Minggu, 28 September 2008

Harga Sebuah Dunia Tanpa Batas


Tadi ketika saya sedang menunggu kasir toko buku Gramedia mencatatkan buku-buku yang dibeli oleh saya dan kedua putri saya, tiba-tiba mata saya terpaku melihat harga buku komik yang tertera di mesin kasir, Rp 13.800,-. Entah kenapa baru kali ini saya tersadar untuk memperhatikan harga sebuah buku komik jepang, hitam-putih, dicetak di atas kertas koran.

Pikiran saya kemudian melayang ke beberapa tahun yang silam, tepatnya puluhan tahun yang silam, ketika harga sebuah komik Nina terbitan Gramedia hanya sebesar Rp 3.000,-, berwarna dan kertasnya pun bukan kertas koran – serupa dengan kertas komik Conan yang berwarna.

Dibandingkan dengan komik Nina, komik jaman sekarang dengan ukuran yang jauh lebih kecil, tentunya terasa sangat mahal, apalagi dengan kondisi perekonomian dunia akhir-akhir ini.

Saya jadi teringat slogan bangsa ini, entah dimana, saya lupa kapan, tapi kurang lebih adalah ajakan untuk membaca, karena dengan membaca bangsa ini akan menjadi cerdas.

Slogan yang malam ini membuat hati saya jadi miris, karena tiba-tiba di Toko Buku Gramedia yang megah ini, sekelompok anak melintas di depan saya, bersandal jepit, pulang dengan tangan kosong.

Ketika saya membaca slogan tersebut beberapa waktu lalu, saya berpikir bahwa akhirnya para pemimpin sadar, membaca adalah kebiasaan yang harus ditularkan. Tetapi kini, saya berpikir lagi, jangan-jangan slogan tersebut hanyalah sekedar slogan, indah untuk dipublikasikan tetapi rentan untuk dilaksanakan.

Dulu, ketika saya masih berstatus mahasiswa dan menjadi karyawan magang, saya mendapat tugas untuk meliput anak-anak yang sering membaca di toko buku Gn. Agung ataupun toko buku Gramedia.

Masih jelas dalam ingatan saya, ketika saya berbincang dengan mereka, ketika saya memperhatikan mereka dari kejauhan, alasan klasik yang tak lekang oleh jaman yang diutarakan oleh mereka, “uang kami tidak cukup, ada tugas dari sekolah, jadi kami mampir ke toko buku untuk membaca”, “kadang-kadang kami diusir sama penjaga toko buku”, “saya kepingin baca buku komik tapi uangnya nggak ada”.

Versus si penjaga toko buku, “kadang-kadang saya biarkan saja, habis kasihan mereka tidak punya uang.” Atau “kami memang membicarkan mereka membaca di tempat, asalkan mereka tidak merusak buku”.

Ironis bukan ? Puluhan tahun sesudahnya, ketika saya sudah bukan lagi jadi pekerja magang, ketika saya sekarang sudah menjadi Ibu dari kedua putri saya, pemandangan yang sama pun terulang kembali.

Bagaimana bangsa ini mau maju jika perpustakaan saja nyaris tidak ada, jika harga buku lebih mahal dari harga makan siang di warung tegal. Bagaimana bangsa ini mau maju, jika mereka yang menduduki singgasana kekuasaan menutup pintu dan jendela imajinasi tanpa batas yang dimiliki oleh anak-anak, si penerus generasi bangsa ini.

Saya tidak ingin membandingkan, tetapi saya kerap bertanya, kenapa harga buku di Philipina dan India lebih murah dari harga buku di negara tercinta ini. Harga kertas ? Besarnya pajak ? bukankah kedua komponen ini ada dalam genggaman kita sendiri ?

Pertanyaan yang mempunyai seribu satu alasan untuk membenarkan kenyataan pahit ini.

Dan saya pun hanya bisa berkata kepada kedua putri tercinta saya, “kalian beruntung, Bunda masih bisa membelikan kalian buku-buku ini.”

Sabtu, 27 September 2008

Si Pembuat Onar - Kakaktua Jambul Kuning


Ini cerita tentang si pembuat onar di rumah kami, Kakaktua Jambul Kuning,
Burung yang semula dilecehkan karena tidak seimut dan selucu almarhum Burung Beo namun setelah perjuangan panjang akhirnya diterima menjadi penghuni rumah.

Kami memberi nama si Kakaktua Jambul Kuning, si “Kakak” atau si “Kakaktua”, soalnya ketika pertama kali kami berkenalan dengannya, ia menamakan dirinya “Kakak” atau sesekali dia memanggil dirinya sendiri “Kakaktua”.

Dari awal kedatangannya ke rumah kami, Si Kakak sudah membawa kehebohan sendiri, belum apa-apa dia sudah membuat kawah kecil di jok mobil suami tercinta. Sejak saat itu, si Kakaktua tidak diperkenankan naik mobil, kalau bisa dia ditaruh di bawah saja dan tidak boleh naik mobil saya. Soalnya nggak ada asuransi kerusakan mobil akibat Kakaktua kan ?

Ketika tiba di rumah, setelah rasa malunya hilang dan mulai merasakan aura kenyamanan, barulah dia mengeluarkan kalimat-kalimat ajaibnya, tanpa menyisakan belah kasihnya kepada si penghuni rumah lainnya.

Kelihatannya sebelum Kakaktua diberikan kepada kami, tampaknya si Kakaktua dipelihara oleh ABRI, sehingga ketika dia baru menjadi penghuni rumah saya, teriakannya tidak jauh dari “Ampun Bapak, Sakit”.

Ya kalau teriakannya ala burung beo, teriakan si Kakaktua bisa terdengar oleh penghuni blok rumah saya dan dia tidak pernah pandang bulu kalau teringat pengalaman indahnya berkumpul bersama si Abri, pernah dia teriak-teriak pagi hari sekitar pukul 05.00 pagi, bayangkan saja, itu kan jamnya tetangga rumah sedang menikmati jalan pagi di taman depan rumah. Lainnya lagi, pukul 02.00 siang, jamnya anak-anak kecil menikmati tidur siang mereka.

Tapi hebatnya, akibat teriakan si Kakak, anak-anak kecil kemudian menjadikan rumah saya sebagai persinggahan dikala pengasuh mereka kesulitan memberikan makanan kepada anak asuhnya. Maka jadilah rumah saya menjadi rumah favorit anak-anak, berwisata bersama kakaktua sambil makan siang, judul tamasyanya.

Nah, setelah tinggal cukup lama dengan kami, Kakak mengikuti irama rumah kami, teriakannya sudah terpola, dimulai tepat pada pukul 04.30 pagi, jadwal saya membangunkan putri tercinta, yang otomatis akan diikuti oleh Si Kakaktua dengan kalimat khasnya “Kakak bangun” atau “Astra, Astra” dengan suara teriakan orang hutan.

Tepat pukul 05.00, ketika tukang cuci mobil saya datang, maka si Kakak akan mengeluarkan tipuan batuknya ala Pak Timin si tukang becak. “Uhuk, uhuk, batuk yang kronis karena sering kena angin malam.” Pertama-tama kami heran, mencari di antara penghuni rumah siapa yang menderita batuk seperti itu, hingga suatu pagi saya mendengan Pak Timin batuk, barulah saya mengerti, siapa panutan Kakaktua pada pukul 05.00 pagi.

Pukul 05.30, ketika jadwal membangunkan sibungsu tercinta, maka Si Kakaktua mendadak bisa menjadi lirih suaranya “Andari, Andari”. Dan akhirnya ketika saya sedang menikmati waktu pagi hari untuk menulis – kalau malamnya terlalu lelah untuk menulis – maka dia mengelurkan kalimat ampuhnya, teriakan tanpa ampun, yang tidak seorangpun bisa mengerti.

Kakak pun punya kebiasaan aneh lainnya, suatu ketika, saat saya sedang menonton acara TV kesukaan saya di ruang keluarga yang menjadi satu dengan halaman belakang yang kecil tempat kami menaruh si kakak, tiba-tiba ada batu kecil mendarat tepat di samping saya. Spontan saya melihat ke atas, karena tepat di halaman belakang tersebut, kami biarkan terbuka. Tapi tidak ada siapa pun di sana.

Setelah ada kerikil kedua mendarat, saya pun menoleh ke Kakak, dan tepat pada saat itu, dia sedang menjatuhkan badannya, mengambil kerikil dengan paruhnya serta melemparkannya ke arah saya.

Acara TV kesayangannya adalah Film di HBO atau acara diskusi seperti Kick Andy, dia bisa diam berjam-jam, sambil menatap lurus ke arah TV. Mungkin dia sedang berpikir, orang-orang itu ngomong apaan sih, atau bagaimana ya dia bisa mengikuti adegan berantem di TV.

Saya adalah orang di rumah yang selalu ditatapnya dengan penuh kecurigaan. Pernah suatu saat ketika saya sedang mengecat pot air mancur di halaman belakang, adegan saya dan dia persis seperti adegan film India kalau si artis ketemu tiang. Bukan itu saja, si Kakak kemudian menakuti saya dengan mengambil ancang-ancang hendak terbang, karuan saja cat yang ada dikuas mengenai muka dan baju kaos saya. Si Kakak kemudian terkekeh-kekeh melihat muka dan baju kaos saya yang kena cipratan cat hitam.

Yang lebih memalukan ketika ada acara sembahyangan di rumah, si Kakak kami taruh di halaman depan, dengan memberikan Marie Regal kesayangannya. Eh .. ketika tiba di bagian berdoa, bukannya diam, dia malah ketawa-ketawa dengan suara nyaringnya. Saya hanya bisa mesam-mesem, habis mau bagaimana, dibuang tidak bisa, disuruh diam malah semakin menjadi.

Dulu, ketika ayah saya masih ada, rumah terasa sekali ramainya. Sekarang, setelah ayah saya tidak ada lagi, rumah saya menjadi sepi. Tapi untung si Kakak masih ada, kalau tidak pastinya terasa sekali sunyinya rumah saya ketika kedua putri kecil saya sekolah dan saya bekerja…

Kunjungan wisata ke rumah ? Oh itu masih, anak kecil yang lahir dari angkatan yang berbeda tetap mengidolakan si kakak.

Selasa, 23 September 2008

Ruangan Favorit


Dulu … ketika masih jaman rekiplik, saya selalu berangan-angan mempunyai ruangan ala perpustakaan - dimana saya dapat menaruh buku-buku saya yang tidak pernah rela saya buang walaupun ada yang sudah digigit tikus, tape kecil dan komputer tempat saya menulis – dan halaman yang cukup luas untuk saya melanjutkan kegemaran saya bercocok-tanam yang lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya.

Sejak kecil angan-angan itu saya pelihara dengan baik, sehingga ketika tiba saatnya saya membangun rumah, angan-angan itu saya wujudkan dalam bentuk nyata.

Sayangnya, tanah di daerah Jakarta kafir ini a.k.a pinggiran Jakarta a.k.a. Bekasi tidak seluas rumah masa kecil saya, sehingga seperti biasa, kompromi kecil-kecilan pun harus dilakukan.

Ruangan perpustakaan harus ditaruh di lantai atas, halaman belakang dijadikan halaman kering dan urusan menanam bunga cukup di halaman depan yang ukurannya hanya 10X4 meter.

Di awal-awal rumah ini berdiri, segala khayalan yang diwujudkan itu terasa indah. Tetapi, ketika si bayi perlahan-lahan merangkak remaja dan si bungsu sudah tidak menjadi bayi lagi, khayalan itu menjadi bencana.

Ruang perpustakaan tiba-tiba menjadi ruang les, lemari buku harus dibagi dua, karena si sulung koleksi bukunya pun sudah setengah lemari buku saya. Kemudian ada tambahan furniture plastik, berupa box-box plastik yang besar, isinya komik-komik mereka berdua yang isinya tidak pernah berkurang dan ruangan itu menjadi lebih tidak nyaman lagi setelah si Kakaktua menjadi penghuni rumah.

Ibu saya yang kemudian tinggal bersama saya, tiba-tiba punya ide brilian, menambah meja kecil di ruang tersebut dan di atasnya ditumpuklah semua koran dan majalah-majalah kepunyaan kami semua. Tinggal pilih deh, mau kompas, atau femina, atau her world sampai ke Bocil, Ami, Kriuk apa Kruk ya (lupa mendadak) dan yang terakhir ada tambahan baru Berani dan Sindo, dan perubahan kecil dari Bocil menjadi Bobo, Her World menjadi Go Girl, Femina menjadi Cosmo Girl.

Ruangan yang diciptakan untuk memberikan ketenangan berubah menjadi Gudang Buku dan Majalah. Disain ruangan pun jadi amburadul.

Nah, bagaimana nasibnya dengan teras dan halaman tercinta ?

Untuk yang satu ini tampaknya masih sejalan, kecuali halaman tempat saya menikmati semilir angin pagi dan sore hari. Bukan apa-apa, masalahnya si pohon belimbing suka menghalangi kamboja jepang dan bunga-bunga kecil lainnya mendapatkan kasih sayang dari sinar matahari. Akibatnya setiap saat saya harus melakukan uji coba tanaman sebelum saya menemukan formula terbaik untuk penanaman tanaman berbunga.

Apakah saya telah menemukan formulanya ? Jawabannya tidak, soalnya bolak-balik mati atau mendadak menjadi kurus, karena si empunya suka angin-anginan.

Akhirnya setelah saya menghabiskan 1 hari untuk merenung, ruangan mana yang menjadi ruangan favorit saya, saya menemukan jawabannya, yaitu kamar tidur saya sendiri.


Alasannya gampang, pulang dari kantor, masuk kamar, mandi (kamar mandi di dalam kamar, jadi tidak ada alasan untuk keluar), nonton tv (di dalam kamar juga), keluar hanya kalau ingin menikmati makan malam, kalau tidak sampai pagi di dalam kamar.

Hari Sabtu dan Minggu, apalagi kalau bukan kamar tidur. Bagaimana tidak jadi tempat favorit, bangun pagi, petualangan berkunjung di blog tidak perlu jauh-jauh, cukup dilakukan di meja tulis yang ada di kamar. Atau sedang ingin menikmati film bajakan, pemutar DVD nya juga di kamar. Atau mau baca, tumpukan buku yang belum dibaca juga sudah beralih ke sudut kamar yang jadi tempat penyimpanan buku.

Bermain bersama anak-anak dan suami ? Dimana lagi kalau bukan di kamar. Entah kenapa bagi mereka, kamar tidur kami sudah berfungsi menjadi ruang keluarga. Kalau bisa segala permainan mereka lakukan di kamar tidur saya yang tidak seluar kamar “penthouse” hotel.

Puncaknya adalah ketika si kecil tiba-tiba meminta ayahnya untuk memasukkan meja belajarnya di samping meja tulis saya dan dikabulkan. Alasannya susah kalau harus belajar bareng Kakak, “susah konsentrasi, kakak suka denger musik.”

Setelah merenung dan mendapatkan jawabannya, harus saya akui bahwa dari seluruh ruangan yang ada, memang hanya kamar tidurlah tempat favorit saya, walaupun desainnya sudah berubah menjadi “avant-garde”, karena tiba-tiba ada tempelan “kalendar Bobo” di dinding kiri dan “Miniatur Spiderman” menempel di sisi kanan, mengapit Lukisan Cat Minyak Bunga.

Saya hanya berharap tidak ada lukisan abstrak warna, seperti yang dilakukan kakaknya ketika bereksperimen dalam warna, tiba-tiba memenuhi sisi lain dari dinding kamar mandi saya.

Saya hanya berharap suara nyaring saya yang melagukan “Ini kamar Bunda, bukan kamar kalian” tiba-tiba menyadarkan mereka dan kamar saya kembali ke era keemasannya yang kalau dilihat kembali membuat saya ragu bahwa saya pernah memiliki kamar itu.

Saya hanya berharap suatu saat mereka bisa dengan rela menarik kembali pernyataan mereka bahwa saya telah melakukan pembunuhan terhadap kreatifitas anak-anak ketika saya menyanyikan lagu “Ini kamar Bunda, bukan kamar kalian …”

Semoga ….

Senin, 22 September 2008

Akhirnya .....


Akhirnya saya bisa …

Ya, akhirnya saya bisa mengeluarkan kalimat ini, “kalau Papa masih hidup …”, kalimat yang tidak pernah bisa saya ucapkan dengan hati tegar, kalimat yang selalu saya hindari.

Sejak tanggal 14 Juli lalu, tiba-tiba ada ruang kosong di hati saya; ruang kosong yang tidak bisa merasakan berbagai macam rasa. Ruang kosong itu ada di sudut hati saya, melihat saya dengan pandangan sekosong ruang itu.

Saya berusaha menghadirkan berbagai rasa, tetapi ruang itu tetap hampa, yang ada hanyalah gambar hitam-putih tanpa suara.

Ruang itu menjadi berwarna ketika harum bunga mawar, melati dan sedap malam bercampur menjadi satu, membentuk hamparan permadani di atas tanah yang kering.

Hingga hari Sabtu malam lalu, ketika saya bersama suami dan si kecil sedang menikmati berbuka bersama di Pho Restaurant, PIM. Tiba-tiba, entah mendapat ilham dari mana, dia bilang, “Bunda,di dalam tempat HP ku kan ada foto Opa.”

Saya tiba-tiba terdiam dan kemudian bertanya, “Lho koq kamu simpan foto Opa di tempat HP ? Kan susah nanti masukin HP-nya.”

Dan berceritalah dia ,”Waktu di rumah duka, Kak Kevin (sepupunya) tiba-tiba ngasih foto Opa, karena aku cuma bawa HP, ya aku simpan aja di tempat HP. Nggak tahu tuh kenapa Kak Kevin ngasih ke aku. Habis itu aku lupa terus untuk ngeluarinnya. Biar aja deh, nggak apa-apa koq foto Opa ada disini.”

Itu adalah pembicaraan terpanjang tentang ayah saya atau kakek mereka, sepanjang ingatan saya yang suka hilang timbul.

Semenjak tanggal dia kembali ke surga, entah kenapa, sebisa mungkin kami menghindari kalimat yang bermakna tadi. “Aduh, kangen nih sama suara blender Opa” atau “Rumah koq jadi sepi ya, biasanya suara TV kenceng banget” atau “Kamarnya sudah bersih, tempat tidurnya sudah dirubah posisinya” atau “Lemari bajunya sudah dirapikan, tapi bajunya masih disana” atau “Sekarang nggak ada yang nemenin aku bikin telor kalau malam nih.”

Tidak ada tambahan kalimat penegasan, atau kalimat pengandaian, semua berhenti di pernyataan.

Tapi tadi malam, entah kenapa, saya berhasil mengeluarkan kalimat pernyataan itu dan ruang kosong di hati saya tiba-tiba tersentak dari tidurnya.

Tidak ada tangis berkepanjangan, tidak ada air mata yang tiba-tiba menguak keluar, kali ini hanya air mata yang menggenang di pelupuk mata.


Mungkin masa berduka saya telah lewat, mungkin juga berhasil memaafkan diri saya sendiri, atau mungkin juga saya berhasil menerima kenyataan bahwa kursi meja makan yang berada tepat di seberang kursi saya tidak akan pernah terisi lagi, suara yang menanyakan koran pagi tidak akan pernah kembali lagi, suara yang selalu membuat saya terpacu untuk belajar, yang selalu membuat darah saya “naik” tidak pernah akan terdengar lagi.

Akhirnya saatnya tiba juga bagi saya untuk berkenalan dengan kematian. Kata yang sering bersentuhan dengan saya, tetapi tetap terasa abstrak.

Kehidupan memang ajaib dan penuh teka-teki, tetapi setidaknya dia telah berbaik hati untuk menjadikan sesuatu yang abstrak menjadi bermakna dan nyata.

Sabtu, 20 September 2008

Pintarnya Anak Kecil vs Orang Dewasa


Kata siapa ?
Kata si putri kecil saya dengan bangganya ketika ayahnya tidak dapat menjawab teka-teki di bawah ini :

Saya :How do you put a giraffe into a refrigerator?
Si kecil : Ayo …bisa nggak ?
Ayahnya : Dimutilasi

Si kecil : Salah, keluarin isi kulkasnya lalu masukin jerapahnya.

Saya : How do you put an elephant into a refrigerator?
Si kecil : Ayo …bisa nggak ?
Ayahnya : Keluarin isi kulkasnya semua lalu masukin gajahnya

Si kecil : Salah, gajahnya yang dikeluarin, kan isinya tinggal jerapah.

Saya : The Lion King is hosting an animal conference. All the animals attend .... Except one. Which animal does not attend?
Si kecil : Ayo … siapa yang tidak datang ?
Ayahnya : Ikan.

Si kecil : Salah, gajah dong, kan gajah masih ada di dalam kulkas

Saya : There is a river you must cross but it is used by crocodiles, and you do not have a boat. How do you manage it?
Si kecil : Ayo .. bisa nggak ?
Ayahnya : Gampang, lempar aja kulkasnya ke dalam sungai, terus nyebrang ..

Si kecil : Salah, tinggal berenang aja di sungai, buayanya kan ikut rapat sama Lion King.

Ketika saya menyampaikan kepada ayahnya bahwa :

According to Anderson Consulting Worldwide, around 90% of the professionals they tested got all questions wrong, but many preschoolers got several correct answers. Anderson Consulting says this conclusively disproves the theory that most professionals have the brains of a four-year-old.

Kata si kecil,”test ini kan sudah dari dulu, sudah lama banget,” (saya dan ayahnya tertawa, karena ukuran “dari dulu” si kecil tentunya beda dengan ukuran “dari dulu” kami berdua).

Kemudian katanya ,”memang benar kata konsultan itu, dimana-mana anak kecil lebih pintar dari orang besar. Lihat aja acara “smarter than 5th grade,”

Saya kali ini tidak bisa bicara apa-apa, Hanya bisa geleng-geleng kepala, untuk urusan komentar si kecil memang lebih taktis dari saya.

Kamis, 18 September 2008

Lik Man a.k.a. Lehman Brothers


Dua hari yang lalu ketika dalam perjalanan pulang dari berbuka puasa bersama penghuni lantai 19, tiba-tiba salah seorang team saya bertanya mengenai issue AIG dan hubungannya dengan si Lik Man a.k.a Lehman Brothers.

Masalahnya besok harinya atau lebih tepatnya kemarin, berdasarkan kesepakatan pengaturan upacara, akan ada penandatanganan kerjasama dengan pihak AIG Life di tengah-tengah acara berbuka puasa bersama dengan para sahabat media kami. Kalau urusan si Lik Man sih tidak menjadi masalah, tetapi urusan “kepercayaan” ini yang menjadi masalah.

Tanpa menunggu aba-aba lagi, saya langsung menghubungi sumber yang bisa dipercaya untuk menjelaskan urusan Lik Man dan urusan AIG. Setelah mendengar penjelasannya, saya langsung tenang dan menjelaskan kembali ke team saya, untuk persiapan berjaga-jaga menghadapi issue ini.

Nyaris saya tidak bisa tidur dengan tenang malam itu, selain sibuk membaca berita, saya pun memeloti plurk, sumber informasi utama dan gossip dunia. Bangun pagi pun, sasaran utama saya selain berita, plurk juga mendengarkan siaran TV One, mengenai Lik Man dan AIG.

Ada yang menarik mengenai komentar si pengamat ekonomi dan pasar modal, menurut dia, saham itu investasi jangka panjang, jadi sebaiknya para pemain harap bersabar dan tidak mengikuti emosi.

Saya jadi teringat mantan boss saya yang orang Amrik, ketika itu tahun 2003-2004 (kalau tidak salah tahunnya) saham di Amerika pernah mengalami “crash”, harga saham jatuh gila-gilaan dan si mantan boss saya itu, mengalami kehilangan yang cukup besar. Saya yang hanya jadi pendengar setia saja, sudah mengalami gempa di sekitar lutut, bagaimana yang si empunya saham ya ?

Tapi ternyata dia tenang-tenang saja, tidak panic, entah di dalam hatinya, tapi selama minggu itu, semua berjalan dengan aman tentram sejahtera di kantor. Si boss yang memang biang gossip, tetap melanjutkan kegemarannya bergosip soal anak-anak buahnya yang ketahuan berpacaran. Tidak ada yang berubah.

Beberapa bulan kemudian, saya memberanikan diri bertanya kepada si mantan boss, nah jawabannya juga mirip sama si pengamat pasar modal di TV One, bahwa semua harus disikapi dengan tenang, tidak emosi, sehingga keputusan yang diambil juga tidak salah. Baginya krisis akibat kehilangan sudah lewat dan dia sudah menikmati keuntungannya kembali.

Balik lagi sama si Lik Man dan AIG, ketika saya menghubungi sumber terpercaya saya, ia mengatakan bahwa di beberapa negara terjadi “rush”, termasuk Indonesia. Padahal menurutnya, tidak perlu panic, karena AIG di Indonesia menjalankan usahanya berdasarkan UU Indonesia, lagipula AIG juga mereasuransikan polis-polisnya, disamping asetnya yang cukup besar di Indonesia. “Tapi, orang Indonesia kan memang begitu, panikan melulu,” kata penutup dari dia.

Saya jadi malu sendiri mendengar kata penutup dari dia, karena saya pun panik ketika mendengar berita AIG itu, panik takut programnya tidak memenuhi target, panik karena kasihan sama AIG, pastinya mereka sasaran empuk untuk ditanya saat acara berlangsung, mengingat kami yang meminta mereka memundurkan tanggal acara seremoninya ke tanggal kemarin itu.

Untunglah semua yang ditakuti tidak terjadi, tadi malam semua berjalan aman, tentram, sejahtera dan penuh dengan tawa.

Ternyata memang benar kata si pengamat pasar modal, mantan boss biang gossip dan sumber terpercaya, jika semua disikapi dengan tenang, tentu kita bisa mencari solusinya dengan baik sehingga hasilnya tidak seburuk yang kita takuti.

Ah … ada-ada saja si Lik Man ..


Rabu, 17 September 2008

Berpikir ala Raam Punjabi

Seperti biasa pagi ini saya berjalan-jalan ke blog tetangga, sambil mengecek tanggapan yang diberikan oleh teman sesama blogger dan tiba-tiba mampir ke salah blogger yang belum pernah saya kunjungi.

Di postingannya yang berjudul “Quote of the day … Jangan Buat Sinetron”, saya menemukan hal yang menarik, ternyata pada umumnya manusia memiliki kesamaan berpikir walaupun bentuk keluarannya berbeda.

Saya tersenyum-senyum sendiri ketika membaca tulisannya si Roy, soalnya Roy mirip seperti saya ketika saya diminta untuk membuat suatu program atau ketika anak buah saya mengusulkan suatu program.

Ketika saya membuat atau mereview suatu program, saya selalu membuat “Plan A” dan “Plan B”. Plan A selalu yang hasilnya indah-indah – siapa sih yang tidak tertarik dengan yang indah - ; sedangkan Plan B selalu yang hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Nah, Plan B itu adalah hasil dari efek sinetron ala atasannya si Roy tadi. Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu, terus habis yang begini muncul yang begitu, terus saja begini dan begitunya.

Saya baru berhenti berangan-angan ketika anak buah saya melihat saya dengan pandangan “ajaib” dan berkomentar, “seperti sinetron Mbak”.

Hehehehe…setelah itu saya mengeluarkan jurus ampuh, “habis kalau tidak dipikirkan terus hasilnya jelek bagaimana, kita juga kan yang harus tanggung-jawab”, Akhir-akhir ini kalimat andalan saya adalah “kenapa ? seperti sinetron lagi ?”, sebelum mereka mengeluarkan celaan akbar mereka.

Namun setelah saya merenungkan kembali – setelah membaca dan berkomentar di tulisannya si Roy – saya berkesimpulan bahwa mempersiapkan diri untuk menghadapi hal yang terburuk memang baik tetapi terlalu mempersiapkan diri dengan menyiapkan efek A – Z, juga bukan sesuatu yang masuk dalam kategori yang “benar”.

Benar juga nasehat orang tua, berhati-hati memang baik terlalu berhati-hati bisa-bisa dampaknya malah menjadi buruk.

Kalau buat Raam Punjabi sih efektif, sinetronnya kan jadi panjang dan berseri, tetapi buat saya, si pekerja kantoran, kalau kerjanya jadi berseri dan tidak selesai-selesai, alamat dianggap si tukang khayal tapi tidak mampu melakukan eksekusi.

Eh tapi buat Raam Punjabi nggak effektif juga sih, kalau sinetronnya kepanjangan uang yang harus dikeluarkan untuk produksi jadi lebih banyak ….

Tuh kan .. mulai lagi berpikir untung-ruginya ….

Sabtu, 13 September 2008

Sudah Pernah Muda


Beberapa bulan yang lalu, ditengah-tengah sibuknya saya mencari cara agar bisa bekerja paruh waktu, saya bertemu dengan rekan saya jaman status kami berdua masih berstatus “single”. Pada jaman itu, walaupun masih single, dia sudah menjadi atasan saya.

Ketika kami bertemu beberapa bulan yang lalu, dia sudah menduduki posisi puncak di salah satu bank asing.

Seperti biasa, kami saling bertukar-cerita, bertukar impian yang belum terwujud dan apalagi selain rasa frustasi kami terhadap beberapa hal. Salah satunya tentang perbedaan generasi, tentang anak-anak jaman sekarang. Maklum, anak buah kami berdua umurnya terpaut antara 15 – 20 tahun dengan usia kami sekarang.

Ada beberapa hal yang membuat kami terheran-heran dengan daya juang mereka, dengan cara mereka mengerjakan pekerjaan, tanggung-jawab mereka, dan cara pandang mereka ketika memecahkan suatu permasalahan.

Ketika rekan saya itu mengajukan rasa frustasinya, saya yang tadinya merasa biasa-biasa saja dengan segala permasalahan yang terjadi dengan team saya, tiba-tiba tersadar bahwa rasa gemas saya rupanya berawal dari perbedaan tersebut.

Namun, seperti biasa, saya tetap beranggapan bahwa hal itu sebenarnya terjadi dimana saja, daya juang, mengerjakan pekerjaan, tanggung jawab, mau berapa pun umurnya pasti ada saja yang serupa.

Hingga kemarin ketika saya dan rekan-rekan sekantor sedang melakukan ”brain-storming” tentang produk yang akan diluncurkan, pihak ”agency” menyampaikan beberapa fakta menarik betapa tiap generasi mempunyai gayanya sendiri-sendiri. Tidak usah menunggu sampai puluhan atau belasan tahun, perbedaan generasi saat ini hitungannya adalah tahun bukan belas.

Perbedaan generasi tersebut tentu saja menyangkut ”life-style”, ”cara pandang terhadap kehidupan”, ”cita-cita”, dan beberapa hal lagi.

Berangkat dari diskusi kemarin sore, saya jadi ingat komentar rekan saya tentang ”anak buahnya, ”Mereka itu ketika diberitahu selalu saja ada alasannya dan tidak pernah berusaha mengerti akibatnya. Mereka pikir kita tidak tahu. Mereka lupa kalau kita pernah muda dan mereka belum pernah tua.”

Saya jadi ingat ketika kemarin saya melakukan interview untuk calon team saya, tanpa harus melihat hasil psiko-testnya, saya sudah bisa menebak bahwa anak ini kurang dalam interpersonal skillnya, hanya dari cara berjalannya, berpakaian dan berbicara. Sehingga ketika pihak HR memberitahu saya mengenai kekurangan anak itu, saya langsung berkata dalam hati, ”sudah kuduga”.

Dan saya pun teringat komentar rekan a.k.a atasan saya jaman tahun kuda itu, ”kita sudah pernah muda, mereka belum pernah tua.”

Rabu, 10 September 2008

PJKA a.k.a. Pulang Jumat Kembali Ahad

Di kantor saya ada istilah PJKA dan istilah itu diberikan kepada mereka yang hidupnya bersama keluarga hanya dihabiskan di akhir pekan.

PJKA itu singkatan dari Pulang Jumat Kembali Ahad dan umumnya para anggota PJKA adalah para gender pria, maklum pria kan terkenal dengan usahanya yang gigih, lautan ku seberangi, mau untuk urusan yang berbau cinta-cintaan hingga mencari sesuap nasi.

Tapi ada juga anggota PJKA yang wanita, tidak banyak sih hanya 2 orang dan saya termasuk yang di antara 2 orang itu. Bukan sebagai peserta tetapi sebagai korban PJKA.

Menjadi korban PJKA di kantor lebih ringan celaannya dibandingkan mereka yang menjadi anggota PJKA. Sudah bukan pemandangan asing lagi di kantor kalau peserta PJKA selalu terlihat gelisah setiap hari Jumat, terlebih setelah jam makan siang, kalau bisa semua meeting dibuat lebih cepat di hari Jumat. Mereka bahkan punya alasan ampuh kalau diajak meeting di jam 4 sore. Apalagi kalau jam kantor menunjukkan pukul 05.00 sore, tidak ada pemandangan seru mendengarkan teriakan dari cubicle-cubicle tetangga yang agak menyerempet telinga, “Makanya jangan pake oli top one dong,”, “Seperti si Pak X dong, olinya cukup tahan 1 bulan” .. (yang ini dari gender pria) atau ..”Nanti aku telp ya, ntar aku bilang dari pacar jauh.” ..”Lho koq habis manis sepah dibuang, begitu jumat aku ditinggal deh.” .. (yang ini dari gender wanita) atau “travelnya nunggu di tempat biasa ya ..”, “cepetan lho, jalanan macet nanti terlambat sampai di stasiun, nanti ketinggalan kereta lho.” (nah ini komentar netral).

Banyak orang yang setelah mengetahui status saya yang korban PJKA selalu melihat dengan pandangan sedih dan berpartisipasi atas penderitaan saya, sementara saya sendiri yang jadi korban tidak merasa apa-apa.

Setelah saya merenungkan kembali pandangan mereka yang penuh arti, mungkin ada perlunya saya membuat tabel pro dan kontra hidup sebagai korban PJKA.


Untungnya ....
Lebih Mandiri.
Punya waktu luang buat menyenangkan diri sendiri, ke gym atau kongkow 2 sama teman.
Tahu cara ”ngirit”, soalnya kalau ada hal-hal yang mendadak, nggak bisa minta suami, apalagi kalau malam-malam ada pengeluaran mendadak.
Kalau week-end, tuntutan jalan-jalan selalu dijatuhkan kepada sang ayah, maklum anak-anak ngerti banget ibunya dari Senin – Jumat selalu ada bersama mereka (minimal pagi dan malam sebelum tidur).
Bisa bermanja-manja kalau week end, alasannya capek seminggu harus konsentrasi jadi orang tua tunggal.
Jarang berantem, bagaimana mau berantem, jaraknya saja susah.
Inovatif, berhubung berantem susah dan mahal, jadinya punya cara baru, pertama pake provider dower trus dilanjutkan dengan sms (sakit-sakit deh si jempol).



Susahnya ....

Suka kelupaan kalau bukan “single mom”
Susah minta uang mendadak, soalnya harus telpon dulu, harus ke bank (hiii.. ribet), sementara mencari waktu untuk urusan di luar jam kantor membutuhkan keahlian balap mobil
Kalau mendadak ada tugas sekolah si anak, beli ini, beli itu, ngerjain PR matematika, sementara meeting kantor nggak selesai-selesai
Nggak ada yang mijitin kalau kaki kram atau badan pegal-pegal, nggak ada yang ngurusin kalau lagi sakit, semua judulnya ”All Alone”.
Unek-unek disimpan seminggu dan setiap minggu berikutnya, daftar unek-unek nggak pernah berkurang
Boros, bagaimana tidak boros, kompor harus punya dua, TV harus punya dua, rumah harus punya dua, persediaan baju harus punya dua. Satu-satunya yang hanya punya 1 ya itu DVD (maklum yang ini kan bisa gantian nontonnya).


Saat ini peserta PJKA sudah mulai berkurang, karena sekarang mereka sudah bisa tersenyum sambil bilang kalau sang istri sudah diboyong ke Jakarta, kecuali saya dan rekan wanita saya yang satunya lagi.

Rekan saya memang wanita perkasa, setelah melahirkan anak pertamanya yang ditunggu-tunggu, dia tetap berstatus PJKA dengan membawa anaknya yang menggemaskan itu. Si kecil setiap pagi dititipkan di tempat penitipan anak yang bikin saya ngiri, soalnya jaman kedua putri saya kecil, tempat penitipan sejenis belum ada.

List Pro dan Kontra dia lebih panjang dari saya, tapi kami, peserta maupun korban PJKA, punya banyak cerita dan kenangan yang tidak terlupakan urusan PJKA.

Senin, 08 September 2008

Salah Yang Tidak Salah

Kira-kira 3-4 minggu yang lalu, saya bersama kedua anak saya dan suami tercinta nonton film Wall-e di Blitz. Berhubung datangnya kepagian, jadi kami duduk.

Tiba-tiba ada sepasang kekasih, sesama jenis, duduk di belakang saya atau tepat di depan mereka. Namanya juga sejoli, jadi wajarlah jika tindak-tanduk mereka menunjukkan betapa dunia milik mereka berdua, walaupun agak terganggu juga dengan suara dan ketawa mereka yang cekikan, tapi berhubung tempat ini milik umum, ya .. sudahlah

Sampailah saat ketika waktu untuk menonton tiba, ternyata sepasang kekasih itu duduk di deretan yang sama dengan saya dan keluarga, hanya terpaut 2 atau 3 kursi dari suami saya. Berhubung saya termasuk "fanatik" dalam menonton, jadi saya pun tidak menoleh ke kanan-kiri, konsentrasi penuh ke layar tancap yang di depan mata.

Semua berlangsung aman tentram hingga minggu lalu, ketika anak tertua saya berkata, "Bunda, 'Gay' yang disebelah ayah ciuman lho pas mereka lagi nonton. Mana berisik lagi. Kan film anak-anak ya, kenapa sih mereka ciuman segala." Saya waktu itu hanya berkomentar, "ya nggak apa-apa, kan cuma ciuman." Tapi kemudian dia protes, "kalau ciuman itu artinya ciuman di bibir., Bunda" dan saya pun saat itu hanya berkomentar ,"Oh, ya sudah."

Hehehe, saya termasuk ibu yang konservatif, bagi saya jika belum waktunya mereka menonton adegan ciuman yang "hot", maka adegan itu terlarang bagi mereka. Kedua anak saya pun sudah paham, jadi ketika adegan ciuman yang "hot" itu terjadi, mereka langsung menoleh ataupun menutup mata dengan bantal, dan bertanya "sudah belum ?". Jadi sungguh wajar bagi saya, ketika si putri tertua melihat adegan terlarang itu, tentu saja dia jadi bertanya-tanya, apalagi hal tersebut terjadi ditengah-tengah suasana yang jumlah anak kecilnya lebih banyak dari orang dewasanya.

Sebenarnya saya pun sudah mulai lupa dengan topik itu, hingga minggu lalu ketika saya sedang ngobrol hal-hal yang ringan dengan rekan saya dan bercerita tentang peristiwa Wall-e a.k.a peristiwa komentar putri tercinta, saya saat itu mengakhiri cerita dengan berkata, "Aduuh, untung dia nggak nanya, kenapa sesama jenis bisa berciuman, kalau ya bagaimana menerangkannya ya ?"

Rekan saya kemudian membalas dengan menanyakan pertanyaan yang cukup mengusik pikiran saya, "menurut kamu, sesama jenis itu salah nggak ? kalau menurut kamu tidak salah, ya tentunya akan dengan mudah kamu menjelaskan itu ke anak kamu."

Saat itu saya hanya terdiam, kaget dengan pertanyaan teman saya.

Setelah merenung selama beberapa hari, akhirnya saya memutuskan untuk membawa topik itu dalam perbincangan makan malam di akhir pekan bersama keluarga, maklum makan malam di akhir pekan merupakan satu-satunya saat kita semua berkumpul.

Saya melontarkan pertanyaan yang cukup mengganjal hati saya selama beberapa hari, dengan harapan bahwa anak-anak akan bertanya atau setidak-tidaknya meresapi dalam hati mereka, sehingga jawaban kami bisa menjadi dasar cara berpikir mereka dalam menilai "dunia" yang akan mereka temui nanti.

Mengingat ayah mereka adalah penentu kata akhir, maka bertanyalah saya kepada dia sambil harap-harap cemat, takut pernyataannya tidak sesuai dengan kata hati saya, "menurut ayah hubungan sesama jenis itu bagaimana ?".

Saat itu, saya melihat bola mata kedua anak saya membesar, rupanya mereka pun menunggu saat-saat terjadinya diskusi yang cukup seru (maklum kalau diskusi sedang seru, mereka bisa mencari alasan untuk tidak menghabiskan makanan).

Tetapi ternyata jawaban ayah mereka di luar harapan mereka berdua, karena sejalan dengan kata hati saya. Jawabannya ,"Salah yang tidak salah. Salah karena melanggar norma-norma agama. Tidak salah, karena pada dasarnya mereka juga tidak menginginkan hal itu terjadi pada mereka."

Bagi saya sendiri, hubungan sesama jenis menjadi salah jika mereka yang "Bi" (aduuh, istilah bahasa Indonesianya apa ya), tiba-tiba memilih menjadi "gay" hanya karena ikut-ikutan. Atau karena hanya sekedar mengikuti zaman (nah untuk yang ini saya agak susah mengerti). Siapa sih yang tidak ingin menjadi "straight" dalam kehidupan mereka.

Sebagai orang tua, sudah sepatutnya kami memberikan jawaban berdasarkan norma agama, tetapi kami pun tidak bisa meniadakan fakta bahwa ada hal-hal yang terjadi di luar sana. Pada saat itulah, mungkin mata hati lebih tepat untuk memberikan penilaian dan bukan penghakiman.


Sabtu, 06 September 2008

Meeting ala White Board


Kemarin ketika saya harus hadir di acara workshop para "engineer" dan "marketing" team, tiba-tiba saya melihat pemandangan yang sudah 5 bulan tidak saya temui lagi, "segerombolan orang berkerumun di depan "white-board" persis seperti sedang melihat tukang obat di pinggir jalan.

Rasanya sudah lama sekali tidak melihat 'pemandangan' seperti itu, 'pemandangan' yang membuat kami - yang terlibat dalam proyek akbar - tidak bisa cuti dengan leluasa, mendadak jadi orang yang waktu tidurnya jadi terbolak-balik dan jadi orang yang bisa menggambar.

Cerita tentang pemandangan ini dimulai di akhir tahun 2006, ketika kantor saya memutuskan untuk melakukan perubahan sistem yang cukup drastis, dimana proses penentuan vendor diawali dengan RFP kemudian presentasi para vendor atas kemampuan mereka dalam menerjemahkan permintaan kami.

Ketiga vendor tersebut bukanlah orang awak, tetapi datang dari negara nun jauh disana, orang Rusia, Korea dan Cina.

Sudah bisa dibayangkan bukan ..., bagaimana jadinya ketika mereka dan kami semua berkomunikasi.

Sudah bahasa Inggris bukan bahasa Ibu masing-masing, yang didiskusikan pun bukanlah hal yang mudah. Apalagi kami, yang notabene orang Indonesia, suka lupa kalau yang diajak diskusi bukan orang sendiri.

Ketika masih dalam tahap 'pitching' , problematika bahasa tidaklah menjadi halangan, soalnya yang muncul di layar tancap, kebanyakan gambar dicampur istilah-istilah teknis.

Tetapi ketika 'pitching' sudah selesai dan pemenang sudah ditentukan, problematika bahasa menjadi masalah yang tak berkesudahan

Dan sejak saat itulah kami punya perbendaharaan hal-hal menarik untuk dikenang :

Cerita tentang 'Pitching'.

Saat si Rusia sedang presentasi, tiba-tiba kami semua mendadak jadi 'tuli' dan terampil dalam mengolah 'mata'.

Alasannya sederhana, bahasa Inggris si Rusia mendadak terdengar seperti suara radio yang diputar tetangga, sayup-sayup bikin ngantuk. Pernah dengar orang nembang nggak, nah begitulah kami mendengar si Rusia presentasi.

Alasan berikutnya, sudah bisa ditebak, dimana-mana yang namanya engineer tidak jauh dari gender pria. Karena proyek ini adalah proyek para engineer, maka di ruang meeting, wanitanya bisa dihitung dengan jari, cuma 4 orang, yang lainnya gender pria. Nah, karena yang memberikan presentasi wanita kulit putih, cantik, seksi dan muda, yang terdengar kemudian adalah celetukan konyol dalam bahasa Indonesia (nggak ada yang ngerti kan selain yang Indonesia).

Celetukannya pun kalau didengar para feminis bisa bikin marah. Saya kutip sebagian disini "Wah, cakep banget ya", "eh mereka baru tiba pagi ini ya, sudah mandi belum ya", "sayang, cantik-cantik koq belum mandi", sampai yang paling konyol, "wah belahan bajunya rendah sekali ya", "lumayan, ada pemandangan segar".

Nggak mutu banget kan ? Si Rusia pasti berpikir kita sedang mendiskusikan sistem mereka, tapi jangankan sistem, mengerti pun tidak.

Peserta kedua, Korea.
Berhubung pesan dari kantor bahwa kita harus serius dengan Korea, maka suasana 'pitching' beralih menjadi 'tahap final' dan tempat meeting pun pindah ke hotel berbintang lima.

Pertama-tama, kami semua senang, maklum ada perbaikan gizi. Tetapi kalau selama hampir 3 minggu makan di tempat yang sama dengan menu yang itu-itu saja, perbaikan gizi menjadi siksaan yang luar biasa.

Kali ini jumlah peserta wanita agak banyak, tetap tidak berimbang, tapi lumayan lah dibandingkan saat Rusia presentasi.

Problem bahasa tidak menjadi masalah yang berarti, maklum bahasa Inggris mereka jauh lebih bagus dari si Rusia, walaupun kali ini judulnya bahasa Inggris kumur-kumur tapi lumayanlah.

Tapi kali ini yang bikin malu, bukanlah kelakuan gender pria, tapi kelakuan si gender wanita. Salah satu peserta workshop yang masih single ternyata penggemar film korea dan salah satu yang memberikan presentasi ternyata cakep buanget, sama deh dengan bintang film sinetron korea.

Komentar pun beralih menjadi "cowoq yang itu cakep banget ya, seperti bintang film korea", "eh kita nanti selesainya jam berapa ya ? jangan cepat-cepat deh, lumayan kan kalau dinner bareng dia". Dan seperti peristiwa Rusia, kali ini peristiwanya jauh lebih heboh, si peserta wanita tadi sampai bela-belain jalan sama si Korea dan foto bareng pake HP (supaya teringat terus)

Peserta ketiga, Cina.
Ternyata setelah berjalan selama hampir 3 minggu dengan peserta Korea, tiba-tiba angin segar dari kantor beralih ke Cina.

Waduh, baru istirahat dari rally panjang ngomongin sistem dengan Korea, sekarang harus rally panjang lagi dengan Cina.

Saat itulah problematika bahasa menjadi masalah yang tak kunjung selesai.

Biasanya problematika bahasa diawali dengan :

Masing-masing pihak tiba-tiba menjadi hilang ingatan. Air awet muda dari Lombok pun jadi kehilangan khasiatnya, soalnya urat emosi nggak selesai-selesai muncul di leher.

Kemudian tiba-tiba bahasa Cina atau bahasa Indonesia mulai diselipkan dalam kalimat-kalimat panjang, dan ketika rasa frustasi mulai muncul di kedua belah pihak, diskusi terbagi menjadi 2 bahasa, kelompok diskusi bahasa Cina dan kelompok diskusi bahasa Indonesia, yang dilanjutkan dengan memanggil rekan sebelah ruangan (maklum diskusinya terbagi dalam beberapa ruangan) untuk saling mendukung pendapat masing-masing pihak.

Kalau si Pim Pro tidak muncul di ruangan, bisa-bisa sampai malam kelompok diskusi itu terus saja berdebat dengan bahasa Ibu masing-masing.

Dan anehnya saat perdebatan yang nggak mutu itu terjadi, maka di setiap pintu depan ruang meeting tersebut, selalu ada saja yang pihak-pihak yang mencoba melobi (yang ini dari kedua belah pihak) dengan bahasa yang disepakati "bahasa Inggris". Kacaunya kejadian itu selalu saja terjadi di masing-masing ruangan, tinggal menunggu saat yang tepat saja.

Gencatan senjata selalu terjadi saat waktu berbuka untuk "snack" tiba. Saat itulah semua urat-urat kembali pada tempatnya dan para peserta kembali menjadi orang "Inggris", sibuk bercerita tentang hal-hal yang nggak perlu, saling bertukar perbendaharaan bahasa.

Nah, karena setiap kali seperti itu - entah siapa penemu gencatan senjata ala tukang obat - tiba-tiba ketika kami maju ke depan dan menggambarkan apa yang ada dalam kepala kami dalam bentuk kotak dan awan-awan, tiba-tiba semua kembali menjadi normal.

Sejak saat itulah, setiap kali kami berselisih pendapat dengan mereka, White Board menjadi sarana ampuh untuk mencari solusi.

Berkerumun di depan white board pun ada urutannya, pertama 1 orang yang maju, kemudian dari pihak lawan maju 1 orang. Tidak ada kata sepakat maju lagi 1 orang. Hingga akhirnya bisa 20 orang mengerubung white board.

Nggak mutu ya ? Habis mau bagaimana lagi, ketika bahasa Inggris bukanlah bahasa Ibu masing-masing, maka bahasa isyarat dalam bentuk gambar pun menjadi solusi ampuh.

Nah, kembali ke workshop kemarin, tiba-tiba saya teringat masa-masa yang dihabiskan dengan mereka selama 1 tahun 5 bulan. Rekan-rekan saya yang dulu menjadi teman seiring dalam berdiskusi sudah berganti, mereka pun demikian, tetapi tetap saja penemu solusi ala White Board tidak lekang oleh jaman.

Jumat, 05 September 2008

Kamisan (baca : Kemisan)


Sudah dua bulan terakhir ini, di kantor ada jadwal baru, yang dengan semena-mena mengusik rutinitas "gym" saya, judulnya "Kamisan" (baca : Kemisan).

Mengusik, karena acara kamisan tercinta ini adalah meeting dengan Presiden Komisaris serta para petinggi lainnya.

Mengusik, karena setiap hari Rabu malam, beberapa rekan saya termasuk saya sendiri, sudah mulai mengalami insomnia dan semangat luar biasa, contohnya saya dan salah satu rekan saya, sejak hari Rabu, kami berdua sudah mulai membicarakan apa yang harus dipresentasikan, membicarakan kemungkinan pertanyaan, puncaknya hari Kamis pagi, sejak dini hari, tepatnya pukul 03 pagi, acara rutin bangun setiap jam menjadi penanda datangnya hari Kamis.

Rekan saya yang lain lagi, khusus setiap Rabu, mulai tidak fokus dan sibuk beranjang-sana ke "cubical" rekannya lain dan tepat hari Kamis pagi - puncaknya hari Kamis sore, beralih menjadi ibu hamil muda, mual-mual. Lucunya baru kemarin dia sadar, mual-mual itu akibat dari stress, yang berasal dari naiknya si asam lambung.

Tidak ada satu pun yang tidak ketar-ketir menghadapi acara Kamisan itu.

Bahkan BOD sampai menggelar acara "try-out" menghadapi "meeting" Kamis sore. Lengkap dengan segala analisa, apa yang akan menjadi titik perhatian para petinggi itu.

Jam meeting Kamisan itu pun tidak pernah sama, tapi tidak akan jauh dari pukul 05.00 sore. Selesainya pun juga tidak pernah sama, yang pasti meeting tersebut lamanya 2 jam. Hingga kemarin, rekor meeting terlama terjadi 3 minggu lalu, selesai pukul 09.00 malam.

Di dalam ruang meeting pun, para peserta rapat yang nota bene adalah para "pemimpin kecil", tindak-tanduknya kembali menjadi anak kecil. Berlomba-lomba naik lift menuju ruang meeting, memilih posisi aman (jauh dari bapak Presiden atau minimal tidak dalam jangkauan pandangan langsung).

Yang lucu adalah salah satu direktur kami, dia selalu memilih tempat duduk yang terujung (pak Presiden tidak pernah duduk di ujung meja, selalu di posisi samping meja), dengan alasan agar pandangannya tidak terhalang jika para "pemimpin kecil" sedang presentasi. Kami tidak boleh duduk di kursinya, siapa pun akan diusirnya, termasuk saya yang waktu itu kehabisan kursi favorit.

Saya, setelah dua kali mencoba menghindar dari jangkauan pandangan langsung, tetapi selalu saja disebut (walaupun di bagian akhir), akhirnya memutuskan untuk menduduki tempat yang jauh namun dalam radius pandangan langsung.

Yang tidak kalah serunya, si "Group Head Sales" dan "Group Head Sales Strategy", setiap minggu, alasan mereka jika sales tidak naik, sebenarnya selalu itu-itu saja, tapi mereka pintar mengemasnya dengan tata bahasa Indonesia "ngeles".

Salah satu contohnya : "Sebenarnya, sudah dalam pantauan, tetapi untuk daerah yang itu pak, memang agak terlewat walaupun sudah dipantau." atau "Masalahnya karena produk penunjang baru tersedia minggu lalu, sehingga sales menjadi terganggu, walaupun sisa produk penunjang juga masih ada di pasar, tetapi ya itu tadi, karena yang baru baru dilepas, susah pak naiknya."

Kalau saya sih, karena sudah pernah kena "arahan panjang" dari bapak Presiden, yang mengakibatkan beberapa bapak direktur juga kena "arahan" gara-gara saya, punya kalimat ampuh, judulnya "Ya, Ya, Ya, Baik Pak".

Tapi di antara yang tidak enak, satu hal yang selalu ditunggu-tunggu peserta rapat, makan malam gratis. Biasanya kalau meetingnya terpaksa harus lanjut setelah pukul 07 malam, maka dihidangkanlah makan malam a la jawa timuran (yang ini sih tidak ditolak tapi menghancurkan diet) dan para peserta rapat yang perutnya sudah mulai mengeluarkan musik "keroncong" langsung menyerbu ketika Bapak Presiden mengeluarkan tanda untuk "menyantap".

Serunya adalah kalau Bapak Presiden, sudah mengeluarkan kalimat, "Baik, saya rasa sudah cukup, tapi tolong diingat ya, strategi yang saya sampaikan tadi. Tidak ada lagi yang hendak disampaikan kan ?" Wah ... pernah lihat senam anggukan kepala ? Nah, saat itulah seluruh peserta dengan senyum lebar dan anggukan kepala yang seirama, mengeluarkan kalimat "Ya Pak, sudah tidak ada Pak."

Nah pernah lihat anak SD bubar ketika lonceng pulang sekolah berbunyi, datang saja ke acara Kamisan itu, riuh-rendahanya persis anak SD bubaran. Rebutan lift, "High Five" karena selamat, atau saling dorong-mendorong dan setelah sampai di bawah, di lantai tempat kami semua bekerja, yang nyaris senyap karena penghuninya sudah pulang, para peserta rapat biasanya melanjutkan acara reunian, sambil berteriak minta ditungguin, supaya bisa se-lift.

Saya, setelah itu selalu menerima pesan singkat dari team saya, kalimatnya pun sama dari minggu ke minggu, "Aman kan mbak ?".

Salah satu cerita yang nikmat untuk dikenang dari kantor tercinta.