Mengamati peristiwa yang terjadi tanggal 04 November 2016, dan
melihat bahwa di antara pendemo adalah teman-teman sekerja dan mantan anak buah
yang notabene amat sangat berpendidikan, membuat saya terhenyak.
Di satu sisi saya salut atas rasa berbela-rasa mereka, di
sisi lain membuat saya sedih karena bangsa ini mudah sekali bersimpati tanpa
berusaha mencaritahu penyebab utama dari keyakinan yang mereka perjuangkan.
Begitu mudahnya mereka – kaum cendikia – termakan oleh
berita yang dengan mudahnya diplintir oleh seorang Buni Yani, tanpa berusaha
mencerna terlebih dahulu, melakukan cek dan ricek, menyimak pesan ulama yang
benar-benar paham tentang agama Islam (bukan ulama yang berangkat dari
pemahaman Al Quran secara harafiah).
Atau lebih jauh lagi, termakan begitu saja oleh himbauan
yang disampaikan oleh salah seorang petinggi partai – tanpa berusaha mencerna
rekam jejak beliau dan menganggap bahwa apa yang disampaikannya adalah suatu
kebenaran tanpa melihat bahwa sebenarnya yang dilakukan sebenarnya memperalat
agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Ketika saya mempelajari sejarah agama Islam – Islam Through Its Scriptures – diceritakan
bahwa dalam perkembangannya ada beberapa aliran yang lahir ketika Nabi Muhammad
meninggal dunia, dan salah satu di antaranya adalah aliran garis keras yang berusaha
mengembalikan kondisi seperti masa dimana Nabi Muhammad hidup, menafsirkan Al
Quran seperti apa adanya, tanpa melihat konteks ayat tersebut dikeluarkan.
Hal yang sama saya dapati ketika membaca tulisan Neng Dara Affiah, salah satu
orang yang saya kagumi karena pemikiran-pemikirannya, yang berjudul ‘Aksi Bela Islam’.
Kedua tulisan itulah yang membuat saya lebih paham kenapa
organisasi-organisasi yang bebela-rasa pada tanggal 4 November tidak
menggunakan paham cek dan ricek.
Bagi mereka, benar atau salah berita yang mereka dengar,
tetap salah. Terlebih orang yang menyampaikannya bukan dari golongan mereka
(begitu teman saya menyebut saya, orang dari golongan berbeda). Itu bisa saya mengerti.
Tetapi yang membuat saya tidak mengerti, kenapa kaum
cendikia pun menggunakan paham yang sama dengan organisasi-organisasi agama yang
berunjuk-rasa.
Memandang wajah teman-teman saya dan bahkan mantan anak buah
saya yang tetap ikut hingga rusuh dimulai, melahirkan sejuta pertanyaan yang
hingga kini tidak pernah terjawab.
Bagi saya seharusnya para cendikia itu bisa berpikir dan
mencerna, apakah benar pemahaman saya terhadap yang saya suarakan, apakah benar
informasi yang saya terima, apakah benar tindakan saya bukan didasari fanatisme
yang berlebihan.
Saya setuju mereka berbela-rasa, dan harus berbela-rasa
ketika agama yang diyakininya dihina atau dicela. Tetapi berbela-rasa untuk
permasalahan yang sejak awal sudah tidak tepat karena dipolitisir, karena
diplintir untuk kepentingan sekelompok orang, tentunya menyedihkan.
Mengamati wajah mereka, mencermati profil mereka dan
tulisan-tulisan mereka di laman pribadi mereka, akhirnya saya harus mengakui
bahwa sebenarnya teman-teman saya yang berada di jalan pada tanggal 04 November
lalu itu, bukanlah berbela-rasa terhadap penistaan agama mereka, tetapi
berbela-rasa untuk tujuan yang berbeda.
Dan lebih menyedihkan lagi ketika di laman media sosial
mereka, dengan lantangnya mereka berujar bahwa provokator adalah seseorang dari golongan lain, golongan Nasrani.
Mengumbar kartu identitas yang dicurigai sebagai provokator yang
ditangkap oleh FPI.
Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan, sejarah
mencatat, Kebhinekaan Indonesia tidak pernah dipahami secara menyeluruh dan
merata. Seberapa nyaring pun kita berseru tentang keberagaman dan kemajemukan
bangsa ini, setiap kali suara kita hilang.
Dialog yang seharusnya dijadikan alat untuk menepis
kesalahpahaman entah mengapa mendadak terlupakan. Apalagi Akal Sehat, itu
adalah keniscayaan.
Mungkin hilangnya suara tentang keberagaman dan kemajemukan
bangsa ini, karena tingkat pendidikan bangsa kita yang masih rendah. Atau
mungkin karena bangsa ini terdidik untuk selalu menerima sesuatu tanpa berusaha
mencerna, menyimak, dan mencari kebenarannya.
Sangat disayangkan, saat bangsa lain sibuk berlomba-lomba
mencari kehidupan di planet lain, Indonesia tetap terpuruk dalam pusaran yang
sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar