Minggu, 26 April 2009

Ketika Sang Dewa Turun Gunung


Pernah baca postingan saya yang judulnya “Kamisan”, nah kali ini “Kamisan” saya sudah berganti judul menjadi “Harian”, ya … Harian persis seperti buruh harian. Dari semula meeting hari Kamis sore menjadi “Harian Pagi”, persis seperti jadwalnya Harian Kompas, Tempo, Sindo, yang terbitnya pagi hari di jam yang kurang lebih sama.

Bedanya dengan Harian Pagi hanya di waktu persiapannya. Kalau harian pagi dicetak pagi hari sekitar pukul 23.00 – 01.00, nah kalau Harian Pagi kantor saya pukul 09.30 hingga waktu tak terbatas, tergantung suasana hati si Dewa.

Selain itu rapat untuk isi Harian Pagi selalu disiapkan dari hari sebelumnya, di pagi hari. Nah kalau Harian Pagi Kantor Saya, persiapannya selalu tergantung hari itu pembicaraannya apa. Malah lebih sering persiapannya berdasarkan pertanyaan Dewa yang tidak dapat dijawab pada saat itu juga.

Bayangkan saja, ketika Dewa turun gunung 1 minggu 1 kali, para raja dan panglima kerajaan sudah dibuat lumpuh sebelah, karena tidak ada apa pun yang bisa dikerjakan selama 3 hari sebelum hari Kamis; mereka sibuk mengerjakan laporan buat Dewa.

Nah sekarang setelah setiap hari Dewa turun gunung, bisa dibayangkan bukan, bagaimana raga dan jiwa para Raja dan Panglima Kerajaan. Kalau sebelumnya sudah lumpuh sebelah sekarang malah mati suri. Mati suri karena tidak ada gunanya lagi berpikir, mana ada strategi kerajaan kalau tiap hari kerjanya sudah seperti Harian Pagi Kompas, Tempo, Sindo.

Kalau dulu para penjilat dan pemanfaat situasi a.k.a kaum oportunis seperti si JK, bermain secara halus, sekarang sudah tidak malu-malu lagi, tidak perduli lawan bicaranya masih ingat apa yang mereka katakan 2 hari lalu. Selama pernyataan mereka bisa menjamin kelangsungan pasokan beras di rumah, maka sah-sah saja sikap mereka itu.

Kalau dulu, semua seperti koor kalau ditanya, sekarang kalau bisa persis seperti anak umur 6 tahun yang sedang di tes sama gurunya. Harus ditanya berkali-kali baru bersedia menjawab.

Kepala yang menduduk pura-pura sibuk membaca blackberry atau pura-pura sibuk menatap layar laptop, hihihihi….tak terkira jumlahnya. Sayang si Dewa tidak punya kemampuan memandang langsung isi blackberry atau laptop anak buahnya. Jika saja si Dewa memiliki mata yang jeli, pastilah karyawan Harian Pagi akan kena pecat, karena sibuk dengan Facebook dan Plurk.

Kalau dipikir-pikir, kepala para peserta meeting Harian Pagi seperti kura-kura, keluar-masuk, keluar-masuk, tergantung situasi dan kondisi di luar “batok” mereka.

Yang menarik adalah ketika si Dewa bertanya tepat di hari ke-14 meeting Harian Pagi diadakan, “Bagaimana ? Apakah kalian merasakan adanya perubahan dengan meeting yang saya lakukan setiap hari ini.”

Semua kepala langsung masuk ke dalam batoknya dan pelan-pelan keluar lagi. Bukan untuk bilang “Ya Pak, kami merasakan adanya perubahan.” Tetap saling tengak-tengok, melihat arah angin jawaban yang diberikan sesama kura-kura.

Saya ? Hehehehe....saya pun seperti mereka, golongan kura-kura juga tetapi kura-kura yang punya prinsip, karena setidaknya saya masih menggumam, “Bagaimana ada perubahan, kalau setiap hari kerjanya meeting, setengah hari habis hanya untuk main facebook. Kapan saya mikirnya Pak.”

Gumaman yang membuat rekan kura-kura di samping saya menyodok saya supaya diam, karena takut si Dewa malah mengeluarkan lagi kata-kata saktinya, “Revenue tidak apa-apa turun, yang penting masih ada arah positif. Kalian hanya jago buat produknya saja tetapi tidak pernah memikirkan akhirnya.”

Sebenarnya saya kepingin bilang sama Dewa, “Pak, dimana-mana semua itu harus pakai strategi. Kalau strategi kita salah, ya ditunjukkan saja bagaimana cara kita melihat atau mendesain suatu produk sehingga terjadi peningkatan revenue.” Dan bicara soal strategi, “Itu kan bukan pekerjaan sangkuriang, sehari jadi. Orang itu harus berpikir, harus melihat data, melihat kegagalan produk yang lampau dimana.” Nah, bagaimana kita bisa berpikir, kalau kerjanya “Bentuk team kecil ya.., lusa saya mau kalian presentasi rencana kerjanya.”

Tadi, ketika saya menonton Red Cliff 1 dan II, saya menemukan kata-kata bijak, contoh soal, yang rasanya ingin saya bawa ke dalam rapat Harian Pagi kantor saya.

Sebagai si lemah, kerajaan yang nyaris tidak diperhitungkan, tentu saja kita tidak bisa membabi-buta menghabiskan semua peluru kita untuk menumpas si musuh.

Pertama, kita harus mampu mengenali siapa musuh kita sebenarnya. Kemudian menaksir kekuatan mereka dibandingkan dengan kekuatan kita. Setelah itu bagaimana membuat strategi perang yang pihak lawan pun termakan oleh strategi tipuan kita.

Nah, di film yang keren itu, bagaimana menentukan strategi perang tidaklah hasil berpikir semalam, tetapi hasil pembahasan berkali-kali, membaca karakter lawan, melihat kelemahan lawan dimana, dan melihat “alam” a.k.a situasi sekeliling.

Tapi berhubung saya bukan saudara Dewa, juga bukan anggota Tim Kecil si Dewa, maka percuma juga saya berbicara, paling-paling yang ada saya akan kena muntahannya dia lagi. Muntahan yang baru akan dengan senang hati disemprot dengan Glade, si pengharum ruangan, jika ternyata Dewa melihat dengan mata kepalanya dia sendiri bahwa apa yang saya sampaikan benar-benar menjadi kenyataan.

Jadi ? Bagaimana ?

Hahahaha…terpaksa saya harus menunggu sampai Dewa bosan. Semoga ketika si Dewa bosan, saya masih punya tenaga untuk berpikir….


1 komentar:

Anonim mengatakan...

membaca seluruh blog, cukup bagus