Pagi ini seorang teman membagikan tulisan Nanik Sudaryati tentang
kekaguman beliau terhadap Habib Rizieq, yang dimuat di laman facebook beliau;
tulisannya bisa diperoleh lewat tautan berikutL https://www.facebook.com/naniks.deyang/posts/1402323833125523
Saya, tentu saja, setelah sempat tertipu tulisan/pesan hoax
berusaha mencari-tahu apakah tulisan ini tulisan asli dan bukan tulisan
abal-abal alias ‘hoax’ sebelum mencerna lebih lanjut tulisan Nanik Sudaryati.
Ternyata tulisan itu asli dan benar adanya, terbukti dari
tautan yang berasal dari laman Facebook beliau dan tentu saja sudah bisa diduga
di sisi mana keberpihakan Nanik Sudaryati.
Saya tidak mau mempermasalahkan urusan Penista Agama,karena
bukan hal itu yang mengusik saya, keterusikan saya hanyalah pada alasan Nanik
mengidolakan Habib Rizieq.
Bagi Naniek, Habib Rizieq tak ubahnya seperti doping pada
jiwa-jiwa yang hampir putus asa, bagaikan mesin pembangkit listrik yang
mengalirkan cahaya pada hati yang mulai suram karena keadaan akhir-akhir ini,
menghentakkan jiwa petarung Nanik dan manusia-manusia Indonesia lainnya yang
mengingingkan merah Putih tetap berkibar dari Sabang sampai Merauke. Habib
bahkan menjadi ‘trigger’ melawan berbagai kedzoliman, karena Habib Rizieq
sangat berani untuk bicara apa pun tanpa tedeng aling-aling meski dengan resiko
dia bolak-balik diperiksa Polisi. Dan orang yang tidak takut resiko apa pun,
bagi Nanik itu sangat mengagumkan.
Saya jadi teringat salah satu
tulisan pengamat film Gilmore Girls yang
mengevaluasi kenapa Rory Gilmore mendadak jatuh cinta kepada Jess, seorang
pemuda yang menolak mengikuti norma-norma hukum ataupun etika yang berlaku di
masyarakat. Kata si pengamat, siapa sih yang tidak akan jatuh cinta kepada
pemuda yang terlihat gagah berani dan berani melawan dosen, pemuda yang masuk
kategori ‘anak berandalan’? Setiap gadis remaja pasti jadi klepek-klepek,
meminjam istilah kekinian, jika si pemudah nakal melirik dirinya.
Membaca alasan Nanik mengagumi
Rizieq bagi saya tak ubahnya seperti menonton Rory Gilmore jatuh cinta kepada
Jess, bedanya kali ini Nanik bukan perempuan remaja.
Sebagai seseorang yang berada di
seberang jalan, saya tidak membutuhkan seorang Habib Rizieq untuk menginginkan
Merah Putih tetap berkibar dari Sabang sampai Merauke, saya tidak membutuhkan
seorang Habib untuk tetap melawan berbagai ketidakadilan di bumi Indonesia yang
saya cintai ini, ataupun menjadi pelita hati melihat kesuraman yang terjadi
terhadap keadaan akhir-akhir ini.
Jika Habib Rizieq menginginkan
bendera Merah Putih tetap berkibar, tentunya beliau tahu dan sadar bahwa
bendera Merah Putih itu didirikan ketika para pendiri negeri ini berjuang
menguburkan semua perbedaan, baik agama, suku dan Bahasa, demi negeri yang kita
sebut INDONESIA. Tentu beliau sadar bahwa INDONESIA bukanlah NEGARA AGAMA
melainkan Negara berlandaskan PANCASILA. Tentu beliau sadar, bahwa pendiri
negara tercinta ini, ketika Indonesia pun belum ada, sadar sesadar-sadarnya
bahwa SEMUA AGAMA LAYAK MENDAPAT TEMPAT di bumi tercinta ini.
Saya pun tidak membutuhkan
seorang Habib Rizieq untuk menyalakan kesuraman hati saya terhadap berbagai
ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, atau dalam skala yang lebih kecil
di Jakarta. Saya tidak membutuhkan itu, karena pelita di hati saya tetap
bernyala melihat perubahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini, di
balik deretan ketimpangan sosial yang terjadi di bumi tercinta ini. Bahkan
semakin bernyala-nyala untuk bisa turut andil membantu pemerintah seperti
teman-teman yang tanpa hiruk pikuk membantu dengan segenap jiwa memintarkan
mereka yang tidak memiliki cukup biaya agar bisa mengenyam pendidikan, ataupun
mereka yang berusaha mengubah perempuan yang termarjinalkan menjadi perempuan
yang bangga terhadap diri mereka sendiri atau bagi para pejuang yang berusaha
membawa kesehatan bagi mereka yang tidak mampu mengobati penyakitnya.
Dan tentu saja, saya tidak bisa
mengidolakan Habib Rizieq yang dengan gagah berani melawan kedzoliman, karena
kriteria ‘DZOLIM seorang Habib Rizieq berbeda dengan kriteria ‘dzolim’ saya.
Bagi saya, dzolim itu adalah jika kita meneriakkan kebencian terhadap mereka
yang berbeda dengan kita, ketika kita mendadak lupa tentang keberagaman yang
menjadi dasar berdirinya negara kita, ketika kita mensahkan kekerasan sebagai
dasar kita bertindak dan berperilaku, ketika kita atas nama agama lupa bahwa
hubungan kita dengan Sang Khalik sifatnya vertikal dan personal, bahwa
pengejawantahan hubungan kita dengan Sang Maha Esa bersifat horizontal. Dzolim
itu ketika mendadak lupa bahwa Sang Saka Merah Putih adalah lambang negara yang
berkibar berlandaskan Pancasila dan bukan milik segolongan agama.
Jadi, salahkan Nanik Sudaryati
mengidolakan Habib Rizieq? Atau salahkah saya yang tidak menjadikan Habib
Rizieq sebagai sosok yang perlu saya idolakan?
Jawabannya, tidak salah dan
sah-sah saja Nanik mengidolakan Habib Rizieq, karena pengidolaan kita terhadap
seseorang ataupun ideologi, misalnya, sebenarnya berasal dari nilai-nilai yang
kita anut disamping pengalaman yang kita dapati ketika kita berinteraksi dengan
sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar