadi sekarang ini, yang
justru diterima mentah-mentah oleh mereka yang notabene berpendidikan, bagi
saya lebih karena agama saat ini menjadi bagian dari ‘status sosial’ bukan lagi
bagian dari hubungan pribadi dengan Sang Pencipta. Keengganan untuk mencari tahu dan 'berbeda pendapat' melekat erat, mengalahkan akal sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar