Selasa, 17 Januari 2017

Cermin Nilai-Nilai Kehidupan dan Sang Idola Kita




Pagi ini seorang teman membagikan tulisan Nanik Sudaryati tentang kekaguman beliau terhadap Habib Rizieq, yang dimuat di laman facebook beliau; tulisannya bisa diperoleh lewat tautan berikutL https://www.facebook.com/naniks.deyang/posts/1402323833125523

Saya, tentu saja, setelah sempat tertipu tulisan/pesan hoax berusaha mencari-tahu apakah tulisan ini tulisan asli dan bukan tulisan abal-abal alias ‘hoax’ sebelum mencerna lebih lanjut tulisan Nanik Sudaryati.

Ternyata tulisan itu asli dan benar adanya, terbukti dari tautan yang berasal dari laman Facebook beliau dan tentu saja sudah bisa diduga di sisi mana keberpihakan Nanik Sudaryati.

Saya tidak mau mempermasalahkan urusan Penista Agama,karena bukan hal itu yang mengusik saya, keterusikan saya hanyalah pada alasan Nanik mengidolakan Habib Rizieq.

Bagi Naniek, Habib Rizieq tak ubahnya seperti doping pada jiwa-jiwa yang hampir putus asa, bagaikan mesin pembangkit listrik yang mengalirkan cahaya pada hati yang mulai suram karena keadaan akhir-akhir ini, menghentakkan jiwa petarung Nanik dan manusia-manusia Indonesia lainnya yang mengingingkan merah Putih tetap berkibar dari Sabang sampai Merauke. Habib bahkan menjadi ‘trigger’ melawan berbagai kedzoliman, karena Habib Rizieq sangat berani untuk bicara apa pun tanpa tedeng aling-aling meski dengan resiko dia bolak-balik diperiksa Polisi. Dan orang yang tidak takut resiko apa pun, bagi Nanik itu sangat mengagumkan.

Saya jadi teringat salah satu tulisan  pengamat film Gilmore Girls yang mengevaluasi kenapa Rory Gilmore mendadak jatuh cinta kepada Jess, seorang pemuda yang menolak mengikuti norma-norma hukum ataupun etika yang berlaku di masyarakat. Kata si pengamat, siapa sih yang tidak akan jatuh cinta kepada pemuda yang terlihat gagah berani dan berani melawan dosen, pemuda yang masuk kategori ‘anak berandalan’? Setiap gadis remaja pasti jadi klepek-klepek, meminjam istilah kekinian, jika si pemudah nakal melirik dirinya.

Membaca alasan Nanik mengagumi Rizieq bagi saya tak ubahnya seperti menonton Rory Gilmore jatuh cinta kepada Jess, bedanya kali ini Nanik bukan perempuan remaja.

Sebagai seseorang yang berada di seberang jalan, saya tidak membutuhkan seorang Habib Rizieq untuk menginginkan Merah Putih tetap berkibar dari Sabang sampai Merauke, saya tidak membutuhkan seorang Habib untuk tetap melawan berbagai ketidakadilan di bumi Indonesia yang saya cintai ini, ataupun menjadi pelita hati melihat kesuraman yang terjadi terhadap keadaan akhir-akhir ini.

Jika Habib Rizieq menginginkan bendera Merah Putih tetap berkibar, tentunya beliau tahu dan sadar bahwa bendera Merah Putih itu didirikan ketika para pendiri negeri ini berjuang menguburkan semua perbedaan, baik agama, suku dan Bahasa, demi negeri yang kita sebut INDONESIA. Tentu beliau sadar bahwa INDONESIA bukanlah NEGARA AGAMA melainkan Negara berlandaskan PANCASILA. Tentu beliau sadar, bahwa pendiri negara tercinta ini, ketika Indonesia pun belum ada, sadar sesadar-sadarnya bahwa SEMUA AGAMA LAYAK MENDAPAT TEMPAT di bumi tercinta ini.

Saya pun tidak membutuhkan seorang Habib Rizieq untuk menyalakan kesuraman hati saya terhadap berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, atau dalam skala yang lebih kecil di Jakarta. Saya tidak membutuhkan itu, karena pelita di hati saya tetap bernyala melihat perubahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini, di balik deretan ketimpangan sosial yang terjadi di bumi tercinta ini. Bahkan semakin bernyala-nyala untuk bisa turut andil membantu pemerintah seperti teman-teman yang tanpa hiruk pikuk membantu dengan segenap jiwa memintarkan mereka yang tidak memiliki cukup biaya agar bisa mengenyam pendidikan, ataupun mereka yang berusaha mengubah perempuan yang termarjinalkan menjadi perempuan yang bangga terhadap diri mereka sendiri atau bagi para pejuang yang berusaha membawa kesehatan bagi mereka yang tidak mampu mengobati penyakitnya.

Dan tentu saja, saya tidak bisa mengidolakan Habib Rizieq yang dengan gagah berani melawan kedzoliman, karena kriteria ‘DZOLIM seorang Habib Rizieq berbeda dengan kriteria ‘dzolim’ saya. Bagi saya, dzolim itu adalah jika kita meneriakkan kebencian terhadap mereka yang berbeda dengan kita, ketika kita mendadak lupa tentang keberagaman yang menjadi dasar berdirinya negara kita, ketika kita mensahkan kekerasan sebagai dasar kita bertindak dan berperilaku, ketika kita atas nama agama lupa bahwa hubungan kita dengan Sang Khalik sifatnya vertikal dan personal, bahwa pengejawantahan hubungan kita dengan Sang Maha Esa bersifat horizontal. Dzolim itu ketika mendadak lupa bahwa Sang Saka Merah Putih adalah lambang negara yang berkibar berlandaskan Pancasila dan bukan milik segolongan agama.

Jadi, salahkan Nanik Sudaryati mengidolakan Habib Rizieq? Atau salahkah saya yang tidak menjadikan Habib Rizieq sebagai sosok yang perlu saya idolakan?

Jawabannya, tidak salah dan sah-sah saja Nanik mengidolakan Habib Rizieq, karena pengidolaan kita terhadap seseorang ataupun ideologi, misalnya, sebenarnya berasal dari nilai-nilai yang kita anut disamping pengalaman yang kita dapati ketika kita berinteraksi dengan sekitar.

Kebetulan nilai-nilai kehidupan dan pengalaman saya berinteraksi berbeda dengan apa yang digaungkan Habib Rizieq. NKRI dan keberagamannya adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi, Pancasila sebagai dasar landasan negara dan milik semua golongan adalah hal yang saya yakini. Bahwa Indonesia bukanlah milik segolongan agama atau pun suku adalah hal yang mewujud dalam tindakan saya ketika berinteraksi dengan sesama. Bahwa budaya dan Bahasa Indonesia harus diperjuangkan dan diwariskan turun-temurun adalah suatu kewajiban bagi saya untuk tetap membaginya kepada siapa saja yang saya temui.

Tidak ada komentar: